Jalan itu menanjak dan berkelok tajam. Tidak lebar, bertepi lereng curam, semen melapisi permukaannya. Maju sedikit, tampak bangunan pemukiman warga. Di muka jalan sebelah kiri, mushola yang menjadi cikal bakal Masjid Al-Furqon milik Ahmadiyah Kersamaju berdiri.
Sabtu, 30 September 2000, hari sudah malam ketika hampir 600 orang berbondong-bondong menuju mushola. Bukan untuk beribadah, sebab kapasitas ruangnya bahkan tidak dapat menampung seperenam jumlahnya. Mereka datang membawa misi lain. Tangan mereka berbekal obor, bersenjatakan golok.
“Kaluar sia urang gorok, urang sate!” [ “Keluar kalian mau kita gorok dijadiin sate!”]
“Urang paehan soalna darah Ahmadi mah halal.” [“Bakal kita bunuh, soalnya darah Ahmadi halal (buat dibunuh).”]
“Bakar saja! Bakar!”
Obor-obor dalam genggaman, mereka bawa mendekati bangunan. Mushola itu berbentuk rumah panggung dan berdinding anyaman bambu. Tetapi, alih-alih dilahap api, nyala obor justru meredup, lalu padam.
Mati satu tumbuh seribu. Gagal dengan obor, mereka menjajal cara lain. Golok yang belum mengambil peran, disabetkan pada dinding.
“Allahu akbar!”
“Allahu akbar!”
Pekik takbir itu disusul suara gedebuk mereka yang menerobos masuk; merusak sajadah dan menginjak-injak Al-Quran. Sementara para jamaah bangunan itu tidak dapat berbuat banyak, selain merapal doa sambil terisak.
Ibarat membuka lembar baru demi meninggalkan halaman lama, anggota Ahmadiyah Kersamaju berinisiatif merenovasi bangunan mushola menjadi masjid dengan bangunan permanen pada Oktober 2014. Bangunan sebelumnya sudah mulai lapuk, pun diperparah dengan penyerangan pada 2000 silam. Atas kebutuhan yang mendesak, bangunan berukuran 4×8 m itu diperluas menjadi 5×10 m.
“Mulai dibangun, datang dari MUI kalau ga salah. Disuruh ada IMB, setau kita gak ada,” tutur Rahmi.
Dari catatan kronologis yang saya dapatkan, 11 Maret 2015 pihak Muspika Kecamatan mendatangi aparatur Desa Kersamaju dan meminta agar renovasi masjid tersebut dihentikan. Amil Desa dan Ketua Karang Taruna meminta agar ukuran bangunan dikembalikan seperti semula. Namun Ahmadiyah Kersamaju memilih melanjutkan pembangunan, sesuai yang direncanakan.
Dua mobil beranggotakan Satpol PP mendatangi Ahmadiyah Kersamaju pada 30 Maret 2015, pukul 11.00 WIB. Tanpa menunjukkan surat, mereka mengaku mendapat tugas untuk menghentikan pembangunan masjid, pun tidak memberikan kesempatan kepada pengurus maupun anggota Ahmadi untuk bertanya dan berbicara.
Karena hal tersebut, pengurus Ahmadiyah Kersamaju kemudian mengunjungi Kepala Desa dan meminta agar permasalahan ini dimusyawarahkan. Kepala Desa mengatakan bahwa pada sore hari, akan dilaksanakan pertemuan di Kejaksaan. Namun Ahmadiyah Kersamaju tidak mendapat undangan, lalu ketika dikonfirmasi kembali, Ahmadiyah Kersamaju hanya mendapat jawaban, “Mungkin Jemaat Ahmadiyah akan diundang seminggu kemudian.”
Beruntung, kedatangan dua orang intel dari Polres pada sore hingga malam hari membuat suasana kondusif. Tetapi keesokan harinya, lain cerita.
Seorang anggota Ahmadi mendengar kabar jika Kepala Dusun diperintahkan Kepala Desa untuk datang ke Kampung Gadel, lokasi dimana Masjid Al-Furqon milik Ahmadiyah Kersamaju berada. Sementara seorang anggota lain mendapat informasi dari Satpol PP bahwa akan ada ‘pihak ketiga’ yang datang menyegel masjid. Entah siapa ‘pihak ketiga’ yang dimaksudnya.
Kabar yang simpang-siur, tetapi dinyatakan dengan keberadaan aparat kepolisian yang berjaga sekitar pukul 06.00. Mereka dipersenjatai anti huru-hara. Pengurus Ahmadiyah setempat juga hadir di sana, tetapi mereka tidak menyangka jika beberapa jam kemudian Satpol PP datang dan tanpa tedeng aling-aling menyegel Masjid Al-Furqon. Polisi yang berjaga memberi jalan bagi mereka. Namun menutup akses bagi Jemaat Ahmadiyah untuk bertanya dan mengajukan keberatan.
Dalam spanduk segel yang dipasang Satpol PP, tertuang bahwa penyegelan dilakukan karena pembangunan tidak memiliki izin (IMB). Satpol PP datang tanpa surat tugas dan pihak kepolisian mengusir orang dari luar Kersamaju, termasuk mubaligh yang bertugas membina dan mendampingi Ahmadiyah di sana. Ketua Satpol PP memperingatkan bahwa siapapun yang mencoba membuka segel akan dipidanakan.
“Kalau tidak ada perbedaan antara Ahmadiyah dengan kami, kenapa gak mau berbaur? Kenapa malah bikin masjid sendiri di Gadel?”
Pertanyaan yang kerap dilontarkan aparat desa, oleh Ade—perempuan Ahmadiyah Kersamaju, kerap juga dijawab dengan pertanyaan retoris, “Bapak juga lagi membangun di belakang, kan? Bikin pesantren sama masjid. Kenapa Bapak bisa, saya nggak boleh?”
Jika sudah demikian, tidak ada lagi bantahan atau jawaban yang didapat oleh anggota Kersamaju selain senyum dari lawan bicaranya.
“Padahal bukan Ahmadiyah tidak berbaur. Alasan terjadinya penyerangan pada 2000 silam katanya karena JAI melakukan Jum’atan, melanggar pemerintah. Jika ditelisik, alasan mendasar penyerangan itu karena mereka takut orang non-Ahmadi ikut Jum’atan di masjid Ahmadi. Karena saat itu, orang-orang non-Ahmadi suka ikut berbagai kegiatan JAI,” kata Rahmi.
Disadari atau tidak, perempuan memiliki tantangan yang lebih berat dibanding lelaki ketika menjadi korban intoleransi atas nama agama. Namun di sisi lain, perempuan juga selalu menemukan cara untuk merekonsiliasi dan memulihkan keadaan.
Berbicara mengenai berbaur dengan masyarakat sekitar, pasca penyerangan terjadi, perempuan-perempuan Ahmadiyah di Kersamaju berupaya aktif dalam kegiatan Posyandu dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Apa yang dialami Kersamaju membuka akses dan menempa perempuan untuk berdaya. Lanskap kehidupan dimana laki-laki lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah untuk bekerja, menghadirkan kesadaran di benak perempuan untuk tidak bergantung pada keberadaan laki-laki.
“Kalau perempuan nggak tampil dan tiba-tiba ada yang datang, siapa yang mau menghadapi? Kalau mau mengandalkan laki-laki sedangkan laki-lakinya pada nggak ada, apakah kita harus kontak orang lain dan dia bisa langsung hadir?” ungkap Irna.
Dia menekankan kepada dirinya sendiri dan anggota perempuan lain.
“Kita bisa bantu, jadi kita perempuan bergerak. Kalau diem aja, menunggu, ya nggak bakal ada perubahan.”
Kelas Hukum dan Kelas Kesadaran mendapuk Irna menjadi sosok yang lebih berani. Dia dan suami juga mendapat akses pelatihan paralegal di Bandung. Kelas-kelas dan pelatihan itu menggiring kesadaran akan peran perempuan sangat penting sebab dalam pergaulan, perempuan lebih mudah melibatkan diri dengan masyarakat dibanding laki-laki. Perempuan bisa aktif dalam kegiatan PKK, Posyandu, pengajian, atau dalam kesehariannya berbaur di warung dan di pasar.
Kelas dan pelatihan yang pernah diikuti Irna membuatnya bisa berbaur dengan desa. Berbaur dengan sekitar maupun perangkat desa memang tidak langsung membawa dampak signifikan tentang Jemaat Ahmadiyah, tetapi perlahan dapat menepis stigma bahwa Ahmadiyah eksklusif atau menutup diri dari sekitar.
“Walau belum seefektif yang diharapkan, tetapi kita bisa dekat dengan mereka,” ujarnya.
Dua kali mengalami penyerangan dan sulitnya pencatatan pernikahan—yang sejak 2013 tidak difasilitasi oleh pihak Pemerintahan Desa dan P3N (Petugas Pembantu Pencatatan Nikah), membawa tantangan tersendiri bagi perempuan Ahmadiyah Kersamaju.
Adalah Ade, perempuan yang bersikeras melakukan pernikahan di domisili (nya). Disebabkan tidak difasilitasi KUA, dia menikah agama pada 20 Juli 2019. Sebelumnya, solusi atas permasalahan tersebut adalah dengan pindah dan menumpang nikah di tempat lain yang memfasilitasi pernikahan Ahmadiyah. Sebelum Ade menikah, tercatat tujuh pasangan telah memilih ‘titik aman’ dengan pindah ke tempat orang.
“Kalau saya nggak mau pindah, saya ingin nikah di sini,” tekad Ade. Menurutnya jalan terjal tersebut adalah proses untuk menuntut hak yang harus dia daki. “Katanya kita melanggar hukum. Dengan meniadakan hak orang lain, bukannya (mereka) itu juga melanggar hukum? Kalau kita, hukum mana yang kita langgar?”
Kasusnya kemudian diadukan ke Bandung, KUA-KUA yang di domisilinya ada anggota Ahmadi, dipanggil dan diselesaikan. Untuk memperoleh buku nikah, Ade menempuh sidang isbat.
“Alhamdulillah sidangnya berhasil. Setelah itu, baru pernikahan di Kersamaju bisa terlaksana dengan lancar.”
Apabila disingkap, kisah-kisah perempuan di atas adalah sedikit dari banyak aksi nyata perempuan dalam mentransformasikan diri dan merekonsiliasi keadaan. Narasi patriarkis yang membingkai perempuan korban sebagai makhluk lemah dan rentan, nyatanya dapat dipatahkan sebab dalam kondisi mengalami diskriminasi berlapis pun perempuan tetap bisa mengambil peran. Pada titik inilah, penguatan kesadaran tentang pentingnya hak, advokasi, dan keberpihakan kepada korban harus terus digalakkan.*
*) disclaimer: nama di atas disamarkan sesuai konsensus dan kenyamanan narasumber
_
Liputan ini ditujukan untuk program Fellowship Kampanye Kesetaraan Gender di Dunia Digital yang didukung Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) dan PKBI