Negara belum melaksanakan kewajibannya dalam konteks memberikan pelayanan keamanan bagi setiap warga negara termasuk Pengungsi Ahmadiyah.
Jakarta – Pelayanan publik terhadap kelompok minoritas di Indonesia dinilai masih diskriminatif. Hal itu diutarakan dalam Laporan Tim Gabungan Advokasi untuk Pemulihan Hak-hak Pengungsi Ahmadiyah di NTB yang dilakukan oleh lima lembaga yaitu, Komnas HAM, LPSK, KPAI, Komnas Perempuan, dan Ombudsman.
“Dari sisi pelayanan publik, Ombudsman memastikan kehidupan warga negara yang layak, kalau tidak ada pelayanan kami akan campur tangan,” kata Asisten Senior Ombudsman Dominikus Dallu, di Kantor Ombudsman, Jakarta, Senin (8/12).
Menurutnya, negara belum melaksanakan kewajibannya dalam konteks memberikan pelayanan keamanan bagi setiap warga negara termasuk Pengungsi Ahmadiyah. Salah satu indikatornya adalah lambannya pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang diberikan kepada kelompok Ahmadiyah di NTB.
“Mereka mendapat KTP saat mendekati pemilu legislatif lalu. Jadi, ketika negara sedang butuh menghadapi pemilu, urusan administrasi mereka dipermudah. Tetapi ketika mereka butuh administrasi, negara mempersulit,” jelasnya.
Dominikus berpandangan, pengungsi Ahmadiyah di NTB memiliki hak mendapatkan pelayanan publik. Baik pelayanan administrasi pendidikan, surat keterangan catatan kepolisian, akte kelahiran, serta kartu-kartu dari program pemerintah.
Komisioner Komnas HAM Jayadi Damanik menjelaskan, perlakuan diskriminatif terhadap kelompok Ahmadiyah dilakukan oleh pejabat publik dan aparat polisi. Kesimpulan dari hasil laporan tim gabungan terhadap 200 pengungsi yang terdiri dari 42 kepala keluarga yang tersebar di daerah Transito dan Praya, NTB sejak 2007 pemerintah diusulkan untuk memasukan temuan-temuan di lapangan sebagai bahan dalam Rancangan Undang-undang Perlindungan Kebebasan Beragama.
Penelusuran tim gabungan juga menemukan, catatan diskriminasi terhadap pengungsi Ahmadiyah berupa gugatan status hukum pernikahan terhadap perempuan yang menikah dengan orang non-Ahmadiyah, ancaman perkosaan, pelecehan seksual, penyerangan, dan pengusiran.
Komisioner Komnas Perempuan Masruchah menyebutkan, perempuan Ahmadiyah kerap mendapatkan pelecehan seksual ketika terjadi intimidasi di rumah-rumah mereka. “Perempuan Ahmadiyah mendapat ancaman kekerasan dan perkosaan saat terjadi penyerangan. Begitu pula dengan anak-anak, yang mendapatkan diskriminasi saat di sekolah harus dikeluarkan dari sekolahnya karena diketahui sebagai warga Ahmadiyah,” katanya.
Selain masalah dalam mengurus KTP akta nikah, kartu keluarga hingga pembedaan rapor siswa warga Ahmadiyah juga dinilai dipersulit.
Penulis: E-11/NAD
Sumber: Suara Pembaruan