By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Warta Ahmadiyah
Youtube
  • Beranda
  • Berita
    • Mancanegara
    • Nasional
    • Daerah
  • Organisasi
    • Ansharullah
    • Khuddam
    • Lajnah Imaillah
  • Kebangsaan
  • Keislaman
  • Sosial
  • Rabthah
  • Opini
  • Siaran Pers
Font ResizerAa
Warta AhmadiyahWarta Ahmadiyah
Pencarian
Follow US
  • Berita
  • Organisasi
  • Kebangsaan
  • Keislaman
  • Sosial
  • Rabthah
  • Opini
  • Siaran Pers
© WartaAhmadiyah
Nasional

Boks Bayi Saksi Sejarah

Last updated: 22 September 2015 15:08
By Redaksi 215 Views
Share
SHARE

SEDIHNYA, rasa waswas tetap ada. Kini kekerasan atas nama Tuhan! Ratusan gereja dan masjid (Ahmadiyah dan Syiah) ditutup di Jawa, Madura, Sumatra dan Sulawesi. Umat mayoritas menindas minoritas. Tampaknya, ranjang kecil ini menjadi bagian dari sejarah negeri dan sejarah keluarga saya. Seolah ia ingin bercerita banyak hal tentang negeri kacau ini.

Oleh Andreas Harsono

TIGA BULAN sebelum kelahiran putri kami, Diana, saya teringat kembali pada boks bayi milik saya. Terbuat dari kayu jati, berukuran 75 X 100 cm persegi, ranjang putih dan bisa dilipat. Ia digunakan mama saya untuk menjemur saya, setiap pagi di depan rumah.

Saya lahir pada Agustus 1965 di kota kecil Jember di Pulau Jawa. Kegiatan menjemur itu bukan aktivitas biasa. Sejak September 1965, suasana politik Jember sedang panas. Banyak orang komunis ditangkap dan dibunuh. Rasialisme anti-Cina membara di berbagai tempat. Sebagai orang Tionghoa, oangtua saya menjemur saya dengan perasaan waswas. Presiden Soekarno pun digeser pada 1968.

Pada 1967, adik saya lahir dan ranjang itu diwariskan kepadanya, dan begitu terus. Boks bayi itu digunakan turun-temurun dari satu adik ke adik yang lain, bahkan menyeberang sampai ke sepupu-sepupu. Entah sudah berapa bayi yang dibesarkan seiring dengan menuanya ranjang ini. Keluarga saya di Jember tak biasa membeli ranjang bayi, begitu pula dengan pakaian, selimut, popok, dan sebagainya. Semua selalu diwariskan dari satu bayi ke bayi lain.

Menginjak usia remaja, saya pindah sekolah di Malang dan selanjutnya kuliah di Salatiga. Selesai kuliah, saya pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai reporter harian Jakarta Post. Urusan ranjang bayi, tentu saja, bukan pekerjaan reporter kurcaci.

Gambar dari edisi cetak majalah Ayahbunda
Gambar dari edisi cetak majalah Ayahbunda

Saya mulai ingat ranjang ini ketika anak pertama, Norman, lahir pada Januari 1997. Papa saya dengan senang hati mengirimkan ranjang itu dari Jember ke Jakarta. Saya membersihkan, mengecat ulang ranjang dan memesan kasur baru. Bayi Norman pun tidur di ranjang bekas ayahnya. Norman lahir dalam suasana Jakarta tegang. Antara Juli 1997 hingga Agustus 1999, Indonesia mngalami krisis moneter, yang berujung pada pembunuhan besar-besaran di Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan Jawa, lengsernya Presiden Soeharto dan referendum Timor Leste.

Setelah Norman beranjak besar, saya pinjamkan boks bayi ini kepada kawan. Mula-mula, Agus Sudibyo, kini anggota Dewan Pers. Ketika anaknya besar, ranjang itu berpindah ke tangan Ade Juniarti dari Komunitas Utan Kayu. Sudibyo mengatakan, “Ranjang itu mengingatkan masa kecil saya, ibu saya, nenek saya. Ranjang itu saya merasa nyaman. Seakan-akan ibu dan nenek saya ikut menjaga anak saya.”

Ade Juniarti mengatakan, “Putih, bersih, kokoh, kuat. Membuat aku yakin anakku akan aman ketika tidur di dalam ranjang bayi itu.”

Kini Norman sudah besar dan ranjang itu akhirnya kembali pada saya karena adik Norman, Diana, lahir bulan lalu.

Lagi-lagi saya memesan kasur kecil dan membersihkan ranjang kecil. Isteri saya, Sapariah, melahirkan Diana lewat operasi cesar, dengan berat 3,3 kg dan panjang 41 cm. Kini bayi Diana tidur di ranjang dimana papanya tidur 46 tahun yang lalu.

Sedihnya, rasa waswas tetap ada. Kini kekerasan atas nama Tuhan! Ratusan gereja dan masjid (Ahmadiyah dan Syiah) ditutup di Jawa, Madura, Sumatra dan Sulawesi. Umat mayoritas menindas minoritas. Tampaknya, ranjang kecil ini menjadi bagian dari sejarah negeri dan sejarah keluarga saya. Seolah ia ingin bercerita banyak hal tentang negeri kacau ini.

–Majalah Ayahbunda edisi Maret 2012; arsip: AndreasHarsono.net

You Might Also Like

Jaring Praveen/Debby Baru di Badminton Ceria Bandung

Tingkatkan Kualitas Seorang Muslimah, Lajnah Imaillah Jawa Barat Langsungkan Pertemuan Gabungan

Terjadi lagi, diskriminasi kepada Jemaat Ahmadiyah Cipeyeum

Ahmadiyah Yogya Serukan Warganya Tak Golput

23 Maret 1889, Tonggak Sejarah Berdirinya Jamaah Islam Ahmadiyah

TAGGED:ahmadiahmadiyahAndreas HarsonoIndonesiasyiah
By Redaksi
Follow:
MEDIA INFORMASI JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA
Previous Article Ini klarifikasi Fadli Zon soal lembaga Anti Syiah dan Ahmadiyah
Next Article ‘Kemurnian agama’ dalam manifesto Gerindra menuai kritik
Leave a Comment

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You Might Also Like

Nasional

Laksanakan Instruksi Wakil Walikota, Warga Ahmadiyah Medan Gotong Royong Bersihkan Lingkungan

Amatul Khadija 2 Min Read
WPD 2023
BeritaNasional

Ratusan Anak Waqf Antusias Jadi Panitia Acara “Waqf-e-Nou Parents’ Day 2.0” di Tasikmalaya

Redaksi 2 Min Read
Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Real Talk with Uni Lubis
BeritaNasional

Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Real Talk with Uni Lubis

Redaksi 3 Min Read
Previous Next
Warta Ahmadiyah

Warta Ahmadiyah merupakan sumber resmi Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang menyajikan ragam informasi seputar kegiatan dan pandangan Ahmadiyah mengenai berbagai hal.

Kategori

  • Berita
  • Organisasi
  • Kebangsaan
  • Keislaman
  • Sosial
  • Rabthah
  • Opini
  • Siaran Pers

Informasi

  • Redaksi
  • Kontak Kami
  • Kirim Berita

Copyright 2016 – 2023 @wartaahamdiyah.org All rights reserved

Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?