Angon mongso ~ Terjemahan buku Ahmad Sang Mahdi karya Iain Adamson, yang aslinya berjudul Ahmad The Guided One, telah selesai pada bulan Mei 2021.
Buku tersebut adalah biografi pendiri Jemaat Ahmadiyah: Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. yang diterjemahkan dan dicetak untuk konsumsi publik Indonesia agar masyarakat luas mengenal lebih dekat dirinya. Tak kenal maka tak sayang.
Sebagai penerjemah, saya memerlukan ulasan (blurb) dari para cendekiawan Indonesia yang juga sahabat-sahabat Jemaat Ahmadiyah.
Bersama Ahmad Saifudin Mutaqi (Pak Uud), penggiat dialog lintas iman dan anggota Jemaat Ahmadiyah di Yogyakarta, kami kumpulkan sejumlah nama dalam daftar pilihan pengisi ulasan, di antaranya adalah Buya Syafii Ma’arif, Prof. Abdul Mu’ti, KH Muhammad Imam Aziz, Dr. Najib Burhani, serta sejumlah tokoh Nahdlatul Ulama lainnya. Namun gayung tak cepat bersambut, sementara kami perlu solusi cepat untuk pendekatan dan komunikasi langsung melalui beberapa pihak.
Di Yogyakarta, diantar oleh Pak Uud, saya kemudian berkunjung ke rumah mbak Listia Suprobo, penggiat pendidikan inter-religius multikultur dan pengurus di grup PAPPIRUS yang banyak memikirkan terobosan untuk kurikulum pendidikan agama di level dasar dan menengah (dikdasmen) mengenai “Menjadi Manusia Indonesia yang Beradab”.
Ditemani secangkir teh hangat, kami berdiskusi panjang lebar. Mbak Listia kemudian mengusulkan agar kami sowan ke rumah Kyai Imam Aziz di Dusun Turen, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman DIY, sekaligus mengirim surat permohonan resmi ke Prof. Abdul Mu’ti yang saat itu merupakan dosen dan guru besar di Fakultas Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Beberapa hari kemudian, mbak Listia menghubungi Kyai Imam. Siapa mengira, ia langsung menyambut permohonan kami untuk untuk bersilaturahim di kediamannya.
Pada bulan Juni 2021, akhirnya kami bertiga berkunjung ke rumahnya. Sambutan Kyai Imam dan istrinya, mbak Rindang Farihah, terasa begitu hangat. Kami berbincang santai sekaligus menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan kami.
Gayung langsung bersambut. Kyai Imam bersedia menerima dummy buku Ahmad Sang Mahdi untuk dibaca dan dipelajari sebelum naik cetak di penerbit LKiS Yogyakarta. Kebetulan Kyai Imam adalah salah satu tokoh pendiri LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), sebuah jaringan organ sayap NU yang menggerakkan gairah Nahdliyin generasi muda untuk menulis, berdiskusi, peduli, dan berempati pada isu-isu ketimpangan dan ketidak-adilan sosial di masa ORBA.
Tak perlu menunggu lama, kurang dari sebulan Kyai Imam tamat membaca buku dan memberi masukan perbaikan dalam hal konsistensi, terutama untuk referensi teks ayat-ayat Quran.
Lalu pada tanggal 2 Juli 2021, saya datang sendiri ke rumahnya. Kembali, sambutan dan senyum hangat yang tulus, saya dapatkan. Kami berdua berdiskusi cukup lama mengenai isi buku di teras depan rumahnya. Dan beberapa hari kemudian, tepatnya pada tanggal 6 Juli 2021, saya menerima teks lengkap ulasan Kyai Imam untuk buku Ahmad Sang Mahdi via whatsapp.
Tanggal 5 Oktober 2021 buku Ahmad Sang Mahdi telah selesai dicetak 5.000 eksemplar. Saya minta bertemu lagi Kyai Imam yang kebetulan sedang di Jakarta untuk menyerahkan sejumlah buku yang telah dicetak. Awalnya pertemuan siang tanggal 2 Desember 2021 dijadwalkan di kantor PB NU di Jl. Kramat Raya Jakarta Pusat. Saat itu ia masih menjabat sebagai Ketua Harian PB NU Jakarta.
Jadwal berubah menjadi sore, karena kesibukannya, yang saya perkirakan sebagai ketua panitia (steering commitee) untuk mempersiapkan Muktamar ke-34 NU 2022 di Lampung.
Ditemani oleh Yendra Budiandra, juru bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia, dan Rikal Dikri, seorang Nahdliyin muda gen Y (Milenial) asal Tasikmalaya yang penuh semangat, kami bertemu Kyai Imam di sebuah suite room di Hotel Merlin Park, Jakarta.
Seperti biasa, kami diterima dengan hangat olehnya, mbak Rindang, putri balitanya, serta kakak sepupu mbak Rindang, mas Ahmad Afnan seorang dosen di UIN Walisanga Semarang.
Kami bertemu sebentar saja, karena menjelang akhir senja, namun pembicaraan kami tetap hangat mengenai seputar Ahmadiyah dan Ahmad Sang Mahdi. Kyai Imam juga sempat menyampaikan disela pembicaraan bahwa Ahmadiyah tidak pernah dianggap sesat secara resmi oleh PB NU, walaupun ada dari segelintir tokoh NU yang juga beragam pendapatnya.
Tunai sudah janji saya sebagai penerjemah untuk menyerahkan langsung kitab Ahmad Sang Mahdi ke Kyai Imam Aziz.
Meski belum lama mengenal dan berinteraksi dengan Drs. KH Muhammad Imam Aziz, tapi sosoknya telah menorehkan kesan yang mendalam dalam hati saya. Ia adalah sosok kebapakan yang bijak, lembut, kalem, dan bersahaja. Seorang alim yang tangguh dalam ilmu agama, konsisten dalam toleransi, prinsip dan pendirian yang disalurkan untuk merawat, mengokohkan kebebasan beragama serta kerap berdiri tegak bersama kaum lemah dan terpinggirkan yang tak punya ruang untuk bersuara.
Berat rasanya mendengar berita bahwa mantan ketua harian PB NU, staf khusus wakil presiden Ma’ruf Amin, penerima penghargaan perdamaian dari Jeju Peace Foundation (Korea Selatan), serta pendiri dan pengasuh sekolah Bumi Cendekia ini telah pergi selamanya pada hari Sabtu, 12 Juli 2025 di Yogyakarta.
Di bawah ini adalah jejak intelektual Kyai Imam Aziz yang akan terus mendampingi Ahmad Sang Mahdi.
“Buku ini merupakan kajian sejarah pemikiran sekaligus sejarah sosial yang menguak lugas jalan intelektual dan spiritual Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Gerakan Ahmadiyah.
Akhir abad 19 memasuki abad 20 kawasan Islam nyaris terpuruk. Di satu sisi kejayaan imperium Islam berada di titik nadir oleh berbagai sebab. Sementara imperialisme dan kolonialisme membuat situasi umat Islam bertambah kelam. Nyaris tak ada harapan dan masa depan Islam.
Ahmad mengalami dan mendalami situasi itu dengan penuh kesadaran dan menjalani “laku” spiritual yang cukup berat. Hingga akhirnya mengalami kasyaf – pencerahan spiritual. Ahmad dibimbing untuk me-revitalisasi Islam sebagai respon atas situasi.
Ahmad tidak mengubah prinsip Islam. Ia mengisi ruang kosong yang akan menjadi pendorong dinamika Islam.
Tema-tema yang diangkat Ahmad tentang hakikat kenabian, Isa al-Masih, Mahdiisme, dan khilafah menjadi respon sekaligus elan baru yang terbukti membuat Islam di India waktu itu sangat bergairah.”
(Adamson, Aziz, 2021 : 343)
Sugeng kondur Pak Kyai Imam Aziz…
Muhammad Arya Suryawan
Pemerhati masalah agama, penulis/penerjemah, anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia.