JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sepanjang 2013, jumlah pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan atau intoleransi di Indonesia masih tinggi.
Ada 245 kasus atau peristiwa. Terdiri 106 peristiwa (43 persen) melibatkan aktor negara dan 139 peristiwa (57 persen) dilakukan oleh aktor non negara.
Sementara, total jumlah tindakan sebanyak 280 dimana 121 tindakan (43 persen) dilakukan oleh aktor negara dan 159 tindakan (57 persen) dilakukan oleh aktor non negara.
Hal tersebut disampaikan dalam laporan tahunan kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) atau intoleransi tahun 2013 yang diadakan oleh The Wahid Institute (WI) di Balai Kartini, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Senin (20/1).
Peluncuran laporan tahunan dan seminar dihadiri oleh Direktur WI Yenny Zanuba Wahid, Kepala Biro Penerangan Masyarakat – Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Republik Indonesia (Karopenmas Divhumas Polri) Brigadir Jenderal Polisi Boy Rafli Amar, Imadadun Rahman dari Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), M. Subhi Azhari (Peneliti The Wahid Institute), dan M. Chairul Amam (HRWG).
Dalam laporannya WI menyimpulkan masih tingginya angka pelanggaran dan intoleransi di Indonesia karena tidak ada kemauan dan keberpihakan politik dari para pemimpin di segala sektor.
Hal tersebut dinilai karena tiadanya visi kebangsaan para pemimpin yang memahami bahwa penghormatan terhadap hak kolektif minoritas seharusnya menjadi bagian dari identitas bangsa berdasarkan Bhinneka Tunggal Ika.
The Wahid Institute juga mencatat beberapa hal dari laporan tersebut sebagai bahan rekomendasi untuk Pemerintah diantaranya :
- Mendesak kepada Presiden segera merealisasikan janji-janji untuk menegakkan konstitusi dan hukum menjamin setiap warga negara dengan melindungi hak dan kebebasannya dalam beragama.
- Mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk terus mengawasi pemerintah dalam merealisasikan janji-janji tersebut.
- Dan meminta kepada DPR untuk melakukan perubahan terhadap sejumlah Undang Undang yang masih bersifat diskriminatif dan melanggar hak dan kebebasan beragama seperti UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 dan UU tentang Organisasi Kemasyarakatan.
- Mendesak Kementerian Dalam Negeri menjalankan fungsi pengawasan kepada Pemerintah Daerah yang menerapkan kebijakan tanpa melihat azas keadilan, kebhinnekaan dan kesetaraan.
- Mendesak Polisi Republik Indonesia (Polri) lebih tegas dalam penegakan hukum terhadap siapapun yang melakukan pelanggaran apapun agama dan keyakinannya.
- Meminta kepada Pengadilan Negeri, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi lebih serius menegakkan hukum dalam melindungi kelompok minoritas yang selama ini cenderung menjadikan minoritas dan pihak yang lemah dijadikan sebagai korban.
- Mendesak kepada penyelenggara pemilu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan jajarannya membuat pedoman untuk mencegah penyalahgunaan proses dan atribut yang bertujuan mendiskriditkan agama atau kelompok lain.
- Mengingatkan kepada seluruh partai politik (Parpol) ikut serta dalam memperkuat demokrasi dan penghargaan terhadap keragaman dengan memberikan bimbingan dan pengawasan kepada seluruh kadernya untuk tidak menyebarkan kebencian kepada kelompok lain.
Penulis: Dedy Istanto; editor: Bayu Probo