MENCUATNYA sejumlah aksi kekerasan berbau agama membuat sejumlah organisasi non-pemerintah, organisasi keagamaan/kepercayaan, pemerintah pusat/daerah, perguruan tinggi, media, lembaga negara independen dan individu menggelar Konferensi Nasional Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan “Indonesia Tanpa Kebencian”.
Konferensi ini berlangsung dari 2 Juni hingga 3 Juni 2014 di Hotel Royal Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan. Kegiatan merupakan kerjasama The Indonesia Legal Resource Center (ILRC), LBH Jakarta, AWC Universitas Indonesia, CRCS Universitas Gajah Mada, Yayasan Cahaya Guru, SEJUK, dan HIVOS.
Selama dua hari, sebanyak 118 peserta konferensi mendiskusikan isu-isu kebebasan beragama/kepercayaan yang muncul, dan mencari alternatif solusinya ke depan.
Para peserta di samping terdiri dari para perwakilan advokat dan jurnalis, juga berasal dari berbagai lembaga, yaitu: Jemaat Ahmadiyah Indonesia (diwakili oleh Andang Budhi dari JAI Bekasi), AGPAII, Aliansi Laki-Laki Sikka Pro Gender, Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ikha (ANBTI) DIY, Aliansi Sumut Bersatu, AMAN Indonesia, Anand Ashram Foundation, Asia Justice And Rights, Asosiasi LBH APIK Indonesia, BKOK, Center Of Relegion and Nasionalism Studies Surya University, CMARs, CPSSA, Departemen Sosiologi-FISIP UI, eLSA semarang, ELSAM, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), FH Universitas Pancasila (UP), Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD), GKI, ICRP, ILRC, Islamic Movement for Non Violence (IMN), Ketua Asosiasi Bimbingan Dan Konseling (ABKIN) DKI, Komnas Perempuan, LBH Healing Movement, Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), LKBH FH UPH, LKBH UMT, LSIP, Megawati Institute, Penggagas Yoga Gembira, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Depok, Persatuan Guru Nahdatul Ulama, Pondok Pesantren Al-Intiba, PP OTODA FH UB, PUSHAM UNIMED, SatuIslam.org, Sobat KBB, SPK 3-CRCS, Lingkar Muda, STAI Mathali’ul Falah, STT Jakarta, Suara Kita, The Interseksi Foundation, The wahid Institute, Tim Advokasi & Litigasi HKBP Filadelfia, UIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas Hasanuddin (UNHAS), Universitas Indonesia (UI), Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Universitas Katolik Parahyangan, Universitas Muria Kudus, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Negeri Manado (UNIMA), Universitas Pesantren Tinggi Darul ‘Ulum Jombang, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Universitas Surabaya, Yayasan Fahmina, Yayasan Paramadina, YIFoS, dan YLBH Universalia.
***
LATARBELAKANG. Sebagai negara kepulauan yang terdiri atas lebih dari 17.000 kepulauan, Indonesia memiliki luas wilayah sekitar 700.000 mil persegi dan jumlah penduduk 245 juta. Menurut sensus Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, 87,18% penduduk Indonesia meemeluk Islam, 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan. Dan didalam setiap agama terdapat berbagai aliran, sekte atau denominasi.
Keragaman agama dan keyakinan tersebut, telah disadari dan mencapai consensus dalam pendirian Negara Indonesia. Sejak awal, ‘Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 29’ telah menjamin hak kebebasan beragama dan menyatakan bahwa ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
UUD 1945 juga menyatakan pula bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal tersebut memberikan batasan hubungan agama dengan Negara. Yaitu Negara Indonesia tidak akan didasarkan kepada suatu agama tertentu, namun menyatakan keyakinan kepada adanya Tuhan. Rumusan tersebut berasal dari sila pertama Pancasila sebagai ideologi nasional Negara. Dan untuk mengikat keberagaman untuk mencapai tujuan Negara, Indonesia diikat dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ikha.
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik keagamaaan sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan.
Di masa Orde Baru, Soeharto, dengan mengacu pada UU No.1/Pnps/1965 tentang Pencegahan, Penyahgunaan dan Penodaan Agama, pemerintah menafsirkan bahwa agama yang diakui hanya lima agama, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha. Ini adalah penjelasan UU No.1/Pnps/1965 yang menyatakan“ agama yang dipeluk penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu”.
Sedangkan, agama-agama lainnya dipaksa menundukkan diri ke dalam salah satu agama tersebut. Berbagai proses untuk meniadakan eksistensi agama atau kepercayaan lokal dilakukan, antara lain melalui pembuatan kartu identitas diri, seperti pembuatan kartu keluarga (KK) atau kartu tanda penduduk (KTP).
Di dalam formulir yang harus diisi, hanya ada lima agama yang disebutkan, sehingga mereka yang memiliki agama dan kepercayaan yang berbeda terpaksa harus menuliskan salah satu dari lima agama yang diakui oleh negara. Jika tidak, maka mereka akan kehilangan hak-hak sipil dan budayanya, seperti pencatatan kelahiran, pencatatan perkawinan, akses dan karir pekerjaan dan pendidikan. Untuk sebagian proses-proses itu masih berlangsung sampai sekarang.
UU ini memberi kewenangan penuh kepada Negara untuk: 1) melalui Depag menentukan “pokok-pokok ajaran agama”; 2) menentukan mana penafsiran agama yang dianggap “menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama” dan mana yang tidak; 3) jika diperlukan, melakukan penyelidikan terhadap aliran-aliran yang diduga melakukan penyimpangan, dan menindak mereka.
Dua kewenangan terakhir dilaksanakan oleh BAKORPAKEM, yang semula didirikan di Depag pada tahun 1954 untuk mengawasi agama-agama baru, kelompok kebatinan dan kegiatan mereka. Namun, semenjak 1960 tugas dan kewenangan diletakkan di bawah Kejaksaan Agung. Sampai dengan tahun 1999, Kejaksaan di berbagai daerah telah mengeluarkan 37 keputusan tentang aliran kepercayaan/ keagamaan, dan kepolisian menyatakan 39 aliran kepercayaan dinyatakan sesat.
Demikian halnya, Soeharto mengeluarkan peraturan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Presiden Soeharto mencoba membatasi apapun yang berhubungan dengan budaya Tionghoa, mencakup nama dan agama. Stigma sebagai komunis dikenakan kepada warga yang menolak hal tersebut. Dan atas nama untuk menjaga ideology Pancasila, yang disebut sebagai ideology tunggal, pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan, termasuk kampanye antimemerangi perbedaan pendapat berbeda yang disebut dengan “ektrim kanan” (Islam) dan “ektrim kiri” (komunis).
Untuk mengontrol kehidupan agama, pemerintah membentuk organisasi-organisasi keagamaan seperti MUI, PGI, KWI, Walubi sebagai organisasi yang diberikan kewenangan melakukan penafsiran tunggal terhadap ajaran agama masing-masing. Penggunaan tindakan refresif oleh militer terhadap segala sesuatu yang dinilai akan menganggu kestabilan, telah membangun ketakutan warganegara untuk menyuarakan pendapatnya, dan kehidupan keagamaan berada dalam toleransi pasif.
Reformasi 1998 yang menjatuhkan orde baru, melahirkan perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia. UUD 1945 telah mengalami perubahan mendasar, yaitu dengan mengintegrasikan ketentuan-ketentuan dari instrumen-instrumen internasional mengenai HAM. Hal ini terdapat dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 28–28 J).
Untuk bidang HAM, Indonesia telah mengesahkan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memperkuat jaminan pemenuhan HAM. Indonesia juga telah meratifikasi dua kovenan pokok internasional yaitu Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) melalui UU No. 11 tahun 2005 dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (Sipol) melalui UU No. 12 tahun 2005. Untuk hak kebebasan beragama atau berkeyakinan sendiri, dengan perubahan UUD 1945, ratifikasi konvensi internasional dan sejumlah UU menjadi semakin kuat.
Namun, jaminan hak ini tidak sepenuhnya dipenuhi dan dilindungi oleh negara. Hasil monitoring yang dilakukan oleh Wahid Institute pada tahun 2011, “Merah Kebebasan Beragama: Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi 2011” dapat diakses melalui WahidInstitute.org, menyatakan bahwa telah terjadi peningkatan pelanggaran KBB di berbagai daerah di Indonesia.
Apabila tahun sebelumnya hanya 64 kasus maka jumlah ini meningkat 18% menjadi 93 kasus dan tindak intoleransi yang terjadi pada tahun 2011 ini berjumlah 184 kasus, atau sekitar 15 kasus terjadi setiap bulannya. Angka ini naik 16% dari tahun sebelumnya yang hanya berjumlah 134 kasus.
Dan, menurut Setara Institut, mengutip dari BBC tentang “Negara dan kekerasan agama”, terdapat sekitar 299 kasus peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi pada tahun 2011.
Kedua laporan tersebut menunjukkan pelanggaran dan intoleransi terus meningkat setiap tahunnya, khususnya sejak era reformasi. Intoleransi agama semakin menguat terlihat dari hasil survey Lingkaran Survei Indonesia (LSI), yang mengungkapkan bahwa sebanyak 15-80 persen publik Indonesia merasa tidak nyaman jika hidup berdampingan atau bertetangga dengan orang yang berbeda identitas.
Secara umum, angka tingkat intoleransi ini meningkat dibandingkan hasil survey sebelumnya. Dan, dari survei LSI “Orang RI Tidak Nyaman Bertetangga dengan Orang Beda Identitas” mengutuip Detik.com, toleransi masyarakat terhadap penggunaan kekerasan sebagai salah satu cara dalam menegakkan prinsip agama juga meningkat.
Selain berdasarkan survey, aksi intoleransi berbasis agama semakin marak terjadi. Kelompok-kelompok minoritas keagamaan menjadi sasaran intimidasi, koersi, persekusi, perusakan properti, penutupan paksa tempat ibadah, penjarahan, penganiayaan, dan bentuk kekerasan lainnya. Seperti penyerangan dan pengusiran Ahmadiyah di berbagai kota di Indonesia, penyerangan dan pengusiran Syiah di Sampang, pengrusakan gereja HKBP Filadephia, pemukulan terhadap pendeta di Ciketing, Bekasi, gangguan ibadah terhadap agama nasrani, pembongkaran kuburan penganut Sapto Dharmo maupun tidak dilayaninya administrasi kependudukan untuk warganegara di luar enam agama yang diakui.
UU Penodaan Agama pada era ini digunakan pula untuk menghukum orang-orang yang memiliki penafsiran berbeda dari agama-agama yang diakui. Seperti Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) karena dinilai melakukan “kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran islam” mengalami persekusi, dan dilegitimasi dengan SKB Tiga Menteri. UU Penodaan Agama mengkriminalkan para penganut agama yang secara damai meyakini dan melaksanakan agama atau keyakinannya. Hasil pemantauan ILRC terhadap penerapan pasal 156a KUHP meningkat tajam pada era reformasi khususnya pada masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
Dan untuk kasus-kasus kebebasan beragama/berkeyakinan yang penyelesaiannya melalui sistem peradilan, akan berhadapan dengan kekerasan dan intimidasi dari kelompok intoleran. Di dalam sistem peradilan pidana, proses persidangan berlangsung secara tidak adil dan tidak tidak memihak (unfair trial), di mana korban diposisikan sebagai pelaku, sedangkan pelaku kekerasan dianggap sebagai pahlawan. Kondisi ini menyebabkan para pelaku kekerasan atas nama agama divonis ringan atau dibebaskan. Demikian halnya dalam kasus-kasus di lingkup tata usaha negara. Di samping kekerasan dan intimidasi dari kelompok intoleran, terdapat kelemahan hakim dalam memahami hak KBB, dan bagaimana memposisikan diri antara sebagai penganut agama dan hakim sendiri.
Juga, seiring otonomi daerah, yang memberikan kewenangan untuk mengatur sumber daya alam, merambah pula kepada pengaturan kehidupan keagamaan. Sampai 18 Agustus 2013, Komnas Perempuan mencatat 342 kebijakan diskriminatif, 265 kebijakan secara langsung menyasar perempuan atas nama agama dan moralitas. Termasuk dalam 265 kebijakan itu adalah 79 kebijakan yang mengatur cara berpakaian berdasarkan interpretasi tunggal ajaran agama penduduk mayoritas. 124 kebijakan tentang prostitusi dan pornografi, 27 kebijakan tentang pemisahan ruang publik laki-laki dan perempuan atas alasan moralitas (19 di antaranya menggunakan istilah khalwat atau mesum) dan 35 kebijakan terkait pembatasan jam keluar malam yang pengaturannya mengurangi hak perempuan bermobilitas, pilihan pekerjaan, serta perlindungan dan kepastian hukum.
Walau pelanggaran hak KBB meningkat pasca reformasi, namun di sisi lain terjadi pula gerakan advokasi hak KBB yang dilakukan masyarakat sipil. Gerakan baik dalam bentuk advokasi kasus-kasus pelanggaran hak kebebasan beragama, kampanye toleransi, pendidikan sampai pada upaya-upaya perubahan kebijakan. Sejumlah tokoh dan LSM telah mengajukan uji materiil UU Penodaan Agama ke Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan Mahkamah Konstitusi memutuskan UU tetap konstitusional, dengan putusan 7 hakim menyatakan konstitusional, hakim Harjono menyatakan concurring opinion, dan Hakim Maria Farida menyatakan dissenting opinion.
Untuk rumah ibadah, terdapat sejumlah putusan TUN yang menegaskan ijin mendirikan rumah ibadah. Pada upaya membangun toleransi, tumbuh gerakan-gerakan yang dimotori generasi muda, seperti #BedaIsMe, Indonesia tanpa diskriminasi, dan lain-lain. Sedangkan pada level pejabat publik, hadir tokoh-tokoh seperti Gubernur DKI Jakarta, yang menolak pemindahan Lurah Susan atas dasar keyakinannya, menyelesaikan ketegangan terkait pembangunan Gereja Cinta Kasih. Bupati Wonosobo, Kholiq Arif yang membela kehadiran penganut agama-agama minoritas dan Ahmadiyah di wilayahnya, di tengah sejumlah kepala daerah mengeluarkan larangan aktivitas Ahmadiyah.
***
KONFERENSI berisi berbagai bentuk kegiatan, yaitu Universities Lecture, Public Lecture, Workshop, Pameran.
UNIVERSITIES Lecture merupakan kuliah di universitas-universitas, ditujukan untuk menjembatani kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat dengan dunia akademik.
Kuliah di universitas-universitas, dimaksudkan pula untuk memperkenalkan perkembangan-perkembangan terbaru di issue hak kebebasan beragama dan atau berkeyakinan (KBB), serta mendorong partisipasi kalangan perguruan tinggi dalam mempromosikan hak asasi manusia.
PUBLIC Lecture adalah uliah umum yang diberikan oleh pemerintah daerah yang mampu mendorong pemerintahan yang terbuka. Kuliah umum sekaligus memberikan reward kepada pemerintah daerah yang mendorong pemenuhan hak KBB.
WORKSHOP atau lokakarya. Ini berbentuk tematik, dilakukan secara parallel, temanya bersifat khusus. Ia sebagai sarana untuk berbagi di antara berbagai komponen. Pesertanya dibatasi, dipisah, dan diseleksi berdasarkan kompentensi sesuai tema-tema yang didiskusikan.
Ada lima kelompok workshop. Workshop pertama adalah Inklusif Governance, dikelola oleh Abdurrahman Wahid Center (AWC) Universitas Indonesia (UI).
Workshop kedua yaitu Peradilan dan Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, dikelola oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Workshop ketiga yaitu terkait ‘pendidikan keberagaman’ yang dikelola oleh Yayasan Cahaya Guru.
Workshop keempat adalah ‘gerakan sosial membangun toleransi’. Ia dikelola Center for Religious and Crosscultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM).
Workshop kelima bertemakan “Anak Muda, Media Sosial dan Toleransi Beragama”, dipandu oleh HiVOS.
PAMERAN. Ini merupakan side event untuk mempromosikan program, lembaga, dan atau karya-karya terkait gerakan hak KBB.
***
PARA peserta menilai Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (Sipol), sudah menjamin hak setiap orang atas KBB termasuk hak mempunyai agama/kepercayaan sesuai dengan pilihannya, hak untuk beribadah, dan lain-lain.
Akan tetapi, jaminan hukum dan konstitusi belum bisa dilaksanakan secara baik. Kelompok-kelompok minoritas keagamaan/kepercayaan di Indonesia, dinilai belum bisa menikmati hak atas KBB.
Masih minimnya penegakan hukum secara adil atas kasus-kasus kekerasan/pelanggaran KBB juga menjadi perhatian utama peserta konvensi.
Aparat Penegak Hukum (APH) dinilai belum bisa bertindak independen dalam penegakan hukum tersebut, dan lebih banyak tunduk kepada tekanan massa.
Hal itu, dikutip TribunNews.com, bisa dilihat dari munculnya sejumlah regulasi di tingkat lokal yang bersifat diskriminatif dan cenderung melanggar hak atas KBB, semisal Peraturan Walikota Malang tentang rumah ibadah yang mensyaratkan harus mendapatkan dukungan dari 90 orang warga yang tinggal maksimal dua ratus meter di sekitar tempat ibadah tersebut, dan lain-lain.
Peserta konferensi juga melihat, bahkan sekolah-sekolah negeri, yang harusnya menjadi ruang publik dialogis tempat untuk dialog kritis, sudah menjadi tempat untuk doktrinal keagamaan. Peserta juga memperhatikan maraknya persebaran hasutan kebencian yang bisa mengancam fondasi toleransi di Indonesia
Tetapi di sisi lain, para peserta juga melihat masih ada harapan terutama di tingkat lokal yaitu adanya inisiatif untuk menjaga keragaman agama/kepercayaan. Seperti inisiatif yang dilakukan oleh Bupati Wonosobo Abdul Kholiq Arief yang menginisiasi untuk membentuk forum dialog informal keagamaan/kepercayaan yang melibatkan seluruh elemen keagamaan terutama kelompok-kelompok minoritas keagamaan.
Peserta konvensi juga mendesak menghapuskan praktek diskriminasi di dalam pelayanan publik untuk kelompok-kelompok minoritas keagamaan seperti akses untuk mendapatkan kartu identitas kependudukan, kartu keluarga, pencatatan perkawinan. Inisiatif seperti ini dinilai merupakan model pengelolaan keragaman yang perlu dipertimbangkan dan dicontoh oleh daerah-daerah lain untuk menjaga dan mengelola keragaman.
***
PANCASILA, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, UU Nomor 12/2005 tentang Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (Sipol) sudah menjamin hak setiap orang atas kebebasan beragama/kepercayaan (KBB) termasuk hak mempunyai agama/kepercayaan sesuai dengan pilihannya, hak untuk beribadah dan lain-lain.
Akan tetapi, jaminan hukum dan konstitusi belum bisa dilaksanakan secara baik. Kelompok-kelompok minoritas keagamaan/kepercayaan di negeri ini belum bisa menikmati hak atas kebebasan beragama/kepercayaan. Kemudian juga, masih minimnya penegakan hukum secara adil atas kasus-kasus kekerasan/pelanggaran KBB.
Aparat Penegak Hukum (APH) belum bisa bertindak independen dalam penegakan hukum tersebut, dan lebih banyak tunduk kepada tekanan masa. Juga munculnya regulasi di tingkat lokal yang bersifat diskriminatif dan cenderung melanggar hak atas kebebasan beragama/kepercayaan seperti Peraturan Walikota Malang tentang rumah ibadah yang mensyaratkan harus mendapatkan dukungan dari 90 orang warga yang tinggal maksimal 200 meter di sekitar tempat ibadah tersebut, dan lain-lain.
Bahkan sekolah-sekolah negeri, yang harusnya menjadi ruang publik dialogis tempat untuk dialog kritis, sudah menjadi tempat untuk doktrinal keagamaan. Kami juga memperhatikan maraknya persebaran hasutan kebencian yang bisa mengancam fondasi toleransi di negeri ini.
Tetapi di sisi lain, masih ada harapan terutama di tingkat lokal yaitu adanya inisiatif untuk menjaga keragaman agama/kepercayaan. Seperti inisiatif yang dilakukan oleh Bupati Wonosobo Abdul Kholiq Arief yang menginisiasi untuk membentuk forum dialog informal keagamaan/kepercayaan yang melibatkan seluruh elemen keagamaan terutama kelompok-kelompok minoritas keagamaan.
Kemudian juga, menghapuskan praktek diskriminasi di dalam pelayanan publik untuk kelompok-kelompok minoritas keagamaan seperti akses untuk mendapatkan kartu identitas kependudukan, kartu keluarga, pencatatan perkawinan. Mungkin inisiatif ini merupakan model pengelolaan keragaman yang perlu dipertimbangkan dan dicontoh oleh daerah-daerah lain untuk menjaga dan mengelola keragaman.
Selama dua hari ini (2-3 Juni 2014) di Jakarta, sejumlah 118 peserta dari organisasi non-pemerintah, organisasi keagamaan/kepercayaan, pemerintah pusat/daerah, perguruan tinggi, media, lembaga negara independen dan individu telah menghadiri Konferensi Nasional KBB ini. Konferensi KBB ini bertujuan untuk mendiskusikan isu-isu kebebasan beragama/kepercayaan yang muncul, dan mencari alternatif solusinya ke depan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, para peserta konferensi nasional KBB merekomendasikan kepada penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah, APH, dan juga masyarakat sebagai berikut:
1. Mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan pengelolaan keragaman secara adil seperti model pengelolaan keragaman yang dilakukan oleh Kab. Wonosobo Jawa Tengah;
2. Melakukan revisi tentang Peraturan Bersama Menteri Agama dan Dalam Negeri tentang ijin mendirikan rumah Ibadah, dan juga revisi aturan-aturan sejenis di tingkat lokal;
3. Membentuk mekanisme yang transparan dan partisipatif untuk meninjau ulang (review) aturan-aturan di daerah yang melanggar konstitusi/peraturan-peraturan yang lebih tinggi oleh pemerintah pusat (Depdagri);
4. Menyediakan pendidikan KBB untuk Aparat Penegak Hukum (APH) seperti Jaksa, Hakim, Polisi dan Advokat;
5. Membekali aparat keamanan dengan kapasitas yang memadai untuk mengantisipasi ancaman hasutan kebencian bekerjasama dengan kekuatan masyarakat yang relevan. Disamping itu, masyarakat perlu menyadari bahaya ujaran kebencian, karena itu penting memasukkan dalam kode etik larangan hasutan kebencian dalam kode etik lembaga masyarakat sipil seperti sekolah dan lain-lain.
6. Mendorong dialog antara APH, masyarakat, dan pimpinan-pimpinan keagamaan/kepercayaan untuk mencegah dan mencari solusi permasalahan keagamaan;
7. Menghapuskan aturan-aturan keagamaan yang diskriminatif dan anti keragaman di sekolah-sekolah negeri;
8. Mengembalikan fungsi sekolah sebagai pemersatu, penyemai kebangsaan dan penguat rasa kebangsaan.
9. Memfasilitasi kebebasan berekspresi melalui media cetak, siar, dan online untuk kepentingan masyarakat umum dalam melindungi keberagaman umat beragama.
***
IndonesiaToleran.or.id | TribunNews.com | YouTube.com | SEJUK.org