Jakarta – Perempuan Ahmadiyah menghadiri undangan dari Perempuan Mahardika dalam Diskusi Publik “Peran Multi-Stakeholder Dalam Mewujudkan Dunia Kerja Yang Inklusif untuk perempuan disabilitas” yakni membangun ruang dialog berbagai pihak dalam hal pemenuhan dan perlindungan hak pekerja perempuan disabilitas. (13/9/22). Diwakili Ahmadiyah DKI, Acara bertempat di Hotel Oria- Jakarta Pusat.
Ketua Perempuan Mahardika, Mutiara Ika Pratiwi menyampaikan Dialog ini bertujuan untuk mewujudkan tempat kerja yang inklusif, tentu menghargai dan menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja perempuan disabilitas. Ia menjelaskan bahwa bukan hanya hak yang harus dipenuhi, tetapi kesadaran masyarakat atas keberadaan teman disabilitas perlu ditingkatkan, agar tidak ada diskriminasi terlebih dalam dunia kerja.
Dihadiri oleh ragam lembaga dan organisasi, seperti lembaga pemerntahan atau kementrian (Kementrian PPA, Kementrian Sosial dan Komnasi Perempuan), Ragam Lembaga Masyarakat Sipil, Beberapa Lembaga Lintas Iman (NU, KWI, Perkin, PGI, Puan Hayati dan Lajnah Imaillah), serta Serikat Buruh, Organisasi Mahasiswa dan Media.
Regulasi untuk penyandang disabilitas sudah ada, namun pada implementasinya belum sejalan dengan apa yang diatur dalam undang- undang. Misalnya landasan hukum UU No.8 Th 2018 tentang Penyandang disabilitas. Pada Implementasinya, Disabilitas masih dianggap sakit atau belum memenuhi kriteria. Salah satu kriteria yakni sehat jasmani dan rohani.
Rina Prasarani, adalah seorang disabilitas tuna netra yang bekerja di Hotel Grand Melia, ia juga aktif dalam membela dan memperjuangkan hak-hak disabilitas dalam naungan HWDI. “Ada penyebab kemisikinan perempuan disabilitas dalam pekerjaan. Salah satunya pendidikan. Disabilitas masih banyak yang tidak punya pendidikan yang baik atau banyak yang terlambat berpendidikan sehingga katergori usia pada lowongan pekerjaan kebanyakan sudah tidak bisa melamar.” Jelas Rina.
“Lowongan kerja saat ini sangat diskriminatif terhadap penyandang disabilitas. Faktor penghambat mereka karena tidak faham kondisi,” tambah Rina Prasarani. Wakil Ketua HWDI Bidang Advokasi dan Peningkatan Kesadaran
Pengalaman melamar pekerjaan yang ditemui di lapangan juga cukup beragam,
“Ada kendala bagi kami, Perusahaan yang menerima disabilitas seringkali membuka lowongan dan mention atau di sebutkan khusus bagi ragam disabilitas tertentu, atau ada kriteria lain. Bagi saya hal itu adalah bentuk diskriminasi” Mareta Maha, Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI). Jika membuka lowongan disabilitas seharusnya memberikan fasilitas yang dibutuhkan bukannya mendiskriminasi dengan kriteria yang tertera.
Menyambut kasus-kasus yang diungkap teman disabilitas, pemerintah sangat berupaya untuk menciptakan ruang aman dan inklusif bagi disabilitas. “Kami sedang berpaya memperluas akes kerja bagi penyandang d isabilitas di BUMN atau BUMD” Ujar Agatha Widianawati, Analisis Kebijakan Ajli Madya (Koordinator penyusunan UU dan Kerjasama ditjen PHI dan Jamsos – Kemnaker. Ia menjelaskan materi singkat mengenai penguatan kebijakan pemerintah dan mekanisme pengawasan terhadap perlindungan Hak-hak pekerja perempuan disabilitas di dunia kerja.
Narasumber selanjutnya adalah Perwakilan dari Asosiasi Pengusaha Indonesai (APINDO) yang beranggotakan lebih dari 11.000 Perusahaan. Susanto menjelaskan bahwa Apindo masih berusaha mendata berapa jumlah disabilitas yang sudah bekerja di bawah perusahaan APINDO. “Kami juga menekankan bahwa perusahaan harus banyak belajar untuk memenuhi kuota seperti yang diatur dalam UU ttg penyandang disabilitas. Ini adalah sebuah inisiatif baik dan mulia untuk menyediakan kesempatan semua orang untuk bekerja” Ujarnya.
Susanto menambahkan bahwa pada pelaksanaannya tidak mudah, di awal perusahaan harus memberikan Awarenes atau pemahaman mengenai inklusifitas. Serta menegakan kebijakan Afirmasi, agar tidak ada hambatan atau misalnya lowongan bagi disabilitas hanya formalitas. Keunggulan bagi perusahaan inklusif ialah adanya nilai yang berbeda atau kesempatan yang sama. Inklusifitas di ruang kerja akan menambah ide, insight yang berbeda dari sudut pandang setiap orang, artinya meningkatkan level kreatifitas dan inovasi di perusahaan tersebut.
Menyikapi isu sosial perlu kesadaran, ke depannya pengusaha maupun pemerintahan jika membutuhkan tenaga kerja atau membuka lowongan bukan sebatas merekrut, tetapi memberikan fasilitas dan jelaskan kebutuhan serta sistem kerja yang efektif untuk produktifitas.
Selaras dengan hal itu, Jihan, Perempuan Ahmadiyah setuju dengan apa yang telah menjadi bahasan dialog ia berpendapat bahwa perlunya kesadaran dan pemahaman tentang isu sosial seperti kebutuhan Disabilitas, terutama untuk anggota organisasi. Setiap organisasi bisa memberikan akomodasi dan penanganan yang dibutuhkan.