Menyelam, mengebor karang, meneliti batang karang di laboratorium, kemudian menganalisisnya menjadikan Intan Suci Nurhati, Ph.D. (35) memahami misteri kondisi laut dalam rentang waktu yang mencapai 200 tahun lalu. Keahlian peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini hanya dimiliki segelintir orang di Indonesia.
Intan adalah seorang Lajnah Imailah (Perempuan Ahmadiyah) asal Jakarta Barat, putri dari Ibu Anis Rahmat yang menjabat sebagai Pimpinan Pusat Lajnah Imailah Bidang Eksternal (Humas), dan pernah mendapatkan penghargaan dari Khalifah Muslim Ahmadiyah Hz. Mirza Masroor Ahmad (atba) beberapa tahun yang lalu saat Jalsah Salanah Jerman.
Intan mempelajari bidang keilmuan yang secara ilmiah disebut paleoclimatology dan paleoceanography. Ya, paleo berarti tua, climatology berarti ilmu iklim, dan oceanography berarti kelautan. Intinya, ia ahli dalam menguak masa lalu iklim dan kelautan yang belum masuk dalam catatan manusia di masa lalu. Intan mencari catatan-catatan tersebut dalam arsip alam di laut, yaitu berupa karang yang telah hidup sejak puluhan hingga ratusan tahun lalu. Ia membutuhkan potongan karang yang bisa mewakili pertumbuhan hidup karang untuk mendapatkan informasi lengkap kondisi perairan dari masa ke masa.
Karena itu, umumnya, Intan mencari karang batu atau karang masif jenis Porites sp yang berukuran besar. Satu Porites besar yang pernah didapatkannya berada di Taman Nasional Taka Bonerate, di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, saat melakukan riset pada 2013.
Karang itu merupakan bagian dari lima titik pengambilan sampel yang dilakukan Intan beserta sejumlah periset lain. Secara keseluruhan, sampel-sampel itu berasal dari dua titik di dalam atol Takabonerate (atol terbesar di Asia Tenggara dan ketiga di dunia), dua titik di luar atol Takabonerate, dan satu titik di perairan Pulau Selayar.
Tinggi karang ini sekitar 2 meter yang berada di belakang sebuah resor di Pulau Tinabo. Karang ini dibor dengan alat khusus sehingga mendapatkan sebatang potongan skeleton karang memanjang. Butuh waktu hingga 2,5 jam di bawah air baginya untuk mendapatkan potongan ini.
Jika diperhatikan pada potongan rangka karang berwarna putih krem itu, terdapat garis-garis yang berwarna lebih gelap. Seperti lingkar tahun pada lingkar pohon berkambium, garis-garis pada potongan karang ini menunjukkan perubahan musim yang juga bisa dibaca sebagai garis tahun.
Tak sekadar garis tahun, melalui pengamatan di laboratorium akan kandungan geokimia, Intan juga bisa menemukan berbagai polutan yang terserap dalam badan karang dan curah hujan yang terjadi pada masa lalu. Itu bisa menjadi petunjuk berbagai kejadian yang pernah terjadi pada masa itu.
Terusik
Intan kecil awalnya seperti anakanak pada umumnya yang tak pernah terpikir akan menjadi peneliti. Saat itu, ketika duduk di bangku SMA di Jakarta pada 1997, ia bercita-cita menjadi arsitek.
Namun, Intan lalu tertarik pada isu perubahan iklim ketika terjadi fenomena kekeringan panjang akibat El Nino pada tahun 1997-1998. Saat tahun 1997, Jakarta mengalami banjir besar.
”Tapi, yang paling bikin menohok adalah ketika terjadi konflik sosial serta krisis moneter dan politik pada tahun itu. Kekeringan dan banjir ini bikin susah, menambah masalah saja,” kata Intan.
Dari berbagai literatur dan referensi saat itu, ia menemukan bahwa kekeringan melalui fenomena El Nino memiliki siklus alias akan terjadi lagi pada masa mendatang. Temuan ini mengusik pemikirannya agar saat fenomena alam itu terulang, masyarakat bisa menjadi lebih siap.
Namun, hal ini belum mendorong Intan untuk menjadi peneliti. Lulus dari SMA, ia mendapatkan beasiswa melanjutkan pendidikan di jurusan ekonomi Universitas Wesleyan di Amerika Serikat.
Seiring waktu, Intan juga mengambil jurusan Ilmu Lingkungan dan Kebumian (earth and environmental science) melalui program double degree di kampusnya. Di situlah, Intan mendapatkan literatur yang menunjukkan perubahan iklim bisa dipelajari dengan karang.
Tak ingin membuang waktu, seusai menyelesaikan double degree pada tahun 2005, Intan lompat mengambil program PhD Ilmu Atmosfer dan Bumi dari Georgia Institute of Technology, AS, yang diselesaikannya pada tahun 2010. Dari situ, Intan menjadi akademisi dan peneliti tamu di universitas di AS, Jepang, Jerman, dan Singapura.
Baru pada tahun 2016, ia memutuskan bergabung bersama Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bergabung dalam institusi riset berpelat merah yang hingga kini belum mendapatkan anggaran memadai tak lantas membuatnya kecewa.
Intan justru senang karena di LIPI ia malah menemukan atmosfer riset yang menemukan antara ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat. ”Sebelum di LIPI, saya benar-benar science to science. Justru menarik di Indonesia untuk membumikan ke masyarakat. Itu tantangan,” kata Intan. Dalam laman pribadinya, inurhati.org, dia juga menuliskan kemampuan berbahasa Inggris, Jepang, serta bisa membaca dalam bahasa Arab.
Di LIPI pula, ia bertemu dengan profesor riset P2O LIPI, Suharsono, yang dijuluki ”Bapak Karang Indonesia”. Ia sering berkonsultasi dengan Prof Suharsono apabila membutuhkan saran dan masukan terkait risetrisetnya. Selain karang, Intan juga kerap menggunakan pohon dan rekonstruksi sedimentasi untuk memahami iklim di masa silam.
Berbekal tantangan baru untuk mempertemukan ilmu pengetahuan Lahir: Jakarta, 20 September 1982 Kepakaran: Ahli Paleoklimatologi dan Paleoseanografi pada Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI)
Pengalaman mengajar: Dosen tamu di National University of Singapore’s Geography Course [2014], Yale-NUS College [2015], Institut Teknologi Bandung (2012) Karya: Menerbitkan berbagai publikasi ilmiah
Keahlian selam:
Professional Association of Diving Instructor (PADI),Level Rescue Diver,American Academy of Underwater Sciences (AAUS),bidang Research Diver dengan kebutuhan masyarakat.
ia bersama rekannya di P2O LIPI melakukan riset pengasaman laut di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Perairan ini dipilih karena menjadi penghasil mutiara laut berkualitas di Indonesia.
Apabila pengasaman laut terjadi dan berdampak pada kerang mutiara, hal itu akan membuat Lombok kehilangan tumpuan ekonomi. Secara teori, pengasaman air laut menurunkan kalsifikasi (pembentukan kapur). Kini laporan riset sedang disusun dan akan digunakannya sebagai masukan kepada pengambil kebijakan, yakni pemerintah daerah setempat.
Riset ini dijalankan untuk dilaporkan kepada UN Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC)–WESTPAC (bekerja di perairan Pasifik Barat, termasuk Indonesia). ”Jadi pertimbangan mengambil lokasi di Lombok bukan hanya dari sisi ekologi, melainkan juga dari sisi ekonomi,” kata Intan.
Intan kini juga dipercaya duduk dalam panel ahli perubahan iklim antarpemerintah (IPCC) dalam Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Ia duduk dalam kelompok kerja ilmu fisik. Hal itu sebuah kesempatan peneliti tampil di pentas internasional yang bisa sangat menentukan arah negara-negara (parties) dalam mengendalikan perubahan iklim
Copyright@2017 Pusat Penelitian Oseanografi LIPI