(Catatan Mln. Sayyid Shah Muhammad Al-Jailani yang ditulis tahun 1975. Beliau wafat pada tahun 1983 di Bandung)
Saya terpaksa harus mengenang kembali peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang telah berlalu sekitar tiga puluh tahun yang lalu, waktu saya masih aktif sebagai missionary Ahmadiyah di Jawa Tengah dan melibatkan diri dalam gejolak Api Revolusi 17 Agustus 1945, di kala Bangsa Indonesia bangun serentak membela dan menegakkan haknya untuk menjadi satu bangsa yang merdeka. Untuk menyegarkan kembali ingatan, terutama yang bermanfaat bagi para generasi muda, sebaiknya diterangkan secara sepintas lalu kejadian-kejadian di belakang peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dalam bulan Agustus 1945 Amerika menjatuhkan bom atom di atas kota Hiroshima dan Nagasaki, yang memaksa Kaisar Hirohito angkat tangan kepada Sekutu dan melepaskan cengkramannya di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang telah dikuasainya selama 3 ½ tahun.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan dan serentak menyusun pemerintahan Republik Indonesia. Dalam pada itu sementara Sekutu yang diwakili oleh tentara Inggris mendarat di kepulauan Indonesia dengan tugas melucuti tentara Jepang, Belanda yang masih merasa berkuasa mempergunakan kesempatan-kesempatan itu dengan membonceng tentara Sekutu masuk ke Indonesia dengan nama NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Pemerintah RI merasa sukar untuk melanjutkan perjuangan di Ibukota Jakarta dan akhirnya dengan pertimbangan yang masak di antara para pemimpin maka diputuskan untuk memindahkan ibukota Republik Indonesia ke Yogjakarta.
Para anggota Jemaat Ahmadiyah yang tidak kalah patriotiknya, baik anggota biasa maupun pemimpin-pemimpinnya, ikut aktif bersama-sama rekan-rekan sebangsanya memasukkan diri dalam kancah perjuangan, baik secara langsung mengangkat senjata sebagai anggota BKR-TKR, ataupun lasykar-lasykar rakyat seperti TRIP dan dalam badan-badan perjuangan lainnya seperti KOWANI, KNI dan sebagainya. Ketua PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia pada waktu itu, yaitu Almarhum Bapak R. Mohammad Muhyiddin pegawai tinggi RI aktif dalam mempertahankan kedaulatan RI yang pertama di Jakarta. Pada waktu akan diadakan perayaan Ulang Tahun RI yang pertama di Jakarta, beliau diangkat sebagai Sekretaris Panitia. Bahkan beliau sendiri pada hari perayaan kemerdekaan RI pertama akan memimpin barisan pawai dengan memegang bendera Sang Saka Merah Putih di muka barisan. Akan tetapi delapan hari sebelum HUT RI yang pertama, beliau telah diculik oleh Belanda dan hingga kini hilang tak tentu rimbanya. Menurut keterangan Almarhum Pak Suwirjo dan Almarhum Pak Yusuf Yahya, ex Walikota dan Wakil Walikota Jakarta, beliau telah dibawa serdadu-serdadu Belanda ke suatu tempat di Depok dan kemudian ditembak mati. Inna lilLahi wa inna ilayHi roji’un.
Begitu juga halnya dengan saudara-saudara Maulwi Ahmad Nuruddin dan Haji Sadruddin Yahya Pontoh, mereka giat sekali mengunjungi pemusatan atau tempat-tempat tentara India di Jakarta untuk menjelaskan dalam bahasa Urdu dan Inggris kepada mereka tentang kebenaran dan kesucian perjuangan Bangsa Indonesia, hingga banyak dari tentara India menjadi insyaf dan melarikan diri dan kemudian menggabungkan diri dan berjuang dengan bangsa Indonesia. Sebelum tentara memasuki dan merebut kota Bandung, Bapak Utusan Abdul Wahid HA dan Almarhum Malik Aziz Ahmad Khan aktif sebagai penyiar RRI untuk siaran Bahasa Urdu untuk memperkenalkan perjuangan Bangsa Indonesia ke benua alit India. Orang-orang Ahmadi di Sumatra Barat, Sumatra Utara tidak ketinggalan mengambil bagian dalam perjuangan fisik melawan Belanda. Perlu kiranya menjadi catatan, bahwa ketika RI memerlukan pinjaman uang dari rakyat maka anggota Jemaat Ahmadiyah dengan spontan memberikan dengan segenap kemampuan yang ada. Tidak sedikit jumlah uang yang diberikan oleh Jemaat Ahmadiyah, umpamanya Jemaat Ahmadiyah Cabang Garut.
Perjuangan Di Yogjakarta
“Tuan akan bicara dalam bahasa apa?”, demikian Bapak Presiden Soekarno membuka percakapan setelah kami bersalaman. “Dalam bahasa persatuan Bangsa Indonesia.”, jawab saya. Atas jawaban itu tampak benar beliau sangat terkesan dan muka beliau berseri-seri. Waktu saya menyerahkan bingkisan kepada beliau saya ucapkan kata-kata demikian, “Kami menghadiahkan kitab ini kepada Bung Karno dengan khidmat dan penuh hormat dengan penghargaan agar Paduka Yang Mulia sudi mempelajari kitab ini (Ahmadiyyat or The True Islam). Di kala kena peluru kesucian karena isi kitab ini, kami harap Paduka Yang Mulia akan berani memproklamirkan keimanan kesuciannya sebagaimana Paduka Yang Mulia berani memproklamirkan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan penuh kesungguhan dan khidmat tapi sederhana itu, beliau tersentak berdiri dari duduknya lalu sambil memegang tangan saya mengucapkan kata-kata ‘Laa haula wa laa quwwata illa billah … minta dido’akan … minta dido’akan …’ Kata-kata itu diucapkan dengan berulang-ulang, sedangkan mata beliau tampak berkaca-kaca, seakan-akan air mata beliau mau keluar. Sementara kami minum-minum beliau mengatakan, “Saya sangat gembira dan terima kasih kepada tuan atas segala bantuan dan perjuangan serta darma-bakti pada bangsa dan pemerintah kami”. Baliau menganjurkan, “Hendaknya tuan pindah di Yogjakarta saja, supaya kita dapat sering bertemu dan membicarakan soal-soal agama”. Saya menjawab, “Saya akan istikharah sembahyang dulu, setelah itu baru dapat mengambil keputusan”. Setelah melaksanakan sembahyang istikharah, diambillah keputusan untuk pindah ke Yogjakarta sesuai anjuran Bung Karno. Semenjak itu mulailah saya memberikan sumbangan tenaga dan pikiran dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Konferensi Ahmadiyah Di Yogyakarta
Di Yojakarta sudah menetap beberapa saudara anggota PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia seperti Bapak R. Hidayat dan Bapak Ahmad Sarido serta sejumlah Ahmadi dari Jawa Barat, antara lain Bapak Harmaen, Bapak Dahnan Mansur, Bapak Karnaen dan lain-lain. Setelah mengadakan perundingan, bapak-bapak tersebut mengambil prakarsa untuk mengadakan konperensi Jemaat Ahmadiyah Indonesia di daerah RI bertempat di Yogjakarta. Konperensi memikirkan langkah-langkah yang seharusnya diambil oleh Jemaat pada waktu itu sehubungan dengan diterimanya perintah dari Hadhrat Khalifatul Masih II(r.a.), Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, supaya kita membantu perjuangan Republik, sedang pada waktu itu belum mendapat pengakuan dari luar. Tanah Air Indonesia masih dipersengketakan dengan Belanda. Badan itulah yang menjadi wadah bagi Jemaat untuk membantu perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia pada waktu itu.
Kontra Mr. Chiang
Atas prakarsa Dewan keamanan PBB, di masa itu dibentuk sebuah Komisi yang terdiri dari beberapa Konsul Jendral negara-negara asing yang berkedudukan di Jakarta. Anggota-anggota Komisi itu sering kali mondar-mandir ke Yogjakarta. Pada suatu ketika Konsul Jendral Tiongkok Nasionalis yang namanya Mr. Chiang, sebagai anggota Komisi tersebut mengunjungi Yogjakarta. Untuk menghormati kedatangan Konsul Jendral itu, di kepresidenan diadakan suatu pertemuan yang dihadiri oleh para menteri kabinet, pembesar-pembesar militer maupun sipil dan para terkemuka.
Dalam pertemuan itu Mr. Chiang berpidato dengan bersemangat dan dengan lagak sombong. Ia sangat mencela dan menghantam bangsa Indonesia atas kejadian-kejadian di Tangerang, Tegal, Malang dan lain-lain tempat di mana banyak penduduk China jadi korban. Setelah ia selesai berpidato, maka hadirin diberikan kesempatan untuk memberikan kata sambutan. Karena tiada seorang pun tampil ke muka dan memang keadaan tak mengizinkan dan kurang tepat untuk orang-orang Indonesia, saya memberanikan diri untuk menyambut pidato Mr. Chiang tersebut. Kurang lebih setengah jam lamanya saya kupas pidatonya itu.
Selesai memberikan sambutan, saya diserbu oleh para pemimpin bangsa Indonesia seperti almarhum Bapak Panglima Besar Jendral Sudirman, Sri Sultan Hamengkubowono IX, Dr. Sukirman, Mr. Sujarwo Condronegoro, H. Tabrani, Bung Tomo dan lain-lain. Mereka semua mengucapkan selamat dan terima kasih serta memeluk saya. Pidato saya dianggap mereka sebagai pembelaan di forum internasional. Uraian saya ini disiarkan dalam berbagai bahasa seperti bahasa Inggris, Prancis, Tionghoa, Arab, Urdu dan Bahasa Indonesia oleh IBC (Indonesian Broadcasting Corporation) dan harian-harian yang terbit di Yogjakarta.
Saya teringat juga kejadian ketika dalam bulan Oktober 1948 mendapat instruksi untuk membawa satu koper penuh uang Belanda dari pihak pemerintah pusat RI ke Jakarta untuk membantu perjuangan kaum Republik di Jakarta dan di antaranya untuk membiayai “Sari Pers” yang ada di bawah pimpinan Sastro Suwignyo di Jalan Guntur. Untuk menyelundupkan uang itu saya harus menempuh jalan-jalan yang berbahaya dan mempunyai kisah tersendiri.
Setelah Belanda melakukan aksi militer kedua, saya tetap tinggal di Yogjakarta dan terus membantu para pejuang misalnya kontak dengan pemuda-pemuda, tentara, pelajar dan anak-anak gerilyawan di luar kota Yogjakarta. Karena hal itu nyawa saya sering hampir melayang. Setelah resolusi Dewan Keamanan mengenai Perundingan RI-Belanda, di Yogjakarta terbentuk Panitia Pemulihan Pemerintah RI Pusat, yang diketuai oleh Bapak Ki Hajar Dewantoro dan saya sendiri pun menjadi anggota dalam panitia tersebut. Ketika Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa pemimpin lainnya kembali dari Bangka ke Yogjakarta, di Yogjakarta dibentuk Panitia Penyambutan untuk menyambut rombongan para pemimpin itu, di mana saya pun menjadi anggota panitia itu.
Ketika Belanda menyerahkan kedaulatan ke tangan Republik Indonesia, Bung Karno harus pindah lagi dari Yogjakarta ke Jakarta. Saya mendapat kehormatan terpilih dalam rombongan 12 orang pengantar beliau ke Jakarta dengan plane pertama GARUDA di mana saya satu-satunya yang bukan warga Negara RI. Di antara ke 12 orang itu terdapat antara lain Ki Hajar Dewantoro, Mr. Susanto Tirtoprojo, Sri Paku Alam, Raden Mas Haryoto dan lain-lain.
Kenangan Indah
Kejadian-kejadian itu menjadi kenangan yang indah dan memberikan suatu perasaan bangga karena perintah Imam Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Khalifatul Masih II (r.a.). Dengan demikian merasa sebagai suatu kewajiban yang suci untuk mempertahankan kemerdekaan dan kehormatan bangsa Indonesia, sesuai dengan sabda Rasulullah (s.a.w.): “Hubbul wathoni minal iman”, bahwa kecintaan kepada tanah air adalah sebagian dari pada iman.
Pemerintah RI/Kementerian Penerangan telah mengeluarkan Surat Penghargaan atas nama saya tertanggal 3 Agustus nomor 39/UP/Ktr dengan kata-kata antara lain:
“Pernyataan penghargaan ini didasarkan atas jasa-jasanya yang telah diberikan kepada perjuangan Bangsa dan Negara Republik Indonesia sewaktu masih harus mempertahankan dan memperkokoh negara. Ia selalu menyumbangkan pikiran dan tenaganya dengan sepenuh keyakinan untuk membuat pendapat umum internasional bahwa perjuangan RI adalah benar dan adil.”