Oleh Ricky A. Manik*
DALAM sebuah status Facebook saya pernah menuliskan tentang pendidikan kita yang terancam pada dua sistem besar, yaitu kapitalisme dan totalitarisme religius. Status itu kemudian dikomentari oleh beberapa teman, tetapi ada satu komentator yang menarik perhatian saya untuk kemudian saya tuliskan dalam esai ini. Komentator itu adalah seorang guru, bagian dari sistem pendidikan itu, yang dibeberapa komentarnya tidak mengidealkan dirinya sebagai seorang guru dengan konstruksi pemikirannya. Sebagai pendidik yang memiliki cara berfikir demikian bagi saya miris karena melalui pendidikan inilah peradaban manusia yang baik dapat dibentuk. Pendidik menjadi tonggak penting dalam menciptakan produk-produk didikan yang mandiri, bertanggung jawab, manusiawi, berjiwa sosial yang tinggi, dan bermental baik.
Dalam hal ini saya tidak akan menyalahkan teman saya itu, sebab ada yang lebih esensial yang menjadi pertanyaan, mengapa teman saya itu memiliki cara berfikir seperti itu? Apakah ini mengartikan bahwa ada sistem yang sekarang sedang bekerja pada sistem pendidikan kita yang menghasilkan produk-produknya hari ini. Tetapi paling tidak, sebagai pribadi yang pernah mengecap dunia akademisi dan berprofesi sebagai pendidik mesti juga memiliki kesadaran intelektual dan kritis terhadap fenomena yang ada disekitar kita. Kesadaran intelektual itu adalah kesadaran kita untuk mau terus mengasah cara berfikir, menggali terus pengetahuan-pengetahuan dan meng-upgrade-nya dalam kehidupan sehari-hari. Singkatnya, kesadaran intelektual adalah mentalitas ilmiah. Sikap pribadi inilah yang sesungguhnya mesti dilakukan ketika sistem dan situasinya tidak membawa pada keuntungan bagi kita untuk berkembang dan maju. Dengan memiliki mentalitas ilmiah inilah kita dapat maju dan tidak terjebak pada kebodohan, seperti di bidang politik dan bidang lainnya.
Produk Pendidikan Kita Hari Ini
Kembali pada bukti produk pendidikan kita hari ini. Akhir-akhir ini kita sering mendengar carut-marut persoalan bangsa ini yang terus mendera kita seperti korupsi, kemiskinan, pertikaian antarwarga/etnis, antarsiswa, perceraian, perusakan-perusakan yang dilakukan oleh ormas-ormas atas nama agama dan lain sebagainya. Seperti tak habis-habisnya yang terus saja terjadi berulang-ulang. Setiap tahun kelulusan sekolah selalu saja ada tawuran antarsiswa atau bunuh diri siswa. Diskriminasi-diskriminasi bagi kaum yang identitasnya tidak diakui oleh agama dan negara, seperti kaum syiah, ahmadiyah, dan kaum LGBT. Negara dan pemerintah yang seharusnya berperan dalam penyelesaian masalah tersebut malah kian korup mencuri hak-hak rakyat yang notabene berada digaris kemiskinan, yang memiliki hak untuk sekolah, fasilitas dan pelayanan kesehatan dan publik lainnya, serta hidup layak di negerinya sendiri. Berita-berita tentang anak membunuh ibu kandung, ayah memperkosa anaknya, bayi-bayi yang lahir tanpa dikehendaki orang tuanya, tipu-menipu dengan berbagai modus, premanisme yang berkedok organisasi formal, dan banyak lagi persoalan-persoalan lain yang menandakan manusia tak lagi menghargai manusia lainnya.
Contoh lain yang barangkali dapat kita temui di dalam kehidupan masyarakat kota Jakarta atau kota-kota lainya, di mana masyarakat kita telah teratomisasi sedemikian rupa sehingga orang-orang hanya sibuk dengan urusan-urusan privat mereka terkait dengan akumulasi kekayaan atau mempertahankan hidup mereka dengan kebutuhan-kebutuhan dasar belaka. Hal ini tidak bisa disalahkan juga mengingat kondisi hari ini menggiring kita untuk memprioritaskan keselamatan diri dan keluarga sebagai yang utama. Hal ini tentu saja menggerus sistem kehidupan bersama dalam bentuk solidaritas sosial dan keadilan, sebab bukan lagi sebagai prioritas utama. Orang-orang menjadi tidak peduli lagi ketika terjadi suatu ketidakadilan, orang-orang tidak peduli lagi ketika ada orang lain yang menderita bukan karena keinginannya atau kesalahannya, melainkan karena terlahir dengan kelas sosial yang tak tepat, dan orang-orang pada akhirnya menganggap kejahatan dan penderitaan sebagai suatu biasa. Seorang filsuf perempuan asal Jerman Hannah Arendt menganggap bahwa kejahatan hari ini menjadi suatu yang banal. Kejahatan bukan lagi dikenali sebagai kejahatan, tetapi sudah menjadi sebagai rutinitas sehari-hari.
Ketika manusia telah kehilangan sisi kemanusiaannya, manusia yang tidak lagi dihargai dirinya sebagai makhluk yang tinggi derajatnya. Kita melihat manusia telah kehilangan humanismenya. Inilah wajah-wajah atau produk-produk pendidikan kita, yang menghasilkan manusia-manusia yang tidak lagi menghargai hakekat kemanusiaan. Pendidikan kita hari ini memang tidak mengajak dan mengajarkan tentang nilai-nilai kemanusiaan itu. Manusia kehilangan esensinya sebagai makhluk yang beradab. Melihat persoalan bangsa di atas, maka saya berani mengatakan bahwa pendidikan kita telah gagal memberikan sumbangan pada proses humanisasi atau memanusiakan manusia. Pendidikan seharusnya menjadikan kemanusiaan sebagai dasar bagi sistem pendidikannya.
Ancaman Bagi Sistem Pendidikan
Seperti yang saya kemukakan diawal tulisan ini bahwa sistem pendidikan kita terancam oleh dua sistem ekstrem, yaitu totalitarisme religius atau fundamentalisme agama dan kapitalisme atau fundamentalisme pasar. Pada sistem totalitarisme religius, kita digiring pada ketaatan yang buta sehingga kita tidak mampu untuk berfikir mandiri. Agama menjadi sesuatu yang absolut, yang tak perlu dipertanyakan lagi. Begitu pula dengan sistem kapitalisme yang memiliki logika mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Ia bersinergi dengan sistem globalisasi yang menganut pandangan bahwa manusia harus mampu bersaing secara ekonomi. Mereka harus bekerja di dalam sistem global yang modern dan berteknologi tinggi. Mereka seolah dituntut untuk memiliki kemampuan yang tepat dan bagaimana hidup efisen untuk mencapai keberhasilan ekonominya. Sistem-sistem tes dan standar-standar bahan ajar bukan malah membebaskan anak didik dalam menentukan dirinya sendiri melainkan mencekik jiwa mereka.
Contoh lain yang dapat kita lihat dari sistem totalitarisme religius adalah perilaku-perilaku ormas yang berkedok agama yang begitu berkuasanya dalam melakukan penghakiman sendiri karena dianggap menyimpang dari norma-norma agama. Negara dan aparatusnya tak dapat berbuat banyak ketika dalil agama atau ideologi tertentu dijadikan acuan dalam tindakan tersebut. Inilah yang mendorong manusia pada ekslusivisme diri dengan mengabaikan identitas orang lain. Ketika orang lain itu berbeda dari norma-norma dan nilai-nilai di dalam keyakinan dan kultur kita, maka dengan gampangnya kita me-label-kannya sebagai yang ‘menyimpang’, ‘sesat’, ‘kafir’, ‘abnormal’, ‘PKI’, dan berbagai stigmatisasi yang dilekatkan pada diri orang tersebut. Mereka itu berhak disingkirkan, dijauhi, atau mungkin dilenyapkan karena dianggap akan merusak keyakinan, moral, dan kultural. Efek dari sistem ini adalah kepatuhan dan tunduk akan ideologi tertentu dengan doktrin-doktrin religiusnya yang eksklusif dan tradisional.
Sedangkan pada sistem kapitalisme mencengkram orang pada ketidaksadaran diri untuk menjadi konsumtif dan hanya sibuk mengumpulkan uang. Sistem ini menciptakan manusia-manusia yang menjadikan uang dan daya beli sebagai ukuran kemanusiaan seseorang. Kedua sistem ini jelas menjajah kebebasan kita dan membawa penderitaan dalam hidup.
Tujuan utama pendidikan menurut Chomsky adalah menciptakan manusia-manusia yang bebas, yang mampu berhubungan satu sama lain dalam situasi dan kondisi yang setara. Memang, pendidikan adalah suatu proses produksi, tetapi bukan produksi barang cetakan yang ketat, melainkan produksi manusia-manusia bebas. Pengertian bebas di sini bukan berarti sebebas-bebasnya, tetapi juga memproduksi warga negara yang bijak. Selain bebas berkarya dalam menentukan kehidupannya, sebagai warga negara juga patut patuh pada hukum yang berlaku.
Jika hari ini kita tak juga menyadari ancaman dari kedua sistem ini, maka masa depan produk pendidikan kita akan semakin menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan kita hanya akan menciptakan manusia-manusia yang memiliki pola pikir ingin mendominasi dan mengumpulkan harta serta kuasa semata. Seperti dalam bahasa Adam Smith yang dikutip oleh Chomsky, yakni pendidikan yang menjadikan manusia sebagai penguasa dari manusia lainnya, yang rakus, serta tidak ingin membagikan apapun untuk siapapun, kecuali itu memberikan keuntungan pada dirinya.
(Penulis adalah peneliti pada RODA culture and education)