SEKIRANYA, kepadanya diajukan masalah mana yang benar: Sunni, Syiah, atau Ahmadiyah, saya mengira Quraish Shihab akan menjawab sama: “Pertanyaan itu sudah usang! Masih banyak persoalan besar yang lebih penting yang harus dibicarakan!” Persoalan besar itu ialah kerjasama Sunni-Syiah-Ahmadiyah bagi kemajuan umat manusia!
DPP IMMIM baru-baru ini melaksanakan diskusi bertema “Makna dan Urgensi Hijrah”, dengan menghadirkan Profesor Quraish Shihab sebagai pembicara tunggal. Setelah di IMMIM, UIN Alauddin melaksanakan seminar bertema “Nursing Forensic” yang menghadirkan juga Quraish Shihab sebagai salah seorang dari tiga pembicara dalam seminar tersebut.
Pada seminar di UIN Alauddin, Quraish Shihab antara lain menjelaskan bahwa pada dasarnya ada tiga pendapat di kalangan ulama Islam mengenai boleh tidaknya otopsi (bedah mayat) dilakukan. Pendapat pertama menegaskan bahwa tindakan otopsi dilarang oleh agama. Alasannya adalah hadis Nabi saw: “Mematahkan tulang mayat sama dengan mematahkan tulangnya saat dia hidup.” (HR Abu Dawud, sahih). Pendapat kedua membolehkan tindakan otopsi terhadap mayat non muslim dan haram terhadap mayat muslim. Alasannya juga dari hadis: “Memecahkan/mematahkan tulang mukmin yang sudah mati, sama dengan memecahkan/mematahkannya saat dia hidup.” Pendapat ketiga membolehkan otopsi klinis dan otopsi forensik tanpa mempertimbangkan agama mayat yang diotopsi, baik muslim maupun non muslim.
Setelah menunjukkan ketidaktepatan pendapat pertama, Quraish Shihab juga menolak pendapat kedua dengan mengatakan, bahwa “tidaklah wajar membedakan nilai kemanusiaan manusia berdasar agama dan kepercayaannya, bangsa atau sukunya, keshalehan atau kedurhakaannya. Kehormatan manusia dianugerahkan atas dasar kemanusiaannya, bukan selain itu.” Quraish Shihab jelas menyetujui pendapat ketiga, dengan menambahkan pula kebolehan otopsi anatomis bagi keperluan pengembangan ilmu.
Sejernih penjelasannya tentang otopsi dalam pandangan Islam, Quraish Shihab, pakar tafsir itu, menjernihkan pula salah persepsi dari antara pemuka Islam menyangkut persoalan Sunni-Syiah, pada diskusi di IMMIM. “Sudahlah. Itu sudah usang. Perbedaan (Sunni dan Syiah, pen.) Itu hanya dibuat-buat. Masih terlalu banyak persoalan besar yang mesti kita pikirkan,” kata Quraish Shihab pada diskusi di IMMIM. Selanjutnya dia berkata: “Perdebatan antara Sunni dan Syiah hanya akan menghabiskan waktu dan tenaga. Intinya boleh berbeda dalam hal mazhab, tetapi tidak dalam akidah Islam.” Quraish Shihab membuat analogi tentang bagaimana Nabi Muhammad membimbing ummat. “Nabi Muhammad tidak lagi bertanya lima tambah lima sama dengan berapa? Namun model pertanyaannya ialah: 10 itu berapa tambah berapa?” Dengan model demikian, jawabannya bisa bermacam-macam. Bisa 5+5, atau 6+4, 3+7, dst, namun hasilnya tetap 10. Begitulah kita memahami perbedaan mazhab yang terjadi di kalangan umat.
Meski Quraish Shihab tidak memberi contoh persoalan besar yang lebih penting untuk dipikirkan ketimbang perbedaan antara Sunni dan Syiah, bisa diduga bahwa kerjasama yang erat Sunni-Syiah adalah persoalan besar yang lebih harus diperhatikan. Memang sudah terlalu banyak waktu dan biaya yang telah dipakai guna berdebat tentang Sunni-Syiah. Waktu dan biaya itu menjadi mubazzir dan sia-sia karena perdebatan tentang mana yang benar, Sunni atau Syiah. Sunni-Syiah adalah produk sejarah umat Islam. Mustahil menafikannya, selain memanfaatkan kelahiran keduanya.
Kenapa Quraish Shihab tidak melengkapi pernyataannya bahwa perdebatan Sunni-Syiah sama usangnya dengan perdebatan tentang Ahmadiyah, sekalipun Ahmadiyah merupakan mazhab Islam yang baru berusia sekitar seabad? Namun, satu hal yang bisa saya nyatakan dari pernyataan Quraish di atas, ialah bahwa mereka yang masih suka dan tekun mempertentangkan tiga mazhab besar Islam itu, pada hakikat berpikiran usang atau ketinggalan zaman.
Dari sisi ini, pada hemat saya, Quraish Shihab terlambat dua langkah. Pertama, “lupa” Ahmadiyah sebagai mazhab Islam “terbaru” yang melengkapi mazhab Islam Sunni dan Syiah yang sudah lama hadir. Kedua, mendorong ketiga mazhab besar Islam itu ke dalam kerjasama bagi kemajuan umat dan dunia Islam. Patut dicatat, ada sekitar 150 juta orang penganut Islam Ahmadiyah di dunia ini.
Sebenarnya, kalau kedua langkah itu disikapi secara positif, maka kemungkinan lahirnya mazhab-mazhab Islam yang baru, tidak akan menimbulkan kejutan bagi generasi umat Islam di masa depan. Terkejut dengan lahirnya mazhab baru Islam yang “berbeda”, itu juga adalah sikap yang usang. Saya setuju dengan Quraish Shihab untuk meninggalkan sikap usang, yang mempertajam dan memanas-manaskan perbedaan antara mazhab-mazhab Islam yang lahir sebagai akibat respons kaum muslimin atas perkembangan zaman dan sejarahnya. Saya mencoba mengerti, Quraish Shihab tidak menyebut Ahmadiyah saat diskusi tersebut, boleh jadi karena peserta yang berdiskusi dengannya tergolong berpikiran usang, hanya mempersoalkan Syiah yang dianggapnya sesat; apalagi Ahmadiyah lebih sesat, sehingga tidak muncul dalam diskusi, yang saya memang tidak hadir. Sekiranya kepadanya diajukan masalah mana yang benar: Sunni, Syiah, atau Ahmadiyah, saya mengira Quraish Shihab akan menjawab sama: “Pertanyaan itu sudah usang! Masih banyak persoalan besar yang lebih penting yang harus dibicarakan!” Persoalan besar itu ialah kerjasama Sunni-Syiah-Ahmadiyah bagi kemajuan umat manusia!
Umat-umat lain bergerak ke depan meraih satu persatu kemajuan mereka. Umat-umat lain membawa bangsa dan negeri mereka ke tingkat peradaban yang tinggi. Umat Islam, dengan pikiran usangnya masih memelihara perseteruan sesama umat Islam sendiri. Bahkan, juga masih mempersoalkan bangsa dan negaranya sendiri. Mungkin juga menyemangati diri umat untuk berhijrah dari negerinya sendiri yang ia benci, karena memandang nasionalisme (cinta Tanah Air) adalah keberhalaan. Pikiran usang telah membuat umat Islam kehilangan arah dan kehilangan cinta kepada sesama muslim yang berbeda mazhab. Quraish Shihab sudah menegaskan bahwa perdebatan tentang perbedaan mazhab adalah pikiran usang yang telah membuat umat Islam (ulamanya) lalai dari menangani persoalan-persoalan besar di sekitarnya.(*)
—
Oleh M. Qasim Mathar, Guru Besar UIN Alauddin
Editor: Aldy. Sumber: Tribun-Timur.com (rilis: 21 November 2013, 20.58 WIB; akses: 22 November 2013, 16.33 WIB). Sumber gambar ilustrasi: DevianArt (rilis: 25 Agustu 2013; akses: 22 November 2013, 17.25 WIB).