PENGADILAN Negeri Tasikmalaya menjadi tempat sidang mengenai tindak kekerasan massa anti Ahmadiyah. Kekerasan yang terjadi pada Ahmadiyah di desa Tenjowaringin, kecamatan Salawu, kabupaten Tasikmalaya, provinsi Jawa Barat. Tempat sidang berada di Jalan Siliwangi Nomor 18, Tasikmalaya.
Agenda sidang itu adalah mendengarkan keterangan saksi. Sidang menghadirkan saksi korban, yaitu Ihin Solihin, Aben, dan Arom. Sidang dipimpin oleh hakim Ap. Bew RD, jaksa penuntut umum Billy B. S.H., dan panitera STR S.H..
Sidang menghadirkan terdakwa, yaitu Atang Rustaman bin Mahpudin, diduga terlibat serangan jalsah salanah Ahmadiyah di kecamatan Salawu, Tasikmalaya. Atang dan Kostaman pernah ditangkap dua minggu, namun dilepaskan setelah adanya demonstrasi pendukungnya.
Terdakwa dijerat Pasal 170. Itu digunakan jaksa terkait perusakan dan kekerasan bersama-sama di muka umum. Maksimal hukuman lima tahun penjara.
Selama sidang berjlana, di antaranya Hakim sempat bertanya kepada saksi Aben, “Apakah kegiatan ada izin?”
Aben menjawab, “Menurut saya kegiatan agama enggak perlu izin.”
Hakim menimpali, “Setiap kegiatan apapun yang mengundang keramaian harus punya izin.”
“Saran untuk JAI kalau undang keramaian harus ada izin keramaian karena di tempat umum,” cetusnya.
Padahal, lokasi kegiatan jalsah salanah berada di tengah kampung Ahmadi, peserta adalah warga Ahmadiyah sendiri dan mengundang beberapa tamu.
Uniknya, Hakim sempat mengungkapkan begini, “Kalau saya jadi polisi saya juga akan lari daripada mati konyol.”
Dalam penuturan seorang saksi bernama Arom, ia mengetahui bahwa yang merusak itu adalah FPI, merupakan hasil informasi dari temannya via SMS. Arom sendiri bersembunyi saat kejadian. Arom melihat penyerang datang dan pergi. Muka tidak jelas karena mereka pakai penutup kepala.
Saksi keempat adalah Dede Fauziah dari Polres Salawu. Ia berada di rumah sekira 10 kilometer dari TKP ketika terjadi penyerangan. Dede mengatakan, “Saya melihat rumah-rumah, masjid, madrasah, mobil, motor yang dirusak. Saya kumpulan 20 batu sebagai barang bukti.”
Keterangan Dede itu menjadi saksi yang terakhir untuk sesi Senin tersebut. Sidang akan diteruskan pada 6 Januari 2014, agendanya adalah mendengarkan saksi.
Kesaksian-kesaksian hari ini, bisa dicatat, belum membuktikan keterlibatan para terdakwa.
—
SEJAK tahun 2005 paska serangan terhadap markas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Bogor, warga Ahmadiyah tak lagi bisa lagi gelar acara Jalsah Salanah, ritual pengajian tahunan di mana warga Ahmadiyah dan tamu undangan mempromosikan ajaran Islam yang damai.
Sejak saat itu jalsah-jalsah dilakukan di tingkat lokal, pun terkadang secara sembunyi, kucing-kucingan dengan jaringan preman berjubah. Polisi pada berbagai kasus justru di garda terdepan membubarkan acara Jalsah Salanah.
Awal tahun 2013, Ahmadiyah di Jawa Barat bagian timur berkumpul di Tenjowaringin, Salawu tepat diperbatasan Kabupaten Tasikmalaya dan Garut, tak jauh dari Kampung Naga. Selama tiga hari hari mereka mengadakan jalsah salanah lokal. Ada empat ribu orang berkumpul. Polisi juga berjaga. Meski sempat ada ancaman hingga hari kedua tak ada insiden berarti. Tidak ada yang membayangkan ada kelompok berani menyerang desa dengan empat ribu warga Ahmadiyah.
Di malam terakhir, pasukan polisi yang berjaga pulang, tinggal beberapa polisi lokal dan pemuda Ahmadiyah berjaga. Tengah malam itu, ratusan orang datang, pakai sepeda motor. Wajah dan suara mereka tak dikenal oleh orang lokal, plat nomer motor pun berasal dari daerah di luar Tasikmalaya dan Garut. Bahkan di jalan raya, lima ratus meter turun jalan berbatu dari lokasi ada rombongan bermobil lebih besar.
Selama beberapa menit orang-orang dengan penutup wajah ini datang, merusak rumah-rumah warga Ahmadiyah. Polisi larang pemuda Ahmadiyah yang berjaga untuk bertahan. Polisi suruh pemuda mundur, mereka mundur berharap Polisi punya rencana untuk atasi itu. Polisi diam saja, dan pasukan preman ini lalu ngeloyor pergi tanpa sisa.
Paginya Polisi sudah turun barak, bertruk-truk Brimob lengkap dengan senjata laras panjang penuhi jalan-jalan kampung Ahmadiyah. Pemburuan pelaku segera dilakukan, yang ditangkap orang lokal kampung sebelah. Tindakan ini bikin tegang, baru saja desa Tenjowaringin selesai memilih kepala desa, yang “menang” adalah orang Ahmadiyah. Ada satu pesaing kuat berasal dari kampung yang sama dengan orang yang ditangkap polisi. Persoalan jadi meruncing bawa-bawa dendam politik lokal.
Tokoh-tokoh Ahmadiyah di Tenjowaringin diancam. Kali ini bukan dari preman berjubah tapi dari kampung sebelah. Kontur kampung berbukit-bukit dan rumah berjarak jarang. Munawarman, ketua pemuda Ahmadiyah setempat khawatir orang-orang bisa muncul tengah malam dan serang rumahnya. Ia dan keluarga pergi ke Garut selama beberapa minggu.
Setelah ancam tokoh Ahmadiyah supporter pelaku gelar demonstrasi, tuntut pembebasan pelaku yang ditangkap. Polisi lepaskan. Ancaman pada tokoh Ahmadiyah mulai surut. Intel Polisi dekati tokoh Ahmadiyah di Tenjowaringin. Tawarkan kesepakatan yang diajukan oleh kelompok pelaku. Kalau Ahmadiyah Tenjowaringin tidak memperpanjang kasus ini–baik pidana atau perdata–dari pihak pelaku berhenti mengancam orang-orang yang ditarget macam Munawarman.
Kasusnya surut selama setengah tahun, tidak ada kabar. Hingga akhir November 2013, ada kabar Jaksa sudah siap menggelar sidang. Senin, 16 Desember sidang perusakan dimulai dengan dua tersangka.
Sidang nampaknya bakal berjalan cepat. Di sesi kedua (22 Desember) Jaksa siap menghadirkan saksi-saksi memberatkan. Umumnya, jika terdakwa mengajukan pembelaan, proses pembelaan dan jawaban jaksa bisa makan dua hingga empat kali sidang.
Dengan pola cepat seperti ini, bisa diduga, tuntutan yang diberikan Jaksa ringan, di bawah enam bulan dan seringkali diganti dengan hukuman percobaan.
Sidang-sidang berkaitan dengan kelompok muslim Ahmadiyah selalu merugikan kepentingan korban. Dalam berbagai kasus perusakan, seperti kasus Ahmadiyah Cianjur 2005, Ahmadiyah Bogor 2010, Ahmadiyah Cianjur 2011, dan Ahmadiyah Bandung 2012, pelaku selalu dihukum di bawah enam bulan. Banyak yang langsung lepas potong masa tahanan begitu hakim ketok palu.
Alih-alih pengadilan malah krimininalisasi korban. Di kasus Cikeusik, tiga muslim Ahmadi dibantai sadis, pelaku dihukum enam bulan sementara Deden Sudjana, muslim Ahmadiyah juga kena vonis enam bulan karena dianggap melawan petugas.
Di kasus Ahmadiyah Cisalada, Bogor keseimbangan pengadilan lebih kacau. Pelaku serangan tidak pernah dipenjara tetapi Ahmad Nuryamin, Muslim Ahmadiyah divonis delapanbelas bulan penjara. Lepas dari lapas, ia pilih transmigrasi ke luar pulau Jawa.
Dalam tiap serangan itu, ada puluhan rumah dibakar dan dirusak, masjid-masjid yang hancur dan trauma yang terus membekas pada korban. Pengadilan biarkan pelaku bebas, pemerintah tidak pernah mengganti kerugian para korban. Rumah dan masjid yang rusak jadi tanggungan korban untuk bangun ulang, plus merawat keluarga korban yang meninggal atau di penjara.
Makanya, sidang-sidang macam ini butuh perhatian khusus. Komisi Kejaksaan harus awas mencermati gugatan dan bukti yang disodorkan Jaksa Penuntut Umum. Komisi Judisial harusnya mengecek bagaiamana hakim menjalankan opera sidang dengan suara koor dari pengungjung yang leluasa mengancam korban.
Kata “Anjing, Kafir atau Bunuh” sudah biasa jadi ‘paduan suara’ di sidang macam ini. Hingga sekarang, tidak ada jaksa yang diperingati, hakim diskors, atau pengunjung dikeluarkan.(DAUS/6211/DMX/WA)
—
Gambar-gambar pasca penyerangan: http://t.co/qYkOxm0Oy8.
Video kesaksian korban serangan: http://t.co/u8f1SbvO6y.