Rektor UIN Alauddin Makassar Prof. Dr. Musafir Pababari MSi menegaskan bahwa perguruan tinggi bukan area untuk sesat dan menyesatkan. Kampus adalah area akademis-epistemologis, bukan kajian teologis doktriner.
Pernyataannya ini merespon pihak-pihak yang menuntut agar UIN Alauddin Makassar tidak menggelar seminar tentang Ahmadiyah di kampusnya. Sebaliknya, Rektor UIN Alauddin ini berpendapat penting membangun kerjasama dengan Jemaat Ahmadiyah Ahmadiyah (JAI) agar peran akademis dalam penelitian dan pengabdian kampus, dalam hal ini dosen dan mahasiswa, menjadi lebih berkembang.
“Seminar tentang Ahmadiyah ini untuk menambah wawasan, bukan untuk mengurusi keyakinan masing-masing,” ujarnya ketika membuka Seminar Nasional yang secara khusus mendiskusikan tentang Ahmadiyah dengan mengambil tema “Islam Agama Perdamaian: Merawat Kerukunan, Keragaman dan Persatuan” dalam rangka Milad ke-53 UIN Alauddin Makassar, Kamis (7/11) di Aula UIN Alauddin.
Tugas lembaga akademis, tambahnya, adalah bagaimana mengupayakan Islam sebagai rahmatan lilalamin yang dapat merawat kerukunan dan persatuan di tengah perbedaan paham keagamaan.
“Kontroversi tentang Ahmadiyah saya anggap sudah selesai,” tegasnya.
MUI bisa menjadi teladan perdamaian
Berlaku sebagai narasumber, Guru Besar UIN Alauddin Makassar Prof. Dr. Qasim Mathar menggarisbawahi bahwa teladan perdamaian lebih penting daripada seruan tentang perdamaian. Karena itu ia menantang Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar menjadi rumah bagi seluruh paham Islam yang berbeda-beda, sehingga perdamaian dan persatuan dapat tercipta.
Qasim mengaku sudah bosan dengan fatwa atau seruan MUI. Saat ini fatwa-fatwa MUI pun menurutnya tidak berwibawa. Akibatnya, MUI banyak ditinggalkan umat.
Hal tersebut disampaikannya dalam Seminar Nasional yang secara khusus mendiskusikan tentang Ahmadiyah dengan mengambil tema “Islam Agama Perdamaian: Merawat Kerukunan, Keragaman dan Persatuan” dalam rangka Milad ke-53 UIN Alauddin Makassar, Kamis (7/11) di Aula UIN Alauddin.
“Berhentilah berfatwa. MUI harus mulai masuk ke Syiah, Ahmadiyah atau berkumpul dengan berbagai paham Islam dalam satu rumah,” ujarnya mengajak MUI agar menjadi teladan bagi praktik Islam yang benar-benar mampu menciptakan kerukunan dan persatuan di tengah realitas Islam Indonesia yang beragam.
Dalam seminar yang terselenggara sebagai bentuk kerjasama Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) UIN Alauddin Makassar dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) ini, selain mengkritik MUI, Qasim Mathar juga menantang Sunni, Syiah dan Ahmadiyah yang merupakan tiga paham Islam terbesar di dunia agar mulai saling berjumpa untuk membicarakan perdamaian dan persatuan.
Baginya, Islam rahmatan lil-alamin yang menghadirkan perdamaian hanya dapat terwujud apabila orang-orang dan organisasi dalam Islam mengenyampingkan absolutisme teologinya dan tidak mengkultuskan para pemimpinnya masing-masing.
“Harapan pada Islam damai terjadi ketika absolutisme dan pensakralan kyai, ulama, imam (Syiah) dan huzur (Ahmadiyah) tidak terus dipertahankan,” tuturnya di hadapan 300-an akademisi dan publik yang menghadiri seminar nasional ini.
Prof DR Ahmad Sewang : Umat Islam harus lebih terbuka memandang Ahmadiyah
Sementara itu, narasumber berikutnya, Prof. Dr. Ahmad M. Sewang memprihatinkan sulitnya membangun ukhuwah Islamiyah (persatuan Islam) di tengah perbedaan mazhab ketimbang ukhuwah basyariyah (solidaritas kemanusiaan) dan ukhuwah wathaniyah (persatuan bangsa).
Sehingga, punggawa penting Ikatan Masjid-Mushalla Indonesia Muttahidah ini mendorong kalangan akademis UIN dan umat Islam secara umum supaya lebih terbuka dalam memandang Ahmadiyah yang berbeda dengan mazhab lainnya.
“Kita harus bisa berbeda dan membiasakan perbedaan. Kita tidak bisa hidup sendirian. Kita harus hidup bersama dalam perbedaan,” tegas Ahmad Sewang.
Seminar nasional ini rangkaian kerjasama Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang dibangun dengan beberapa kampus di Sulawesi. Hal tersebut ditempuh sebagai implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dalam Penelitian (literatur keagamaan) dan pengabdian kepada masyarakat.
Sehingga, pada Selasa (6/11) digelar “gala dinner” dan penandatanganan kerjasama (MoU) JAI Makassar dengan UIN Alauddin Makassar, STAIN Majene Sulbar, STKIP Pembangunan Indonesia Makassar dan Institut Parahikmah Indonesia (IPI) Makassar.
Ahmadiyah : WR Soepratman, Pahlawan Thomas Cup sampai Gempa Palu
Bagi Ahmadiyah sendiri meski kerap mendapat perlakuan tak adil oleh negara dan dianiaya oleh kelompok radikal namun papar Pengurus Besar JAI Mahmud Mubarik selalu konsisten berkontribusi dalam bidang intelektual serta kerja-kerja sosial dan kemasyarakatan terhadap bangsa ini sudah sejak masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Maka tidaklah mengejutkan jika dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, Bung Karno sangat memuji tafsir al-Quran karya Ahmadiyah.
“WR. Supratman pencipta lagu Indonesia Raya adalah penganut Ahmadiyah,” kata Mahmud Mubarik.
Pada masa orde lama para penganut muslim Ahmadiyah seperti Olich Solichin, Tutang Djamaludin menjadi bagian dari pahlawan Thomas Cup yang pertama tahun 1958 dan 1964
Lalu melompat ke era paska Orde Baru, ada organisasi sayap Ahmadiyah,
Humanity First Indonesia (HFI), yang melakukan pelayanan sosial dan kesehatan. Yang paling mutakhir, sambungnya, HFI turut mendirikan posko-posko untuk melayani dan membantu para korban gempa Lombok dan Palu hingga saat ini.
Dalam Asian Games 2018 yang baru berakhir tidak ketinggalan para Ahmadiyah turut mensukseskan acara melalui gerakan Clean The City Asian Games yang merupakan bagian dari gerakan nasional kampanye kebersihan dan selalu di awali pada setiap tahun baru dengan melibatkan seluruh anggota komunitas Ahmadiyah di seluruh indonesia, membersihkan sampah perayaan tahun baru.
“Di Makassar Clean the City dilakukan dengan mengajak kelompok lintas-iman,” ujar pria yang akrab disapa Eki ini.
Rekor MURI Donor Mata Ahmadiyah
JAI juga menggelar donor darah yang dilakukan rutin tiga bulan sekali secara serentak dan sistematis di hampir seluruh cabang Ahmadiyah.
Sementara itu untuk mengatasi kebutuhan sekitar 3 juta orang yang mengalami kebutaan, Ahmadiyah menggalakan Gerakan Donor Mata untuk di donorkan pada Bank Mata Indonesia saat meninggal.
“Organisasi terbesar di dunia yang menyumbangkan mata adalah jemaat Ahmadiyah, oleh karena itu Ahmadiyah mendapat Rekor MURI atas hal ini ,” pungkasnya. []