Pengungsi Ahmadiyah juga mengalami perampasan hak atas kemerdekaan beragama dalam hal hak atas jaminan rasa aman, hak atas kehidupan yang layak.
“SEJAK tahun 2001 hingga akhir 2013 tercatat setidaknya 38 kebijakan daerah yang terkait dengan pelarangan penyebarluasan ajaran Ahmadiyah di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat,” kata Sinta.
SENIN, 22 DESEMBER 2014 | 18:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Ketua Pelapor Khusus Kebebasan Beragama dari Komnas Perempuan, Sinta Nuriyah Wahid, mengkritik negara terlibat dalam hal penghakiman atas keyakinan. Sinta bercerita, pada 15 Januari 2008, negara membentuk Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) yang berwenang melakukan pengawasan terhadap keberadaan organisasi dan kelompok aliran keagamaan. (Baca: UGM Galang Dukungan Lawan Massa Anti-Film Senyap)
Bakorpakem pada 16 April 2008 menyatakan Ahmadiyah menyimpang dari Islam. “Sejak tahun 2001 hingga akhir 2013 tercatat setidaknya 38 kebijakan daerah yang terkait dengan pelarangan penyebarluasan ajaran Ahmadiyah di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat,” kata Sinta. (Baca: Jokowi Diminta Buka Segel Gereja GKI Yasmin)
Sinta juga menyesalkan kebijakan pemerintah dalam menangani pengungsi yang terkait dengan sengketa agama. “Pengungsi yang mendapat akibat intoleransi contohnya adalah Ahmadiyah dan Syiah,” kata Sinta. Ia menyatakan hal ini dalam Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional Kebebasan Beragama di Hotel Bidakara, Senin, 22 Desember 2014.
Pengungsi Ahmadiyah juga mengalami perampasan hak atas kemerdekaan beragama dalam hal hak atas jaminan rasa aman, hak atas kehidupan yang layak, serta hak atas properti dan bertempat tinggal. (Baca: 5 Lembaga Desak Jokowi Sikapi Ahmadiyah NTB)
Kantor urusan agama sebagai perpanjangan pemerintah dalam hal mengurus administrasi pernikahan juga menjadi salah satu tempat terjadinya intoleransi oleh negara. Sinta menjelaskan ada beberapa kelompok agama minoritas, salah satunya Ahmadiyah, yang merasa dipersulit dalam urusan pencatatan sipil.
“Mereka sulit mengakses layanan publik itu. Banyak kelompok Ahmadiyah yang diminta menyatakan dirinya secara Islam sebelum menikah di KUA,” ujarnya.
MITRA TARIGAN