Bogor – Sabtu (08/10/202), Lajnah Imaillah atau Perempuan Muslim Ahmadiyah Indonesia meluncurkan buku ‘Pancarona Lajnah Imaillah Indonesia’. Penyusunan buku ini dalam rangka perayaan se-abad organisasi Lajnah Imaillah (1922-2022).
Buku tersebut dibuat oleh Tim Sejarah Lajnah Imaillah (LI) Indonesia yang berjumlah empat orang. Terdiri dari Sutji Rochani, Rahma Roshadi, Meilita Hikmawati dan Ine Siti Nurul Mu’minah. Keempatnya tergabung dalam tim sejarah sejak Desember 2021 hingga Agustus 2022.
Buku itu kemudian resmi diluncurkan dan dipublikasikan bertepatan dengan berlangsungnya acara Majelis Syuro Nasional LI Indonesia 2022.
Sadr (Ketua Umum) LI Indonesia, Siti Aisyah Bakrie yang pertama kali memperkenalkan buku setebal 718 halaman tersebut. Menurutnya, proses pembuatan dan pengumpulan sejarah selama 90 tahun bukanlah hal yang mudah. Rasa kecintaan yang membuat tim sejarah LI bertahan dan semangat menyusun buku setebal itu.
Di sisi lain, usia organisasi LI yang terus bertambah tentunya menjadi tantangan tersendiri. Rintangan yang dilalui oleh para pendahulu dari masa ke masa haruslah diketahui oleh generasi Lajnah (perempuan Ahmadiyah) saat ini.
Dalam kesempatan wawancara, tim penyusun menjelaskan makna dari judul buku tersebut.
“Pancarona artinya beragam, berarti kaya tetapi tetap bersatu. Kaya disini adalah cerminan Indonesia sebagai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia),” ujar Rahma Roshadi, tim penyusun buku.
Selanjutnya, menurut para penulis, data didapatkan dari sumber tertulis dan lisan. Sumber tertulis berasal dari literatur jemaat seperti buku sejarah edisi sebelumnya, majalah-majalah, artikel, laporan tahunan dan juga kuesioner yang di bagikan ke cabang-cabang untuk diisi.
Sedangkan sumber lisan didapatkan dari wawancara dengan tokoh-tokoh LI Indonesia, para awalin yang menjadi saksi sejarah pada beberapa peristiwa penting Ahmadiyah, serta para mantan Sadr LI dan keluarganya.
Sutji Rochani, Ketua tim Sejarah LI menjelaskan, sejarah harus dicatat bukan hanya dikenang. Berangkat dari motivasi itulah tim sejarah LI bergerak mencari beragam informasi dari berbagai sumber. Dari sabang sampai merauke tim berhasil mengumpulkan data bagaimana perjalanan Perempuan Ahmadiyah di masing-masing daerah.
Meilita, salah satu tim mengungkapkan ketakjubannya saat mengunjungi rumah ketua tim. Pasalnya terdapat banyak buku-buku kuno yang masih sangat terawat.
“Saya takjub pada saat mengunjungi rumah Ibu Sutji, ada beberapa buku-buku lawas yang masih bagus, laporan tahunan LI, hingga foto-foto. Hati saya tergerak untuk semangat membantu menyusun buku (sejarah) ini,” ungkapnya.
Sementara itu, Amy Rachmatunisa, Sekretaris Isyaat PP Lajnah Imaillah menyampaikan alasan memilih anggota tim sejarah LI, “Menyusun buku sejarah bukan perkara mudah, butuh data, kemampuan menulis dan lainnya. Tetapi selain itu yang paling dibutuhkan adalah kesabaran, dan itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang mau berkhidmat. Saya yakin mereka adalah pengkhidmat sejati. Tanpa banyak bicara mereka bekerja siang-malam tanpa dibayar. Kemampuan bisa ditingkatkan, namun pengkhidmatan adalah rasa cinta yang mendalam terhadap Ahmadiyah.”
Tentang Lajnah Imaillah
Lajnah Imaillah didirikan pada tahun 1922 oleh Hadhrat Khalifatul Masih II, Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra. Saat itu beliau menerbitkan surat terbuka “Ahmadi Ladies of Qadian” yang berisi dorongan kepada para perempuan untuk menyadari dan memenuhi potensi mereka.
Pertemuan pertama berlangsung pada tanggal 25 Desember 1922. Hadhrat Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad ra secara resmi mengumumkan pembentukan badan Lajnah Imaillah.
Di Indonesia, Lajnah Imaillah pertama kali terbentuk di Padang pada tahun 1932. Saat ini Lajnah tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Para awalin Lajnah bergerak bersama tokoh-tokoh pejuang, tokoh negara hingga pemerintahan. Hal itu menjadi motivasi besar untuk Lajnah saat ini agar meneruskan perjuangan dan menjadi perempuan Ahmadiyah yang cinta tanah air.
Dalam buku Sejarah Lajnah Imaillah, terlihat inklusivitas JAI khususnya LI Indonesia. Misalnya bukan hanya menerima tamu yang mengunjungi Ahmadiyah, tetapi juga melakukan kunjungan (rabtah) ke masyarakat, NGO, maupun instansi pemerintah mulai tingkat bawah hingga tingkat Kementerian dan Presiden.
Setelah dipublikasikan pada Sabtu (8/10/22), sambutan tidak hanya datang dari kalangan perempuan Ahmadiyah, tetapi juga dari publik atau masyarakat secara luas.
“Beberapa teman yang bukan Ahmadi sudah siap memesan dan membeli buku sejarah ini untuk mengetahui lebih dalam kiprah lajnah Imaillah di Indonesia,” pungkas Rahma Roshadi.