Namun karena medan pendakian awal dari Kedakan ke Makam Ki Hajar Doko terbuat dari conblock, ini membuat semangat menjadi menurun. Dua mahasiswa terlihat patah semangat. Terpaksa pembina turun tangan memberikan motivasi dan beban career bag dipindahkan ke temannya. Dua group pun kemudian bergabung menjadi satu kembali. Kedua pembina pun ada di grup ini.
Udara dingin dari kaki Gunung Merbabu itu berhembus menusuk tulang. Malam itu adalah malam pertama bagi rombongan Jamiah menginjakkan kaki di Getasan. Tampak para mahasiswa sedang berkumpul di dalam Masjid. Usai menyimak live streaming terjemahan khotbah Jumat, mereka kini berunding untuk mematangkan agenda pendakian Gunung Merbabu. Secara umum, pendakian tahun ini akan dimulai dari jalur Wekas (Magelang) dan turun via jalur Selo, Boyolali.
baca juga: [feed url=”http://warta-ahmadiyah.org/tag/jamiah-ahmadiyah-indonesia/feed/” number=”3″]
Persiapan untuk pendakian juga telah disiapkan. Tiap peserta mendapat bekal dua botol air mineral 1500 ml dan sebuah air manis berukuran 600ml. Ini dirasa cukup memadai, karena menurut informasi, banyak sumber air di jalur yang akan didaki. Bekal lainnya adalah konsumsi untuk diperjalanan selama pendakian hingga turun lagi.
Sabtu (16/4) pkl. 09.30 WIB, setelah foto bersama di depan masjid Jemaat Getasan, rombongan kemudian menaiki kendaraan yang akan membawa mereka ke Wekas. Sebanyak 23 orang diangkut dengan sejenis coltback. Di antara mereka adalah 2 dosen pembina, 13 mahasiswa, Mubalig Getasan, 6 khudam Getasan-Salatiga-Yogya dan 2 ghair tetangga.
Perjalanan Getasan-Wekas ditempuh selama kurang lebih hampir satu jam. Sesampai di Desa Genikan yang berada persis di bawah Gunung Merbabu, mereka berkumpul di basecamp Adi Putra. Di sebelahnya tampak kantor TPR Gunung Merbabu. Di basecamp ini rombongan berkoordinasi. Beberapa keperluan yang kurang juga dipenuhi.
Rombongan itu kemudian dibagi menjadi 3 grup beranggotakan antara 7 hingga 8 orang. Tiap grup dipimpin oleh seorang amir perjalanan. Grup pertama bertolak mendaki lebih awal, terpaut hanya dua menit dengan grup berikutnya. Rombongan “ramping” ini dimaksudkan agar perjalanan bisa lebih efektif dan keselamatan bisa terjamin. Berbeda dengan rombongan “gendut” yang terkadang sulit mengontrol peserta dan memastikan keselamatannya.
Namun karena medan pendakian awal dari Kedakan ke Makam Ki Hajar Doko terbuat dari conblock, ini membuat semangat menjadi menurun. Dua mahasiswa terlihat patah semangat. Terpaksa pembina turun tangan memberikan motivasi dan beban career bag dipindahkan ke temannya. Dua group pun kemudian bergabung menjadi satu kembali. Kedua pembina pun ada di grup ini.
Saat pendakian rombongan beberapa kali berjumpa dengan rombongan lain yang baru turun gunung. Ada juga rombongan lain di belakang yang menyusul. Mereka ternyata berasal dari berbagai daerah seperti Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. Suara adzan Dhuhur terdengar menelusup di antara rimbunnya pepohonan di Gunung Merbabu. Rombongan kemudian mencari tempat lapang untuk menunaikan shalat Dhuhur berjamaah. Diputuskan, bahwa shalat akan dilaksanakan di Pos 1 yang sudah dekat dari sana. Menurut info, di sana juga ada sumber air yang bisa dimanfaatkan.
Akhirnya tidak beberapa lama kemudian rombongan sudah tiba di Pos 1. Tampak sebuah pipa kecil mengalirkan air yang jernih. Rombongan kemudian memanfaatkan air tersebut untuk mencuci muka dan diisap-isap untuk menghilangkan dahaga. Sementara beberapa peserta menyiapkan matras untuk keperluan alas ketika shalat. Karena medan di sini tidak memungkinkan untuk shalat secara normal, maka diputuskan shalat tetap mengenakan sepatu.
Usai shalat, rombongan kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke Pos berikutnya. Gunung Merbabu dari arah jalur Wekas ini memiliki tiga Pos utama dan beberapa pos bayangan. Untuk Pos 1 saja yang disebut Pos “Tegal Arum”, ada Pos bayangan 1 di ketinggian 2078 mdpl dan Pos bayangan Genikan di ketinggian 2459 mdpl.
Rombongan akhirnya tiba di Pos 2 yang disebut Pos “Wekas” di ketinggian 2500 mdpl. Di Pos ini kontur tanahnya datar dan berbentuk sabana. Dua buah tenda terlihat berdiri di bawah pohon besar. Ini menandakan ada yang berkemah di sini. Dua pipa air tampak terletak di tengah-tengah Pos 2. Sayangnya, pipa air di sini sudah tidak mengalirkan airnya lagi. Ternyata di sekitar sana ada pipa abu-abu besar yang ditutup dengan potongan pipa putih sepanjang 10 cm. Setelah pipa putih digeser, ternyata memancar air dari dalamnya. Rombongan dengan sukacita memanfaatkan air tersebut untuk bilas dan mengisi botol air mineral yang telah kosong. Setelah beristirahat sejenak, rombongan kemudian melanjutkan perjalanan ke Pos 3.
Pos 3 yang disebut pos “menara” atau pos “perbatasan kabupaten” terletak di 2849 mdpl. Rute untuk menuju ke sini sangat terjal dan sulit didaki. Sebelumnya ada Pos bayangan “Watu Kumpul” yang didominasi batu-batu besar dengan pemandangan ke sekeliling yang indah. Bau belerang juga sangat menyengat di sekitar lokasi ini. Di sebelah kanan tampak jurang yang curam, nun jauh di sana terlihat pegunungan yang ditutupi kabut.
Ketika beristirahat sejenak di Pos “Perbatasan Kabupaten” mendadak turun gerimis yang lama kelamaan menjadi deras. Akhirnya diputuskan bahwa rombongan akan bermalam di Pos ini. Namun karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk mendirikan tiga buah tenda, perlu dicari lokasi lain yang memadai. Naib Principal kemudian mengusulkan agar berkemah di lembah. Dua orang mahasiswa diutus untuk menganalisa lokasinya. Setelah dinyatakan siap ditempati, rombongan akhirnya bergerak turun ke lembah di bawah Pos itu.
Ternyata lembah itu memang biasa untuk berkemah. Sisa-sisa sampah banyak terdapat di sana. Tulisan “Ivan Ramirez” dan “Love for TKA” yang tersusun dari batu juga masih nyata terbaca. Hanya saja, bau belerang tercium kuat menyengat. Ternyata di sini terdapat semacam gas pool alias kolam belerang yang mengalirkan bau ke segala arah.
Tiba di Lembah, hujan turun dengan lebatnya. Otomatis pakaian dan tas rombongan menjadi basah-kuyup. Beberapa peserta mulai menggigil kedinginan. Di bawah curahan air dari langit, pemasangan tenda pun berjalan cukup sulit. Hingga menjelang Maghrib, pendirian tenda baru rampung. Tiga buah tenda telah berdiri, namun itu tidak cukup untuk rombongan yang berjumlah 17 orang. Akhirnya, satu buah tenda lagi dibuat dengan cara sederhana, yaitu terpal disangkutkan ke atas pohon dan semak sehingga menutupi bagian bawahnya.
Shalat Maghrib dan Isya dilaksanakan di luar tenda bakda santap malam. Hembusan angin yang dingin usai hujan reda, membuat peserta semakin menggigil kedinginan. Kaifiyat shalat pun sengaja tidak bisa dilaksanakan secara normal. Usai shalat peserta dipersilakan beristirahat karena malam nanti akan dilaksanakan shalat tahajud dan pendakian ke Puncak.
Pkl. 01.00 WIB peserta dibangunkan untuk shalat tahajud dilanjutkan dengan pembongkaran tenda. Ternyata perlu waktu 2,5 jam untuk membereskan semuanya. Setelah dirasa siap, akhirnya rombongan melanjutkan perjalanan ke Puncak tepat pkl. 03.15 WIB. Dalam beberapa menit Pos “Helipad” telah dilewati. Perjalanan ke Puncak memerlukan konsentrasi dan stamina yang prima. Selain kondisi gelap-gulita, juga bebatuan besar bertebaran di sepanjang perjalanan.
Rombongan akhirnya tiba di persimpangan antara Puncak Syarif dengan “Jembatan Setan” tepat ketika kumandang adzan Shubuh bergema dari arah bawah. Rombongan kemudian berhenti di lokasi rombongan pertama berkemah. Setelah membongkar tenda, rombongan pertama sejumlah enam orang itu ikut shalat Shubuh berjamaah. Rombongan pertama memang terpaut sekitar setengah jam perjalanan dari rombongan berikutnya setelah ada peserta yang cidera.
Dari lokasi ini tampak sunrise sudah mulai terlihat. Suasana yang tadinya gelap-gulita kini mulai terang benderang. Semburat kekuningan mentari pagi dari arah timur semakin membuat suasana sekitar menjadi cerah. Satu persatu rombongan melewati “Jembatan Setan”. Ternyata, jembatan itu tidak seseram yang dibayangkan. Hanya saja perlu ekstra kehatia-hatian saat melintasinya. Jurang yang dalam di kanan-kirinya bisa saja menjadi sumber bencana bagi yang jatuh ke dalamnya.
Justru jalur yang membuat deg-degan adalah rute setelahnya. Meskipun jaraknya tidak terlalu panjang, namun kondisinya yang terjal hampir vertikal membuat peserta harus mengerahkan konsentrasi ketika mendaki. Untungnya disana sudah disediakan tali dan ada jalur alternatif bagi yang tidak mau lewat jalur atasnya. Satu persatu peserta melewati rintangan terakhir ini. Akhirnya sebanyak 23 peserta melewatinya dengan selamat dan tiba di Puncak.
Bersambung…
Bagian 1 | Bagian 2 | Bagian 3
Kontributor : Rakeeman R.A.M. Jumaan
Editor : Talhah Lukman Ahmad