Sejak awal, Sitara adalah anak yang istimewa. Selalu ingin mengetahui segala hal di sekelilingnya, ia adalah seorang pelajar yang tidak pernah puas. Ia menjadi pelajar termuda di dunia yang menyelesaikan seluruh ujian level O pada usia 9 tahun. (baca Sitara Brooj Akbar seorang remaja Ahmadi memecahkan rekor IELTS )
Idealnya, Sitara akan mendapatkan pujian dan dukungan penuh dari pemerintahan dan masyarakat Pakistan. Tetapi Sitara Brooj Akbar adalah seorang Ahmadi. Dia tidak bisa keluar rumah dengan bebas tanpa pengawalan dua orang bersenjata. (baca Sitara Brooj Akbar seorang Ahmadi Pemegang Rekor IELTS Berjuang Mencari Universitas karena Umurnya Terlalu Muda )
Dia harus meninggalkan Pakistan, karena sebagai Ahmadi dia menerima ancaman yang bertubi-tubi. Hasilnya, seorang pelajar yang jenius dan seseorang yang brilian harus diusir dari negaranya.
Sitara bukanlah satu-satu nya anak yang mengalami hal demikian, dan keluarganya juga bukanlah satu-satunya keluarga yang harus meninggalkan Pakistan. Ada beribu-ribu keluarga Ahmadiyah yang diusir atau memilih untuk migrasi ke luar akibat dari hilangnya rasa toleransi dan adanya kebencian, yang terus berkembang kepada Jamaah Islam Ahmadiyah.
Kebencian dan kemarahan pada Ahmadiyah di Pakistan pada zaman modern ini berawal dari tahun 1953 ketika protes keras muncul di Lahore. Dipimpin oleh ulama di masa itu, para pengacau menuntut Sir Zafrullah Khan – Seorang Ahmadi, menteri luar negeri, yang memiliki kedekatan dengan Jinnah – untuk diturunkan dari jabatannya, juga pencopotan jabatan semua anggota Ahmadiyah yang berada di posisi tinggi pemerintahan, serta mengucilkan komunitas Jemaat Islam Ahmadiyah secara resmi.
Tuntutan mereka akhirnya dipenuhi pada tahun 1974 ketika seluruh partai agama bersatu dan melahirkan amandemen kedua di Musyawarah Nasional – yakni memutuskan bahwa Ahmadiyah bukan Islam.
Tampaknya, mereka akan terus berusaha. Zia menambahkan kesulitan para Ahmadi dengan menerapkan Peraturan XX – tertulis bahwa Ahmadiyah dilarang menggunakan istilah-istilah Islam, menggunakan bahasa Islam dalam berdoa, dan menyebut Masjid untuk tempat ibadah Ahmadiyah, atau menyapa orang dengan cara Islami. Saat ini para Ahmadi adalah kelompok minoritas yang paling teraniaya di pakistan
Penekanan semakin bertambah dengan pernyataan terbaru dari Maulana Sheerani, Ketua Umum CII (Dewan Ideologi Islam), pada pers. Dia membuat pernyataan bahwa akan mendiskusikan tiga hal penting berikut:
1. Memutuskan apakah Ahmadi termasuk kalangan non-Muslim atau pengkhianat.
2. Menerapkan jizyah kepada kaum non-Islam
3. Mengklasifikan sekte-sekte apa saja yang termasuk Islam
Ketika Pakistan sedang bertarung di dalam perang besar melawan terror, ekstrimisme, radikalisasi, ketika pasukan dan masyarakat kita mengorbankan nyawa mereka, ketua CII malah membuka kembali kesempatan-kesempatan buruk itu, padahal Pakistan sedang berusaha menutupnya.
Para Ahmadi telah mengalami penganiayaan dan tekanan-tekanan yang sangat luar biasa. Dengan adanya ketiga pernyataan itu, apa yang sesungguhnya diinginkan oleh Maulana? Semua tahu bahwa hukum bagi pengkhianat dalam Islam adalah kematian, karenanya apakah dia ingin menggantung semua Ahmadi? Meskipun posisi dari Dewan ini hanyalah sekedar seremoni dan tidak ada hubungannya dengan hukum, mengeluarkan keputusan yang provokatif dapat memicu kekerasan atau pembunuhan atas nama Agama. Lantas apakah ini bukti Maulana Sheerani ingin memulai pembunuhan masaal pada Ahmadi?
Sekarang dengan dimulainya implementasinya NAP ( Rencana Aksi Nasional) Pakistan, ujaran yang mengundang kebencian, atau hate speech, dari organisasi-organisasi sekterian telah dihentikan. Sebelumnya, berbagai pembunuhan dan kekerasan antara organisasi sektarian dan pengikutnya sering terjadi. Hal semacam ini, yang diperkuat karena adanya perang proksi, benar-benar bebas berkeliaran.
Di dalam situasi seperti ini, Ketua CII malah ingin mempertanyakan mana saja sekte-sekte yang pantas bernaung di bawah payung Islam. Orang yang memiliki akal dan logika yang sehat sudah pasti merasa bahwa itu adalah pertanyaan yang aneh melihat situasi yang tidak mendukung.
Yang terakhir, Dia meminta jizyah, semacam uang keamanan, kepada non-Muslim. Kaum non-Muslim sudah dianggap warga kelas tiga di Pakistan. Dengan adanya uang keamanan, Maulana Sheerani bukannya meningkatkan keharmonitas antara pengikut agama tapi justru memperburuk keadaan mereka.
Jangan lupa, Pakistan adalah negara demokrasi dan seharusnya mereka memperlakuan semua warga negara secara adil, tidak memandang agama, suku, budaya, atau etnis mereka. Namun, Pakistan telah dihancurkan oleh intoleransi agama, jihadis, dan teror atas nama agama. Bukannya mencari solusi untuk masa depan, tetapi Dewan Ideologi Islam ingin menerapkan hukum rimba abad pertengahan yang sangat tidak cocok di zaman modern ini.
Pernyataan-penyataan dari Ketua CII sangatlah buruk serta tercela dan kita wajib mengutuknya. Maulana Sheerani juga harus menyadari bahwa jika dia ingin tetap relevan dan sesuai dengan nilai nilai Islam, maka dia wajib untuk menghentikan pernyataan pernyataan yang kontroversial seperti ini. (Fariz/Dnz)