JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Meningkatnya kasus intoleransi beragama di Indonesia disorot dalam sebuah tulisan DI Guardian Australia, oleh penulis Elaine Pearson. Dia menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyatakan “tidak ada toleransi” atas kekerasan agama, namun dia berulang kali gagal untuk memenuhi janji itu dengan tindakan.
Pearson menulis tentang perjalannnya menemui dan berbicara dengan warga Ahmadiyah yang menjadi korban kekerasan dan intimidasi oleh kelompok intoleran.
Tepat tiga tahun yang lalu, pada tanggal 6 Februari 2011, sekitar 1.500 militan Islam menyerbu komunitas Ahmadiyah di desa Cikeusik di Jawa Barat. Dalam serangan yang sangat brutal itu, yang terekam video, para penyerang memukul tiga orang Ahmadiyah hingga meninggal dan lima orang lainnya terluka parah. Rekaman kekerasan yang mengerikan beredar luas di internet, dan mengejutkan Indonesia dan dunia. Polisi akhirnya menggunakan bukti video itu untuk mengidentifikasi beberapa pelaku, 12 di antaranya dihukum, tapi hukuman yang ringan dengan penjara tiga sampai enam bulan.
Menurut dia, Australia sebagai tetangga Indonesia memiliki alasan untuk khawatir pada ketidakmampuan pemerintah Indonesia atau keengganannya melindungi Ahmadiyah, sebuah sekte Muslim, dan agama minoritas lainnya dari kelompok yang disebutnya “preman fanatik” yang bertindak dengan impunitas yang jelas.
Kesaksian Warga
Dua pekan lalu, seorang yang selamat dari serangan yang mengerikan itu, Acmad Masihuddin, menemani dia untuk mengunjungi beberapa komunitas Ahmadiyah di luar Jakarta. Masihuddin bercerita bagaimana hari itu menentukannya untuk mencoba melarikan diri. Massa menangkapnya dan menyeretnya, menelanjanginya, dan memukulinya dengan cangkul dan parang, sampai seorang polisi mengatakan bahwa dia telah mati dan meletakkannya di belakang mobil polisi dan menyelamatkan nyawanya.
Masihuddin, yang cedera membutuhkan dua tahun pengobatan, namun dia masih menderita sakit kepala dan kehilangan penglihatan parsial di salah satu matanya. Sekarang dia bekerja untuk salah satu kelompok hak asasi manusia di Indonesia, Kontras, untuk mendukung korban kekerasan agama. Masihuddin mengatakan, “Saya bekerja untuk Kontras, karena saya ingin menghentikan hal ini terjadi lagi.”
Peristiwa tiga tahun itu seharusnya menjadi panggilan bagi Indonesia untuk bangun mengatasi kekerasan agama, pada Ahmadiyah dan minoritas agama lainnya yang berada di bawah ancaman.
Di Indonesia, kasus insiden pelecehan meningkat berlipat, termasuk ancaman dan kekerasan terhadap kelompok agama minoritas, termasuk beberapa kelompok Kristen, Syiah dan Ahmadiyah. Kelompok-kelompok ini telah menjadi target dari kelompok militan Islam yang memberi label non Muslim sebagai “kafir,” dan Muslim yang tidak mematuhi ortodoksi Sunni sebagai “penghujat.” Bahkan ateis Indonesia hidup dalam ketakutan kelompok tersebut.
Militan Islam semakin sering menyerang Ahmadiyah sejak tahun 2005 ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengumumkan fatwa bahwa komunitas Ahmadiyah menyimpang dari ajaran-ajaran Al-Qur’an. Pada tahun 2008, pemerintah mengeluarkan sebuahkeputusan nasional anti Ahmadiyah dan melarang mereka melakukan dakwah. Pemerintah membenarkan keputusan ini atas dasar untuk mengurangi kekerasan dan mempromosikan kerukunan beragama. Namun sebaliknya, jumlah serangan meningkat dan terjadi pada lebih dari 30 kota, kabupaten dan provinsi di seluruh Indonesia, dan beberapa melarang Ahmadiyah, seperti Provinsi Jawa Barat.
Pengucilan
Pearson mengungkapkan dia bertemu dengan wakil dari lima komunitas Ahmadiyah di Sukadana, Jawa Barat, yang menggambarkan intimidasi yang mereka alami hampir setiap hari, berupa pelecehan dan diskriminasi. Juga penutupan tiga mesjid Ahmadiyah oleh pejabat setempat. Ulama juga menyampaikan khotbah kebencian dan intoleransi melalui pengeras suara. Dalam beberapa kasus juga menyerukan untuk menghindari bisnis dengan usaha yang dimiliki warga Ahmadiyah. “Saya gelisah setiap kali mendengar ulama berbicara melalui pengeras suara,” kata seorang wanita Ahmadiyah kepada Pearson.
Beberapa warga Ahmadiyah menemukan kesulitan mendapatkan pekerjaan. Beberapa pria menggambarkan hambatan birokrasi ketika berhadapan dengan pejabat setempat atau ketika meminta dokumen identifikasi baru (kartu tanda penduduk / KTP) atau izin mendirikan bangunan.
Beberapa guru Ahmadiyah ditekan untuk pindah agama menjadi Islam Sunni atau dimutasi ke sekolah-sekolah terpencil ketika mereka menolak saran itu. Anak-anak Ahmadiyah juga disiksa oleh teman-teman sekelas dan guru menekan mereka untuk mengecam pandangan agama mereka sebagai “sesat. ” Bahkan rumah sakit tidak mau menerima donor darah dari warga Ahmadiyah. Seorang perempuan mengatakan, “Kami mencoba untuk mendonorkan darah dan kami ditolak. Mereka mengatakan tidak ingin darah Ahmadiyah. Hanya jika keadaan darurat, maka mereka datang ke sini dan meminta kepada kami.”
Pengucilan ini menyapu warga Ahmadiyah dan sama atau lebih berbahaya daripada kekerasan brutal seperti serangan di Cikeusik.
Kelompok Islamis ini didorong oleh keberhasilan dalam menekan Ahmadiyah dan juga mengalihkan perhatian mereka kepada kelompok minoritas lainnya, seperti Syiah, Bahai dan Kristen. Sebuah keputusan pemerintah pada tahun 2006 mengharuskan kelompok agama untuk mendapatkan izin dari sejumlah besar anggota masyarakat setempat sebelum membangun rumah ibadah, dan aturan ini telah digunakan untuk menutup tidak hanya sekitar 30 masjid Ahmadiyah, tetapi lebih dari 500 gereja Kristen dan beberapa kuil Buddha.
Ancaman Stabilitas
Menurut Pearson, dalam tulisan itu, Australia semestinya peduli dengan masalah di Indonesia ini. Indonesia disebutnya sebagai sebuah negara yang gagal bertindak tegas menghadapi kekerasan agama dan memfasilitasi intoleransi terhadap agama lain. Hal ini berisiko dan melanggar Konstitusi Indonesia sendiri dan bisa menjadi ancaman mendestabilisasi wilayah.
Pearson menilai Indonesia telah melakukan dengan cukup baik dalam mengendalikan terorisme, namun sikapnya yang membiarkan intoleransi dari Islamis dapat menimbulkan ancaman yang mungkin mempengaruhi perbatasan Indonesia. Australia tidak ingin melihat Indonesia mengikuti jalan Pakistan, di mana kegagalan mengatasi kekerasan terhadap minoritas agama telah mengakibatkan peningkatan yang instabilitas dalam kekerasan terhadap Ahmadiyah, Syiah, dan Kristen.
Untuk mengekang kecenderungan intoleransi ini, menurut Pearson, pemerintah Indonesia perlu bertindak tegas. Hal ini dapat dimulai dengan mencabut aturan yang diskriminatif serta menyelidiki secara menyeluruh dan menghukum pelaku tindak kekerasan agama. Sejauh ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyatakan bahwa “tidak ada toleransi” atas kekerasan agama, namun dia berulang kali gagal untuk membuktikan janji itu dengan tindakan.
Australia dan pemerintah negara lain yang memiliki pengaruh harus menekan Yudhoyono untuk menangani masalah kekerasan agama ini. (theguardian.com /hrw.org)