Semarang – Suasana akrab terlihat menjelang buka puasa bersama di Kota Semarang. Kamis sore (14/4), Jemaat Ahamdiyah Cabang Semarang bersama PELITA (Persaudaraan Lintas Agama) mendapat undangan terbatas dari Romo Aloysius Budi Purnomo, untuk berbuka puasa bersama Ibu Nyai Hj. Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid.
Acara diselenggarakan di Pastoran Johannes Maria UNIKA Soegijapranata Semarang. Meskipun hanya terbatas untuk 30 orang undangan, namun protokol kesehatan tetap dilaksanakan secara ketat. Bahkan, sebelum acara dimulai, semua tamu yang hadir diwajibkan untuk melakukan rapid tes. Hadir dari Jemaat Ahmadiyah cabang Semarang adalah Mln. Saefullah Ahmad Farouk dan Mas Roy Atta’ul Djamil selaku perwakilan pengurus cabang.
Ketika membuka acara, Romo Aloysius Budi Purnomo memmperkenalkan beberapa tamu undangan. Selanjutnya, Ibu Nyai Hj. Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid menyampaikan beberapa patah kata hingga menjelang azan maghrib dan berbuka puasa.
“Ada formula yang hebat untuk diterapkan di masa sekarang,” ucap Ibu Nyai, “yaitu yang pertama adalah 5 rukun Islam. Dilanjutkan dengan 5 rukun kebangsaan yaitu kelima sila dalam Pancasila. Berikutnya, tambahkan dengan rukun kesehatan yaitu menerapkan 5M protokol kesehatan.”
Setelah menikmati hidangan berbuka dan salat maghrib, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dan ramah tamah. Sebuah prolog disampaikan oleh Romo Budi, “PELITA lahir pasca kasus penolakan buka puasa bersama dengan Ibu Nyai pada Juni 2016.”
Romo Budi memberikan kesempatan bertanya kepada 3 orang, yaitu KH. Taslim Syahlan (Ketua FKUB Jateng), Mas Ahmad Sajidin (Koordinator GUSDURian Semarang), dan Mas Wawan selaku Koordinator PELITA (Persaudaraan Lintas Agama) Semarang.
“Sekarang ini, orang mulai lebih banyak yang percaya kalau saya adalah muslim daripada kristiani.” Ujar Wawan ketika mendapat kesempatan berbincang. Beliau juga melanjutkan dengan bercerita pengalaman ketika mendampingi KH. Taslim Syahlan, KH. Muhammad Abdul Qodir (Pengasuh Ponpes Roudhotus Sholihin Demak) dan Habib Umar Al-Attas menghadiri acara Waisak di Bukit Kasappa. Banser yang turut mengawal acara tersebut, bahkan ikut mencium tangan Mas Wawan yang hanya mendampingi para kiyai.
Mendengar cerita tersebut, Ibu Nyai pun sejenak melempar gurau, “Sebenernya njenengan itu NU jurusan Kristen atau Kristen jurusan NU?”
Para tamu yang hadir spontan tertawa riuh. Suasana semakin akrab tanpa sekat perbedaan keyakinan dan bendera organisasi. Dari setiap statement di dalam acara tersebut, memberikan makna tersirat bahwasanya iklim kerukunan antar umat yang beragam harus dihidupkan di setiap tempat di Indonesia, khususnya di Kota Semarang.
Kontributor : Rahma Rosadi