Jakarta – Di sela-sela pertemuan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) seluruh Indonesia di Century Park Hotel Jakarta, Juru Bicara (Jubir) Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Yendra Budiana berhasil menemui Ketua FKUB Jawa Tengah (Jateng) dan Sulawesi Tengah (Sulteng) yakni KH. Taslim Syahlan dan KH. Zainal Abidin pada Selasa (7/6/2022).
Selain sebagai Ketua FKUB Sulteng, KH. Zainal Abidin juga menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Palu. Secara karir akademik, ia merupakan guru besar (profesor) dan Rektor pertama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu.
Saat berbicara dengan kedua Ketua FKUB dan rombongannya, Jubir JAI, Yendra Budiana menyatakan bahwa pertemuan-pertemuan semacam itu dapat mengikis berbagai kecurigaan dan stigma yang selama ini melekat terhadap Ahmadiyah, terutama soal kitab sucinya yang dianggap berbeda. Untuk mau mengenal apa itu Ahmadiyah, Yendra mengatakan JAI telah membuat program kunjungan untuk berinteraksi langsung dengan anggota dan pengurus selama minimal 3 hari. Program inilah yang diberi tagline “Live In” oleh Ahmadiyah.
“Banyak orang yang beranggapan kalau kitab suci Ahmadiyah itu Tadzkirah,” ucap Yendra.
Pada kesempatan yang sama, Ketua FKUB Jateng, KH. Taslim Syahlan menuturkan jika setelah melakukan silaturahmi ke Parung Bogor selama 3 hari, ia menyaksikan sendiri para pemuda yang sedang belajar menghafal (hafidz) Al Quran.
“Saya diajak berkeliling Parung dan bertemu langsung dengan Amir Ahmadiyah,” tutur KH. Taslim.
“Ada program tahfidz dan ada anak muda yang baru hafal 15 juz, bahkan sudah 30 juz,” tegasnya.
Saat menanggapi hal tersebut, KH. Zainal menyatakan banyak orang yang membaca literatur bukan bersumber dari penulis asli, sehingga banyak menemukan subjektivitas karena justru mendapatkan informasi dari orang yang membenci.
“Orang membaca literatur itu bukan dari penulis asli, membaca Ahmadiyah bukan dari buku yang diterbitkan oleh Ahmadiyah,” ujar KH. Zainal.
“Itu masalah,” imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama KH. Zainal mengungkapkan bila hakikat agama Islam itu adalah memberi nilai bukan bentuk. Ia menjelaskan bila di dalam kitab suci Al Quran seorang anak diperintahkan untuk menghormati orang tuanya. Namun, menurutnya perintah tersebut tidak menjelaskan seperti apa bentuk penghormatan yang harus dilakukan oleh seorang anak terhadap orang tuanya.
Selanjutnya ia menceritakan bahwa bentuk penghormatan kepada orang tua itu bisa berbeda-beda seperti perkara salaman, di Sulawesi ada tradisi cium tangan dan di Jawa ada budaya sungkem.
Lebih jauh, KH. Zainal mengatakan jika adzan merupakan sebuah nilai Islam untuk memanggil umat muslim agar melaksanakan shalat. Adapun bedug yang ada di Indonesia hanyalah alat supaya panggilan shalat tersebut sampai kepada umat.
“Jadi Islam itu nilai bukan bentuk,” ungkap KH. Zainal.
“Bentuknya bisa berubah-ubah, tapi nilainya tetap sama,” pungkasnya.