Semarang – Maraknya kasus pembatasan HAM berupa pelanggaran pelaksanaan hak-hak konstitusional terhadap kelompok minoritas yang salah satunya Jemaat Ahmadiyah Indonesia, mendorong sejumlah lembaga melakukan riset kolaboratif.
Dalam kegiatan tersebut setidaknya terdapat tiga pihak yang terlibat, SETARA Institute, Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) dan Yayasan Satu Keadilan (YSK).
Riset yang dilakukan menjadi data dasar (baseline) dalam menganalisis kasus. Kemudian menghasilkan sebuah buku yang menjadi pedoman untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Buku itu berjudul “Inklusi Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Keindonesiaan”.
Dalam roadshow desiminasi riset yang diadakan di Kota Semarang pada Kamis (10/11/2022), para peneliti menyampaikan beberapa temuan kunci yang dihasilkan. Diantaranya sebagai berikut:
1. Diskriminasi dan intoleransi terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) terjadi secara terbuka pasca keruntuhan Orde Baru. Tepatnya pada 1 Oktober 1998 terhadap para anggota Ahmadiyah di Lombok Timur. Saat itu terjadi perusakan, pembakaran masjid dan rumah-rumah mereka. Tidak hanya itu, para anggota Ahmadiyah juga diusir dari kampung halamannya. Hal serupa terjadi di berbagai tempat pada tahun 2002, 2005, 2007, hingga tahun ini. SETARA Institute mencatat 588 peristiwa pelanggaran KBB telah menimpa JAI.
2. Highlights diskriminasi dan intoleransi terhadap JAI di beberapa daerah. Kabupaten Bogor, Kota Depok dan Kabupaten Garut menjadi contoh daerah yang memiliki preseden buruk dalam diskriminasi dan intoleransi terhadap JAI. Sebaliknya, penelitian menemukan bahwa Kota Semarang dan Padang merupakan daerah yang memiliki iklim kondusif terhadap jaminan hak-hak konstitusional JAI.
3. Pelembagaan diskriminasi dan intoleransi terhadap JAI. Setidaknya terdapat 71 produk hukum diskriminatif yang berdampak pada penderogasian hak-hak konstitusional JAI, baik yang berlaku di tingkat nasional maupun lokal. Dengan rincian, 16 peraturan meliputi Undang-Undang, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, dan Peraturan Walikota, 47 kebijakan hasil Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), yang meliputi Surat Keputusan Bersama, Surat Keputusan Gubernur, Surat Keputusan Walikota, Surat Keputusan Bupati, hingga Surat Keputusan Kejaksaan Negeri. Selain itu ada juga 8 instrumen Non-Peraturan Perundang-Undangan dan Non-KTUN, seperti Fatwa dan Surat Dewan Pimpinan MUI.
4. Pembatasan terhadap hak beragama JAI yang dimuat dalam ketentuan peraturan kepala daerah telah menyalahi ketentuan UU HAM. Padahal secara hierarki kedudukannya, peraturan kepala daerah berada di bawah undang-undang.
5. Inklusi Sosial Masyarakat terhadap JAI atau sebaliknya sebenarnya berlangsung dalam beberapa konteks. Data menunjukan, JAI sebenarnya rutin melangsungkan kegiatan sosial kepada masyarakat tanpa memandang identitas apapun. Seperti kegiatan sosial oleh sayap organisasinya bernama Humanity First, donor darah, menjadi organisasi pendonor mata terbesar, hingga kegiatan Posyandu, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga, dan kerja bakti di daerah masing-masing. Selain itu, anggota JAI juga rutin melakukan jalinan komunikasi dan silaturahmi kepada tokoh-tokoh dan masyarakat sekitar.
6. Dinamika politik lokal dan nasional seringkali menjadi faktor negatif bagi inklusi minoritas. Pemilu dan pilkada berkontribusi dalam menaik-turunkan pelbagai wacana dan tindakan intoleran. Dalam momen tersebut kerap kali terjadi deal-deal politik antara kelompok intoleran dan para praktisi politik. Kelompok intoleran berkepentingan mengembangkan strategi membangun dukungan penguasa, sebaliknya parpol dan politisi juga membutuhkan suara dari kelompok tersebut.
7. Respons JAI dan Pemerintah Pusat/Daerah terhadap diskriminasi dan intoleransi yang menimpa mereka. Tindakan diskriminatif dan intoleransi terhadap JAI dari tahun ke tahun mencerminkan hak-hak Konstitusional JAI yang belum dilindungi dan dipenuhi oleh negara.
Melihat berbagai temuan tersebut, dalam kesempatan yang sama para peneliti memberikan 5 poin rekomendasi kepada pemerintah. Hal itu semata-mata untuk menyelesaikan pekerjaan rumah kebangsaan yang sedang dihadapi, terutama berkenaan dengan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB). Poin-poin yang dimaksud diantaranya:
1. Presiden hendaknya mengeluarkan regulasi presidensiil yang menginstruksikan agar seluruh kementerian, khususnya Kementerian Dalam Negeri, mendorong pemerintah daerah untuk mengimplementasikan tata kelola pemerintahan yang memperkuat kebinekaan dan menghimpun keanekaan latar belakang masyarakat di daerah, termasuk keragaman identitas agama. Dalam konteks itu, tidak boleh tidak, toleransi mesti menjadi etika kolektif dalam kemajemukan dan menjadi variabel kunci dalam pembangunan daerah.
2. Pemerintah Pusat, khususnya Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri, untuk lebih meningkatkan perhatian terhadap pembangunan toleransi dan kerukunan. Hal ini sangat penting sebagai bentuk pelaksanaan visi pembangunan nasional yang berorientasi pada pengelolaan keberagaman dan kebhinekaan yang ada. Kepada pemerintah daerah yang belum menunjukkan kinerja yang baik agar diberikan asistensi dan pendampingan. Sementara yang berhasil, dijadikan percontohan dan diberikan penghargaan.
3. Kepada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), hendaknya BPIP menjadikan toleransi sebagai konsep yang melembaga dalam tata kelola pembangunan di Indonesia sekaligus sebagai etika kolektif dalam tata kelola kebinekaan Indonesia. Oleh karena itu dalam berbagai programbpembinaan dan pembudayaan Pancasila, toleransi semestinya menjadi satu variabel yang mendapatkan penekanan. Selain itu, BPIP hendaknya memberikan perhatian yang lebih untuk memberikan daya dukung struktural bagi praktik dan promosi toleransi oleh pemerintah daerah.
4. Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008, Nomor KEP033/A/JA/6/2008, Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat secara faktual telah dijadikan sebagai alat legitimasi dan memicu kelompok-kelompok intoleran untuk melakukan pelanggaran hak konstitusional, persekusi, dan kekerasan atas warga JAI di beberapa daerah. Maka pemerintah harus mengevaluasi dan mencabut peraturan tersebut.
5. Kepada Pemerintah Provinsi/ Kota/ Kabupaten, untuk menghapus/meninjau kembali berbagai kebijakan daerah diskriminatif yang mengancam hak atas kebebasan beragama/ berkeyakinan dan diskriminatif. Hal ini sangat penting sebagai bentuk tindakan nyata memajukan iklim toleransi di daerah. Sebaliknya mendorongvPemerintah Provinsi/ Kota/ Kabupaten untuk menerbitkan kebijakan daerah terutama Perda yang secara tegas mendukung toleransi dan kerukunan serta nondiskriminatif.
Kontributor: Rafi Assamar
Editor: Mubarak