Yogyakarta – Jemaat Ahmadiyah Yogyakarta menerima kunjungan dari 2 orang dosen Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Pdt. Dr. Wahyu Nugroho, M.A., dan Pdt. Daniel K. Listijabudi, Ph.D, merima langsung oleh Mln. Murtiyono Yusuf Ismail selaku Mubaligh Daerah DIY, Mln. Dildaar Ahmad Dartono Mubaligh Piyungan, dan Irfan Sukma Ardiatama Qaid Majlis (QM) atau Ketua Pemuda Ahmadiyah DIY, Jumat 14 Juni 2024.
Dalam kesempatan tersebut, Dr Wahyu sebagai Wakil Dekan Bidang Keuangan, SDM, Sarana Prasarana, Dosen Studi Agama-agama dan Islamologi dengan Pdt. Daniel K. Listijabudi, Ph.D, Kaprodi Filsafat Keilahian Program Sarjana Dosen Teologi Kontekstual, Hermeneutik Alkitab Kontekstual, Perjanjian Lama, bertujuan untuk melakukan diskusi terkait buku berjudul Semata-mata Keadilan oleh Naeem Stifani Ateek seorang Pendeta Pelestina.
Buku ini membahas terkait pendudukan Israel yang mengusung ideologi Zionisme dengan dalih merebut kembali tanah air bangsa Israil. Pembahasan terkait kisah Israel yang seolah diwakilkan dalam kisah sejarah Raja Ahab yang berusaha merebut kebun anggur milik seorang petani bernama Nabot, meskipun terwujud dengan kebinasaan Nabot beserta keluarganya, namun berakhir dengan kematian tragis Raja Ahab beserta keluarganya pula, tak lama sesudah kejadian tersebut, sebagai wujud hukuman keadilan oleh Tuhan.
Diskusi berlangsung dengan sesi tanya jawab terkait pandangan perwakilan Jemaat terkait kisah tersebut, apakah penggambaran wujud kisah Ahab dan Nabot relevan dengan suasana konflik Israel – Palestina, dan apakah suasana tersebut juga turut mewakili kondisi terkait dinamika Jemaat Ahmadiyah yang cukup banyak mendapatkan persekusi bahkan hingga tersorot media, sehingga menimbulkan ragam persepsi, mulai dari simpati hingga penghakiman pribadi oleh masyarakat.
Mengawali tanya jawab tersebut, Mln Murtiyono YI mengangkat satu kisah yang terjadi pada seorang kakek Yahudi yang tanahnya ingin dibeli oleh Gubernur Mesir Amr bin Ash.
Dikarenakan tidak diberikan namun sang gubernur memaksa agar si kakek pindah, karena gubuk reyotnya merusak pemandangan dan lahannya akan dibangun masjid di depan istananya yang indah.
Maka sang kakek mengadukan sikap gubernur kepada Hadhrat Khalifah Umar bin Khatab.
Mendengar aduan tersebut, Hdh. Khalifah mengambil sebatang tulang unta dan menggores tulang tersebut dengan garis lurus. Lalu sang kakek membawa tulang itu kepada sang Gubernur. Seketika sang gubernur gemetar dan mengurungkan niatnya untuk memperkuat masjid.
Sang kakek pun bertanya-tanya apa maksud tulang tadi? Lalu sang gubernur menjelaskan bahwa Hdh. Khalifah Umar telah mengingatkan kepadaku agar jangan main-main kepada keadilan kepada masyarakat. Beliau mengingatkan aku agar tetap lurus dalam keadilan, jika tidak. Maka nasibku akan seperti halnya tulang unta. Hdh. Khalifah akan menegakkan hukumnya.
Diskusi berlangsung cair, ditemani jamuan gorengan serta kopi racikan pribadi Mubda DIY, dengan penjelasan yang saling melengkapi dari Mubda DIY, Mubaligh Piyungan, serta QM DIY, dimana secara kompak JAI berpandangan bahwa terkait konflik Israel – Palestina, hampir secara keseluruhan ditampilkan dalam kisah Ahab dan Nabot, kisah klasik dimana sebuah kelompok dengan pandangan supremasi berusaha memaksakan kehendaknya terhadap bangsa yang dianggap inferior. Namun sebuah bahasan yang menarik muncul bahwa jika akhir Ahab sudah dapat disaksikan, maka akhir dari konflik yang kini tengah terjadi belum dapat dipastikan.
Lebih jauh JAI DIY menjelaskan pandangannya bahwa secara umum Tuhan YME memiliki kehendak agar manusia saling mewujudkan cinta kasih terhadap sesama, apa yang terjadi di dalam konflik Israel – Palestina sendiri bukan konflik berdasar asas agama, karena jelas-jelas negara Israel yang mengaku sebagai perwakilan bangsa Yahudi, tidak menaati hukum Taurat itu sendiri yakni membalas hanya sebatas sesuai perlakuan yang diterima, mata dibalas mata – gigi dibalas gigi, dan yang terjadi adalah pembalasan brutal terhadap 30 ribu lebih jiwa warga sipil Palestina.
Pandangan JAI selanjutnya adalah bahwa seperti pengalaman yang dialami oleh para Ahmadi yang menjadi korban persekusi, mereka tetap menunjukkan kesabaran serta keitaatan tinggi terhadap para pemimpin baik pemimpin rohani serta hukum negara yang mengundang rahmat Allah Ta’ala untuk menjadi perisai mereka, sehingga yang sebaiknya terjadi adalah pihak yang berkonflik sudah sepatutnya taat terhadap perintah Tuhan, sekaligus Hukum Internasional, agar terwujud kedamaian yang sejati, dimana hal tersebut senada pula dengan motto Jemaat Ahmadiyah yakni “Love for All, Hatred for None”
Banyak poin-poin menarik dari diskusi ini yang disampaikan oleh para pembanding dari JAI.
Kunjungan pun diakhiri setelah adzan maghrib berkumandang, dimana para tamu menyampaikan keinginan untuk berkunjung kembali di kesempatan lain, sebuah ajakan yang tentunya diterima JAI Yogyakarta dengan tangan yang sangat terbuka. *
Kontributor: Rakhmat Fithri Adi