Penembakan di North Carolina [Chapel Hill] bukan sekedar “perselisihan persoalan parkir”. Kabar yang beredar, hal ini berkaitan dengan sikap anti-muslim.
Tiga mahasiswa tewas pada hari Selasa di Chapel Hill, North Carolina, [mereka bertiga] muslim yang membangakan dan warga Amerika yang membanggakan. Deah Shaddy Barakat, 23tahun, istrinya Yusor Abu-Salha, 21 tahun, [mereka berdua] mendedikasikan diri melayani kemanusiaan, mereka yang tertindas dan menderita. Adik perempuan Abu-Salha, Razan Abu-Salha, 19 tahun, adalah seorang seniman berbakat di North Carolina State University.
Dalam benak saya, sulit untuk percaya bahwa ketiga mahasiswa muslim tersebut menjadi target pembuhunan bukan karena iman mereka.
Tetangga mereka, Craig Stephen Hicks, didakwa dengan pembunuhan tingkat pertama atas kematian ketiga mahasiswa tersebut. Sementara itu Kepala Kepolisian Chapel Hill, Chris Biru, menyatakan bahwa motif Hicks ‘didasarkan pada “perselisihan persoalan parkir,” ia juga mengakui “kekhawatiran mengenai kemungkinan bahwa persitiwa ini termotivasi oleh kebencian.”
Akui saja, jika Hicks adalah Muslim, dan korbannya seorang berkulit putih seperti Hicks, kita akan sulit menemukan judul berita tanpa adanya kata teroris. Faktanya di media sosial, #ChapelHillShooting menunjukkan tren sebagai nomor satu, dengan banyak muncul pertanyaan yang sama. Namun, telah terjadi pendekatan apatis terhadap para korban Muslim selama dasawarsa terakhir yang mencerminkan adanya standar ganda.
Mari kita deskripsikan sang terdakwa:
Hicks menyebut dirinya “anti-teis” dan memuji penulis seperti Richard Dawkins. Tapi jangan berharap anti-teis bertanggung jawab atas tindakan Hicks tersebut. Sementara anti-teis menyalahkan Islam hanya karena teroris Islam mengklaim mengamalkan ajaran Islam, argumen seperti itu tampaknya tidak berlaku untuk teroris anti-teis.
Hicks seorang pria kulit putih. Pemerintah melaporkan bahwa 70% pelaku penembakan massal di Amerika dalam 30 tahun terakhir dilakukan oleh pria kulit putih. Namun jangan harap pemerintah membahas tentang mengapa orang kulit putih menjadi radikal, atau bagaimana mengendalikan radikalisasi [orang kulit putih].
Tersangka pria bersenjata tersebut berasal dari North Carolina, sebuah negara bagian yang telah mengesahkan “undang-undang anti-syariah” yang tidak masuk akal dan berbau Islamofobia. Hukum seperti itu, selain tidak ada maknanya dan tidak konstitusional, juga mempromosikan kebencian terhadap Muslim, intoleransi terhadap Islam, dan rasa takut kepada semua orang yg tidak mengikuti “standar” xenophobia yang seolah ditampakkan oleh tiap warga amerika?.
Baru-baru ini, Duke University terpaksa membatalkan “adzan” yang telah direncanakan setelah menerima “ancaman keamanan.” Namun jangan berharap adanya pengakuan publik bahwa North Carolina mendorong fanatisme anti-Muslim.
Bukti meningkatnya Islamophobia ditunjukkan oleh, misalnya, meningkatnya jumlah undang-undang anti-syariah di seluruh negeri. Demikian pula tidak dapat dibantah bahwa meningkatnya diskriminasi anti-Muslim dan kekerasan anti-Muslim. Departemen Kehakiman telah menyelidiki lebih dari 800 kasus kekerasan terhadap warga Amerika Muslim, Arab, atau berlatar belakang Asia Selatan sejak 9/11.
Begitu juga, Pew melaporkan bahwa sementara hanya kurang dari setengah orang Amerika yang pernah bertemu dengan seorang Muslim, Muslim Amerika memiliki rating persetujuan terendah dibanding demografis iman lainnya. Sebuah survei terbaru menunjukkan bahwa, “83% orang Amerika mengatakan orang-orang yang melakukan kekerasan dan mengaku Kristen bukanlah [penganut] Kristen sejati, sementara kurang dari setengah orang Amerika (48%), berpikir bahwa orang yang menyatakan Muslim yang melakukan kekerasan atas nama Islam bukanlah Muslim sejati. “
Bias ini juga telah berdampak pada pencari kerja Muslim dan mereka disarankan untuk menghapus apapun yang mengindikasikan iman mereka pada aplikasi pekerjaan. Bahkan, New York Times melaporkan data dari Equal Employment Opportunity Commission yang menunjukkan bahwa dengan hanya 2% dari total tpopulasi, Muslim Amerika mencapai hingga 25% dari tindakan diskriminasi agama.
Saat tiga mahasiswa yang tidak berdosa akan segera dimakamkan, saya teringat kata-kata menghibur dari yang mulia Khalifah Islam setelah serangan mengerikan di sekolah Peshawar di Pakistan Desember lalu, di mana lebih dari 140 orang – yang sebagian besar anak-anak – dibunuh: “Semoga Allah Ta’ala mengampuni seluruh korban dan mereka yang ditinggalkan berduka dengan jubah kasih dan cinta-Nya, dan memberikan orang tua mereka kesabaran serta ketabahan. “
Dan seperti serangan Peshawar yang merupakan momen penting bagi Pakistan, serangan Chapel Hill juga harus menjadi momen penting untuk Amerika. Warga Amerika harus mengutuk mengerikan ini sebagai bipartisan dan juga semua kefanatikan dan kekerasan anti-Muslim. Ini berarti tidak ada lagi mitos “no go zone“, tidak ada lagi ketakutan “anti-syariah”, dan tidak ada lagi media yang menggunakan standar ganda.
Cukup sudah. Setelah pembunuhan yang tidak masuk akal ini, satu-satunya pertanyaan yang media, politisi dan setiap warga amerika yang harus pertanyakan adalah “Bagaimana kita sekarang bisa beriringan bersama Muslim Amerikadan menghentikan hal ini terjadi lagi?”
Sumber : USA Today
Qasim Rashid adalah seorang pengacara, penulis, dan juru bicara nasional Jamaah Muslim Ahmadiyah USA.