TERUTAMA jika mengacu pada berbagai peristiwa yang mengorbankan para penganut kepercayaan atau agama tertentu, seperti yang dialami Ahmadiyah, Syiah dan kelompok minoritas agama lainnya.
Gambar ilustrasi: Benedict Rogers saat memberikan sambutan di pertemuan tahunan (jalsah salanah) internasional pada akhir Agustus 2013 lalu di Hadiqatul Mahdi Alton, Hampshire, Inggris.
—
KEBERHASILAN dalam menangani fenomena intoleransi di Indonesia tidak bisa diukur menurut data statistik semata.
Ini ditegaskan Romo Johanes Hariyanto-SJ (ICRP) saat memoderasi Launching & Diskusi Laporan “PLURALISME INDONESIA DALAM ANCAMAN” yang diselenggarakan atas kerjasama Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), selasa (03/06).
Dalam diskusi yang digelar di Teater Utan Kayu (TUK) Jakarta Timur itu, Romo Harry menjelaskan bahwa jumlah peristiwa intoleransi di Indonesia tahun ini bisa saja mengalami penurunan, tetapi itu tidak bisa dijadikan acuan untuk mengatakan bahwa persoalan telah selesai begitu saja.
Angka bisa saja menurun, tetapi akumulasi persoalan dari mulai sikap pemerintah hingga kebijakan yang diskriminatif tidak menunjukkan adanya pencapaian negara dalam menangangi kasus-kasus tersebut.
Selain itu, pemenuhan keadilan bagi para korban intoleransi dan penegakan hukum bagi para pelaku kerap luput dari perhatian pemerintah.
Diskusi—yang juga merupakan peluncuran laporan Christian Solidarity Worldwide (CSW) tentang kondisi pluralisme di Indonesia yang tengah mengalami krisis— menghadirkan Benedict Rogers (Pimpinan CSW untuk wilayah Asia Tengah) dan Ahmad Suaedy (Koordinator the Abdurrahman Wahid Centre for Inter-Faith Dialogue and Peace-University of Indonesia (AWC-UI) sebagai narasumber.
Dalam diskusi tersebut Ben (sapaan untuk Benedict Rogers) menyayangkan kebangkitan intoleransi antaragama yang terjadi di Indonesia.
Terutama jika mengacu pada berbagai peristiwa yang mengorbankan para penganut kepercayaan atau agama tertentu, seperti yang dialami Ahmadiyah, Syiah dan kelompok minoritas agama lainnya.
Ia juga melihat bahwa pola-pola intoleransi yang semula bersifat lokal, atau terjadi di daerah tertentu, kerap meluas dan diadopsi secara nasional oleh kalangan intoleran.
Misalnya itu terjadi dalam kasus yang menimpa masyarakat Syiah dan Ahmadiyah, juga penyegelan dan penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah agama tertentu.
Dalam laporan CSW, paling tidak terdapat lima faktor yang memperkuat kebangkitan intoleransi di Indonesia.
Pertama, tentu saja berakar dari penyebaran ideologi ekstrimis yang dipropagandakan oleh negara-negara seperti Saudi Arabia, Yaman dan negara-negara Timur Tengah lainnya, serta Pakistan.
Faktor lainnya adalah kelambanan pihak berwenang baik di tingkat lokal, provinsi dan nasional dalam menangani berbagai kasus intoleransi yang terjadi.
Bahkan dalam beberapa peristiwa, para pejabat negara seperti Menteri misalnya, kerap memperlihatkan sikap dan pernyataan-pernyataan yang memicu intoleransi.
Faktor lain adalah penerapan undang-undang dan peraturan diskriminatif yang didukung dengan faktor lemahnya penegakan hukum di tingkat aparat polisi dan pengadilan.
Faktor terakhir yang tak bisa dipungkiri adalah fenomena silence majority; masyarakat Muslim sebagai mayoritas dengan populasi terbesar di Indonesia, kerap memperlihatkan keengganan dalam menyuarakan perlawanan terhadap intoleransi.
Meski gejala intoleransi semakin meningkat dan karenanya keberagaman masyarakat nampak terancam, namun Ben optimis bahwa Indonesia bisa melewati masa-masa krisis ini.
Dalam pandangannya, kehadiran lembaga-lembaga atau organisasi yang merawat serta memperjuangkan semangat toleransi dan kebebasan beragama bisa mengatasi, paling tidak mengimbangi, intoleransi dan semangat ekstrimisme yang ada di masyarakat.
Selain itu, forum-forum diskusi di Indonesia cukup ramai dan bisa menjadi salah satu alat untuk mengedukasi kesadaran masyarakat akan pentingnya menyuarakan perlawanan terhadap berbagai bentuk intoleransi. [Evi/SEJUK]