Jakarta – Ketua Komite Hukum Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Fitria Sumarni menjadi salah satu pembicara dalam webinar diskusi publik Meninjau Kembali UU Penodaan Agama dalam RKUHP, pada Kamis (7/4/2022). Acara tersebut digelar oleh ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) bekerja sama dengan Komnas HAM RI.
Fitria menyatakan bahwa sejak hadir di Indonesia pada 1925 tidak pernah ada anggota Ahmadiyah yang dipersangkakan dengan pasal penodaan agama. Namun, pasca terbitnya undang-undang penodaan agama kemudian menimbulkan persoalan dan masalah bagi Ahmadiyah.
Menurutnya aturan itu kemudian banyak melahirkan turunan regulasi diskriminatif di daerah yang menyebabkan terjadinya eskalasi kekerasan terhadap JAI, mulai dari penutupan dan pembakaran masjid, pelarangan kegiatan keagamaan, penolakan penerbitan e-ktp hingga penolakan pencatatan pernikahan. Lebih lanjut, ia menuturkan jika puncaknya adalah ketika terbunuhnya 3 orang anggota Ahmadiyah pada 2011 di Cikeusik.
Atas dampak yang sangat luas dari pemberlakuan undang-undang penodaan agama itu, Fitria meminta kepada DPR RI untuk menunda pengesahan RKUHP.
“Saya kira DPR harus menunda pengesahan RKUHP,” ucap Fitria.
“Kemudian melibatkan masyarakat dalam diskusi untuk pembahasan pasal penodaan agama di RKUHP dan juga merevisi Undang-Undang Nomor 1 PNPS karena sudah lama menjadi titah MK dalam beberapa putusannya dan belum dilaksanakan hingga saat ini,” imbuhnya.
Hal senada disampaikan Direktur ICRS UGM, Zainal Abidin Bagir yang menyatakan bahwa Ahmadiyah sudah lama ada di Indonesia. Selama puluhan tahun sejak keberadaannya di Indonesia memang terjadi perdebatan dengan kelompok Islam lainnya tapi tidak memakai istilah penodaan agama.
Menurutnya Ahmadiyah hanyalah satu target diantara banyak target yang lainnya. Ia mengungkapkan tren penggunaan pasal 156a yang sekarang cakupannya semakin besar. Perkembangan baru yang menurutnya sangat memprihatinkan. Zainal pun menyebut bila ada 70 negara di dunia masih mempunyai undang-undang blasphemy law.
Terkait undang-undang penodaan agama, ia mengatakan bahwa beberapa organisasi masyarakat sipil termasuk JAI pernah melakukan upaya baik pembatalan maupun revisi dengan memasukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Pada 2010 itu yang pertama kali, yang sangat kontroversial waktu itu ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengatakan tidak bisa membatalkan tapi pada saat yang sama juga mengatakan bahwa undang-undang ini punya potensi diskriminatif dan perlu direvisi,” ungkap Zainal.
“Lebih dari sepuluh tahun sudah ada saran revisi, tapi sampai sekarang kita lihat baik dari pemerintah maupun DPR tidak ada yang menindaklanjuti saran revisi ini, sementara korbannya sudah banyak,” pungkasnya.