Sintang – Setara Institute mengutuk keras pembongkaran kubah dan alih fungsi Masjid Miftahul Huda di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Sabtu, (29/1/2022).
Kejadian tersebut sungguh ironis karena terjadi di tengah dicanangkannya ‘Tahun Toleransi’ oleh Menteri Agama Republik Indonesia.
Sebelumnya, Masjid Miftahul Huda diserang, dirusak, dan sebagian bangunan di kompleks masjid dibakar oleh kelompok intoleran. 22 orang tersangka pelaku tindak pidana hasutan dan kekerasan sudah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Pontianak Kalimatan Barat dengan vonis 4 bulan 15 hari.
Dengan fakta tersebut, jelas bahwa JAI Sintang adalah korban tindak pidana dan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Namun, alih-alih memulihkan hak-hak korban, pemerintah setempat justru terus menerus melakukan pelanggaran hak konstitusional warga Ahmadiyah disana dalam bentuk tindakan langsung (violation by commission), pembiaran (omission), dan aturan (rule/judiciary).
Sejak awal, paling tidak sejak April 2021, diskriminasi terhadap JAI Sintang terus terjadi. Ujaran kebencian dalam bentuk spanduk-spanduk dibiarkan. Penghakiman keyakinan saksi dari Ahmadiyah dalam persidangan terjadi. Keluar aneka kebijakan pemerintah, mulai dari Gubernur, Bupati, Satpol PP, Polres, Kejaksaan Negeri, Pengadilan Negeri, hingga Ombudsman RI Kalimantan Barat, dalam aneka bentuk, mulai dari Keputusan Bersama tentang Pelarangan, Instruksi Penyegelan, Instruksi Pemantauan, Surat Peringatan Pembongkaran, Perintah Alih Fungsi, hingga Surat Tugas Pembongkaran dan alih fungsi.
Sebenarnya sudah ada upaya pemerintah pusat untuk menunjukkan sikap maju dalam merawat kebinekaan disana dan mencegah diskriminasi lanjutan terhadap komunitas muslim Ahmadiyah. Lima lembaga HAM negara (Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman RI, KPAI, dan LPSK) sudah mengeluarkan sikap bersama merespons kejadian yang menimpa JAI Sintang. Menkopolhukkam, Menag, dan Komisi III DPR RI mengutuk kekerasan atas Ahmadiyah.
Menurut informasi yang diterima oleh SETARA, Mabes Polri, Kantor Staf Presiden, Kemenag, Kemendagri, dan beberapa kementerian/lembaga pemerintah lainnya sudah menempuh aneka komunikasi dengan pemerintah setempat, bahkan terjun langsung ke Sintang. Belum lagi Langkah-langkah yang ditempuh oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan, seperti NU dan Muhammadiyah, organ masyarakat sipil, dan tokoh masyarakat. Namun semua itu tidak dapat mencegah Pemerintah Kabupaten Sintang dan Kalimantan Barat untuk tidak melanggar kebebasan beragama/berkeyakinan sebagai hak konstitusional warga Ahmadiyah.
Pemerintah daerah setempat memilih tunduk pada tuntutan kelompok intoleran. Pancasila kalah. Bhinneka Tunggal Ika tak dipedulikan. Konstitusi, terutama Pasal 28E dan Pasal 29 Ayat (2) diabaikan.
Mencermati perkembangan tersebut, Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi mendesak Menkopolhukam, Mendagri, Menag, Kapolri, dan seluruh lembaga terkait untuk mengambil langkah intervensi yang dibutuhkan sesuai dengan kewenangannya masing-masing untuk menghentikan pembongkaran masjid.
“Semua kementerian atau lembaga terkait harus mengambil langkah intervensi sesuai kewenangannya masing-masing untuk mencegah terjadinya diskriminasi lanjutan, dan memulihkan hak-hak konstitusional Komuniad Ahmadiyah di Sintang, Kalimatan Barat,” kata Hendardi dalam keterangan rilisnya.
Hendardi juga mendorong seluruh unsur pemerintah, pusat dan daerah untuk melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai hak konstitusional setiap warga negara.
“Pemerintah berkewajiban untuk melindungi hak beragama, memajukan toleransi, serta merawat dan meneguhkan kebinekaan Indonesia sebagaimana dimuat dalam nilai-nilai Pancasila dan dijamin oleh UUD Negara RI tahun 1945,” pungkasnya.