Jama’ah Ahmadiyah Medan mengirimkan tiga orang peserta untuk mengikuti Lokakarya Penggerak Perdamaian yang dilaksanakan 6-9 November 2018 di Monaco Park, Sibiru-biru, Deli Serdang. Ketiga peserta tersebut adalah Mln. Muzakir Masih, Mln. Zaki Zakaria, dan Gunawan sahib.
Acara ini diselenggerakan oleh Paritas Institute bekerja sama dengan PGIW Sumut dan beberapa organisasi lainnya.
Dalam sambutannya Direktur Paritas Institute, Pdt. Penrad Siagian menjelaskan bahwa situasi intoleransi yang terjadi di Indonesia, berdasarkan data-data dan survey yang dilakukan oleh beberapa lembaga menjadi alasan kuat Paritas Institute untuk terus melakukan perjumpaan antar kelompok agama terutama anak muda agar bisa terus menjadi motor penggerak perdamaian di wilayahnya masing-masing.
Tugas peserta lokakarya dan training tentu tidak mudah ke depan, tetapi mereka akan terus dijejaringkan dengan kelompok lain di setiap kota untuk menjadi bagian tidak terpisah untuk menjaga kota dan terus menggerakkan perdamaian.
Pdt. Darwis Manurung, Ketua PGI Wilayah Sumatera Utara dalam sambutannya mengatakan bahwa toleransi akan terbangun jika setiap golongan mampu menahan dri dan melakukan instropeksi agar tercipta kerukunan. Dalam sambutan dan pengantarnya, Pdt. Darwis Manurung mengatakan sebenarnya Sumatera Utara adalah provinsi yang menjadi indikator situasi di Indonesia, atau banyak yang menyebut Sumatera Utara adalah Indonesia mini. Karena di Medan berbagai suku bangsa dan agama hidup dan berkembang sejak dulu kala.
Setelah acara secara resmi dibuka oleh Pdt. Darwis Manurung, acara dilanjutkan dengan panel diskusi tentang pemuda sebagai motor penggerak perdamaian dengan menampilkan dua pembicara yaitu Bhante Dhirrapunno (Buddha) dan Mln. Muhammad Idris (Ahmadiyah Medan). Acara diskusi dipandu langsung oleh Pdt. Bima Gustav Saragih.
Bhante Dhirrapunno adalah seorang Bhikkhu pegiat toleransi dan perdamaian di Sumut. Beliau diantaranya menyampaikan bahwa dalam menjaga kerukunan, jika dalam ayat-ayat agama tidak mendamaikan, mari kita memilih ayat-ayat cinta. Selanjutnya Bhikkhu mengatakan bahwa untuk bisa menghargai agama orang lain, maka kita harus bisa menghargai agama lain. Bhikkhu menjelaskan kenapa menggunakan terminologi kopi toleransi untuk buku keduanya yang baru saja di-launching sebab bicara toleransi harus membumi, harus bergerak, harus bertemu bahkan sampai pada kelompok-kelompok kecil, sembari minum kopi. Beliau juga banyak menceritakan pengalamannya sebagai pegiat toleransi dan penggerak perdamaian di berbagai daerah.
Sebagai pembicara yang kedua, Mln. Muhammad Idris menyampaikan rasa optimisnya bahwa para peserta yang hadir dalam lokakarya ini akan benar-benar dapat menjadi motor penggerak perdamaian di Sumatra Utara ini. Beliau juga menceritakan pengalamannya selama 8 tahun bertugas di Tuvalu, salah satu negara kepulauan di samudra pasifik selatan.
Beliau berbagi pengalamannya dalam berbagai kegiatan lintas iman disana yang memang sangat efektif untuk membumikan nilai-nilai toleransi dan perdamaian. Selain pendekatan kultural yang dilakukan, nilai-nilai dalam ajaran Islam sebagai penebar damai dan kasih sayang juga memiliki peranan yang sangat penting untuk merajut perdamaian dan kerukunan di negara yang mayoritas penduduknya menganut agama Kristen tersebut.
Acara dilanjutkan dengan tanya jawab dan diskusi yang dipandu oleh Pdt. Bima Gustav Saragih. Kemudian setelah ditutup oleh moderator, acara dilanjutkan dengan sesi foto bersama dan makan siang.
Kontributor : Mln. Muhammad Idris