Sabtu (29/1/2022) Masjid Miftahul Huda yang dikelola Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Kabupaten Sintang dibongkar oleh sejumlah aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) Kabupaten Sintang.
Pembongkaran tersebut merupakan tindak lanjut dari kebijakan intoleran Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji dan Bupati Sintang, Jarot Winarno yang telah menerbitkan Surat Peringatan (SP3), dan surat tugas pembongkaran masjid yang menunjuk Kasatpol PP, Syarif Yasser Arafat sebagai pelaksana.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengecam keras upaya pembongkaran masjid yang dilakukan secara paksa tersebut.
Dalam rilis dan pernyataan sikapnya, disebutkan bahwa berbagai kebijakan dan upaya pembongkaran masjid komunitas muslim Ahmadiyah oleh Gubernur Kalbar dan Bupati Sintang telah bertentangan dengan pasal 29 (2) UUD 1945 yang berbunyi:
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Adanya Surat Edaran Terkait Pembongkaran Memperluas Konflik Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
YLBHI juga mengungkapkan bahwa aksi pembongkaran paksa tersebut akan berpotensi memperpanjang dan memperluas konflik berbasis agama.
“Surat edaran yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah ataupun kebijakan-kebijakan ini justru memperluas konflik yang terjadi. Karena adanya informasi yang salah. Informasi yang keliru. Informasi yang tidak didasarkan pada perspektif hak asasi manusia. Informasi yang dalam hal ini, Pemerintah Daerah tidak berpijak pada UUD 1945 terkait pemerintah menjamin hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan dan juga aturan-aturan lainnya. Dan ini tentu saja ini menjadi salah satu muara konflik yang ada di Kalimantan Barat”, jelas Zainal Arifin Ketua Tim Advokasi YLBHI.
Menurut Ketua Komite Hukum JAI, Fitria Sumarni tindakan intoleransi dan tekanan kelompok intoleran juga merembet ke daerah lain di Kalimantan Barat tepatnya di Sibo Sambas, Kecamatan Tohoz, Kabupaten Mempawah.
“Kami mendapatkan informasi bahwa terdapat edaran surat penolakan Ahmadiyah yang turut ditandatangani oleh Camat Toho Ferdinanda, Kapolsek Ipda Dian Kristianto, Danramil Kiki Gunawan, Kepala Desa Pak Utan Samuel Siswoko dan KUA Kecamatan Toho Sumadi”, terangnya.
Surat Edaran Alih-Fungsi Bangunan Itu Tak Berdasar
Subhi Azari, dari Yayasan Inklusif mengungkapkan bahwa keputusan Pemerintah Kabupaten (PemKab) Sintang yang melakukan Alih-Fungsi bangunan itu tidak memiliki landasan hukum yang jelas.
“Dari aspek hukum, kami melihat bahwa keputusan ini sumir dan tidak memiliki landasan hukum yang jelas,” tuturnya.
“Sebagaimana kita ketahui bahwa bangunan masjid, bangunan rumah ibadah atau bangunan keagamaan itu diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam 2 Klaster. Yang pertama, peraturan terkait bangunan gedung. Dan yang kedua, Peraturan Bersama Dua Menteri yang didalamnya mengatur tentang Rumah Ibadah”, ungkap Subhi.
Menurutnya, surat alih fungsi dan modifikasi itu bahkan berpotensi melanggar aturan terkait bangunan gedung. Baik Undang-undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung maupun PP No. 36 tahun 2005. Karena di dalam UU tersebut sama sekali tidak mengatur mengenai alih fungsi bangunan.
Demikian pula Peraturan Bersama (PBM) 2 Menteri tahun 2006 yang salah satunya mengatur pendirian rumah ibadah juga tidak mengatur alih fungsi sebagai salah satu jalan keluar menyelesaikan sengketa.
Dalam menanggapi SP 3, Fitria Sumarni, Ketua Komite Hukum JAI menyampaikan bahwa pemerintah masih saja mem-framing masjid sebagai bangunan tanpa izin yang difungsikan sebagai tempat ibadah JAI dan mengabaikan fakta bahwa telah ada tanda tangan persetujuan warga yang membuktikan bahwa anggota komunitas muslim Ahmadiyah diterima dengan baik oleh warga sekitar dan juga fakta bahwa Masjid Miftahul Huda telah ada sejak tahun 2007.
Peran Aktif Gubernur Kalimantan Barat
Menurut YLBHI, pembongkaran paksa Masjid Miftahul Huda tidak lepas dari peran aktif Pemerintah Provinsi, dalam hal ini Gubernur Kalbar, Sutarmidji.
“YLBHI menilai bahwa apa yang terjadi di Sintang itu tidak lepas dari peran aktif pemerintah daerah, dalam hal ini tidak hanya Bupati Sintang yang menerbitkan SP 1, 2, 3 tetapi kami juga menyoroti ada peran provinsi yang dalam hal ini tidak hanya melakukan pelanggaran HAM dalam bentuk pembiaran saja, negara tidak hadir dalam bentuk perlindungan, tapi justru kami melihat rangkaian informasi data dan dokumen bahwa Gubernur, Pemerintah Provinsi justru secara aktif melakukan pelanggaran HAM dalam bentuk mengeluarkan surat edaran pada tanggal 17 September 2021 kepada Kepala Daerah Kabupaten Sintang yang isinya yaitu seruan untuk memantau aktifitas JAI”, ungkap Zainal Arifin Ketua Tim Advokasi YLBHI.
“Dan tidak hanya itu, bahkan kemudian memberikan arahan kepada Bupati Sintang untuk menghentikan segala aktifitas JAI yang ada di Sintang dan itulah yang kemudian dalam konteks hirarki struktur ketatanegaraan, Bupati Sintang mendapat dukungan Provinsi dalam hal ini, sehingga dengan percaya dirinya menerbitkan SP 1, 2 dan 3”, imbuhnya.
“Perlu diingat bahwa hal itu bisa dijadikan sebagai alat untuk mengeluarkan kebijakan oleh pemerintah-pemerintah daerah lainnya. Nah ini menjadi sangat riskan menurut kami, karena bagaimanapun juga segala hal yang kemudian dilakukan Pemerintah Daerah ini harus dianggap sebagai kebijakan publik. Yang dalam hal ini harusnya berpijak pada satu batas-batas konstitusi dan aturan-aturan yang lebih jelas”, ungkap Zainal.
Ia juga menyampaikan bahwa yang dilakukan Gubernur secara tidak langsung justru memprovokasi masyarakat yang ada di Kalimantan Barat untuk melakukan serangan terhadap JAI.
Alih Fungsi dan Modifikasi Bangunan Merupakan Preseden Buruk dan Menandakan Lemahnya Komitmen HAM di Indonesia
Subhi Azhari menyatakan bahwa itu menjadi preseden buruk yang dapat dicontoh pemerintah-pemerintah daerah lain sebagai solusi penyelesaian tindakan intoleransi.
“Jika alih fungsi bangunan
berhasil dilaksanakan, hal ini akan menjadi preseden buruk yang akan dicontoh oleh Pemerintah-pemerintah Daerah lain sebagai solusi penyelesaian tindakan intoleransi dan
pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terhadap masjid Ahmadiyah”, tegasnya.
Menurutnya, model-model atau pola penyelesaian yang seperti itu terkesan sederhana atau simple. Akan tetapi justru akan dapat menambah masalah. Karena memberi kerentanan baru bagi minoritas. Alih-alih membongkar, justru lebih solutif bila pemerintah memfasilitasi Ahmadiyah untuk mendapatkan IMB.
Subhi menerangkan bahwa dalam undang-undang, tugas dari Pemerintah Daerah justru seharusnya memfasilitasi terhadap rumah ibadah yang belum memiliki izin bukan sebagai pemilik kewenangan untuk mengubahnya sebagai tempat tinggal.
Kemudian, dalam Rilis Pers Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) tertanggal 28 Januari 2022 menyebutkan bahwa situasi yang kini tengah dialami komunitas JAI di Sintang, Kalimantan Barat, merupakan catatan buruk bagi Indonesia terkait komitmennya dalam melaksanakan rekomendasi UPR (Universal Periodic Review) yang lalu.
Karena dalam rekomendasi UPR 2017, Indonesia mendapat 21 rekomendasi terkait KBB, di antaranya menyoal penghapusan regulasi diskriminatif (Jerman, Korea Selatan, Swiss, Kanada), penjaminan hak KBB bagi kelompok minoritas agama (Panama, Guatemala, Norwegia), dan perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi umat beragama termasuk perlindungan bagi kelompok agama minoritas dari kekerasan dan penuntutan (Belanda, Italia, Austria, Hungaria).
Apalagi pada tahun ini Indonesia akan kembali ditinjau situasi HAM dalam negerinya. Selain menyoal lemahnya komitmen Indonesia dalam penegakan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM, pembiaran pengalih-fungsian Masjid Miftahul Huda sebagaimana yang dicanangkan Pemkab Sintang akan juga menjadi preseden buruk mengenai penanganan kasus-kasus pelanggaran hak KBB dan intoleransi, yang akan membawa Indonesia terjerumus ke dalam hostile society, dan memicu munculnya pola-pola diskriminasi yang mengarah ke pelanggaran serupa bagi kelompok minoritas agama lainnya di Indonesia.
Pemulihan Hak Korban
Dalam Rilis Pers Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dijelaskan bahwa terbitnya SP3 bagi komunitas JAI Sintang adalah buntut dari perusakan Masjid Miftahul Huda,
September 2021 lalu.
Pasca perusakan, komunitas Muslim Ahmadiyah di Kabupaten Sintang mengalami trauma yang kemudian diperparah oleh terbitnya SP 1, 2 dan 3. Trauma ini sangat berdampak ke psikologis korban, misalnya ada anggota muslim Ahmadiyah yang sampai tidak nafsu makan mendekati tenggat pembongkaran masjid.
Di tengah situasi seperti ini, yang dibutuhkan oleh korban adalah pemulihan hak-haknya termasuk rehabilitasi psikologis. Namun, alih-alih memulihkan hak korban, yang terjadi adalah reviktimisasi dengan menghukum korban.
Penghukuman terhadap korban terlihat jelas dari Bupati dan Pemerintah Kabupaten Sintang yang justru memutuskan untuk melakukan alih fungsi Masjid Miftahul Huda menjadi tempat tinggal yang semakin menambah trauma korban.
Pemerintah Kabupaten Sintang telah mengabaikan tugas dan kewajibannya untuk menerbitkan IMB rumah ibadah, seperti tertera di Pasal 6 Ayat (1) PBM Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 Tahun 2006.
Hal ini terbukti dengan Pengurus JAI yang sudah beritikad baik untuk mengurus IMB dan telah mendapatkan 77 tanda tangan dari masyarakat setempat, tetapi Pemerintah Kabupaten Sintang justru berkata “Pengurusan IMB sudah terlambat!” dan malah memutuskan untuk melakukan alih fungsi Masjid menjadi tempat tinggal atau fungsi lain selain masjid/tempat ibadah.
Dalam Rilis Pers Advokasi KBB, menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat, khususnya Kemendagri, semestinya menegur keras Bupati dan Pemkab Sintang yang telah gagal menjalankan kewajibannya dan malah terus-menerus menekan korban untuk membongkar Masjid dan memaksakan alih fungsi Masjid menjadi tempat tinggal.
Sudah menjadi kewajiban negara dan pemerintah, termasuk pemerintah Kabupaten Sintang, untuk melindungi, menjamin, dan memulihkan hak komunitas muslim Ahmadiyah di Balai Harapan Sintang.
Pengadilan Negeri Pontianak Kalimantan Barat telah menghukum 22 para pelaku tindak pidana hasutan dan perusakan masjid Ahmadiyah. Dengan menggunakan logika hukum, Komunitas Muslim Ahmadiyah merupakan korban dari sebuah tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku yang telah secara resmi diputuskan sebagai terpidana oleh lembaga negara yang bernama pengadilan.
Dalam konteks itu, Pemerintah Kabupaten Sintang dan Pemerintah Provinsi Kalbar mesti merehabilitasi masjid yang menjadi objek
perusakan sebagai bagian dari pemulihan hak korban, alih-alih menghukum mereka dengan mengancam pembongkaran dan alih fungsi masjid.
Ahmadiyah Tetap Menjalankan Kewajibannya Sesuai Ajaran Islam, Dengan Menjamu Para Tamu
Meskipun pembongkaran terus berlanjut, nampak anggota JAI Sintang yang justru tetap melayani aparat yang datang dengan menjamu mereka.
Mereka, anggota JAI Sintang Desa Balai Harapan yang sedang berduka akibat pembongkaran paksa Masjid mereka, tetap melaksanakan kewajibannya sesuai ajaran Islam.
Hidangan makanan itu pun disambut baik oleh “tamu-tamu” yang mayoritas adalah anggota Satpol PP hingga habis.
Inilah sebagian kecil ajaran Islam yang dipraktikkan oleh anggota Ahmadiyah, sebagaimana juga dicontohkan oleh Yang Mulia, Rasulullah SAW. Dimana pun berada para anggota Ahmadiyah diwajibkan untuk memuliakan tamu. Tanpa melihat siapa dan apa maksud kedatangan tamu itu.