Kompleks tersebut meliputi 21.000 meter persegi, dan diharapkan mampu menampung lebih dari 15.000 orang, memberikan ruangan untuk memisahkan jalan antara wanita dan pria untuk ke tempat ibadah, serta menyediakan pendeteksi keamanan seperti tempat scanning dan mesin X-ray.
INGGRIS – Pada bulan Juni, sebuah perusahaan penyedia jasa arsitektur Inggris mengumumkan rencana mereka untuk membangun kembali kompleks masjid besar di London bagian Selatan. Rancangan tersebut menjadi sebuah pernyataan bagaimana masjid menjadi sebuah subjek yang sensitif di Barat.
baca juga: [feed url=”http://warta-ahmadiyah.org/tag/inggris/feed/” number=”3″]
Masjid adalah jangkar bagi komunitas muslim, sekaligus bertindak sebagai penangkal petir kebencian dan kecurigaan. Swiss, Misalnya, dalam referendum 2009 telah melarang pembangunan menara masjid. (Sebagian besar masjid setidaknya memiliki satu menara, meskipun Al-Qur’an tidak secara ketat mengharuskannya). Hasilnya pun luar biasa, 57% dan 22 dari 26 daerah menyetujuinya, meskipun ada penentangan dari pemerintah, poster kampanye anti menara secara eksplisit mengaitkan arsitektur masjid dengan terorisme.
Beberapa tahun yang lalu, sebuah rencana untuk membangun Menara pada masjid juga menghadapi halangan dan menjadi kontroversi di kota Belfast, Athens dan Catalonia. Di London sendiri, lebih dari 250.000 masyarakat ikut menandatangani petisi pada tahun 2007 yang ditujukan untuk menolak rencana pembangunan komplek masjid baru yang cukup luas di Abbey Mills, berdekatan dengan bekas lokasi olimpiade pada tahun 2012. Skema dijuluki “mega-mosque” akhirnya dibatalkan pada akhir tahun lalu setelah setelah melewati hampir dua tahun tahap pembahasan dan perencanaan, ditengah-tengah klaim yang tak berdasar bahwa pendanaan masjid tersebut berasal dari kelompok yang terkait dengan teroris.
Masjid Baitul Futuh, yang berada di Morden, London selatan, yang memiliki kapasitas untuk 10.000 jamaah adalah kristalisasi semua isu ini. Seperti kebanyakan masjid-masjid di Eropa, pada awalnya bangunan tersebut tidak dibangun untuk difungsikan sebagai sebuah masjid. Bangunan aslinnya, yang dibeli pada tahun 1996, merupakan sebuah pabrik pembotolan minuman di sebidang tanah yang berhimpitan sangat dekat dengan stasiun kereta bawah tanah Morden.
Bahkan setelah penggunaan hingga sekian lama, bangunan masih belum dapat secara maksimal dalam menunjukkan fungsi barunya. Dimana cerobong asap diubah menjadi Menara masjid, bagian depan masjid masih tetap menghadap langsung ke jalan, serta rute menuju ruang shalat di belakang gedung, sebelumnya masih terpapar dengan udara luar. Hingga pada bulan September tahun 2015 banyak bagian masjid yang dimusnahkan oleh api dalam sebuah musibah kebakaran (diduga merupakan kasus pembakaran), dan hingga beberapa bulan sejak kejadian tersebut, dilakukan berbagai penanganan darurat: Tenda-tenda dipasang di lapangan, dan kantor bagian administrasi dipindahkan sementara ke pondok-pondok semi permanen.
Meskipun demikian, rencana untuk perbaikan masjid menjadi pernyataan yang penuh optimisme. Masjid Baitul Futuh adalah pusat Jemaah Muslim Ahmadiyah global (sebuah aliran muslim yang dianggap sesat oleh banyak aliran muslim lainnya), dan singkatnya bangunan akan tampak sesuai untuk mencerminkan status tersebut, jelas Nasser Khan, wakil presiden dari komunitas tersebut di UK. Pelaksanaan shalat jumat pun selalu disiarkan untuk jemaat Ahmadiyah lainnya di seluruh dunia, gedung tersebut juga sering menjadi tuan rumah dalam kunjungan-kunjungan sekolah, ujian-ujian lokal, pertemuan antar-keyakinan, sekaligus kunjungan para pejabat.
Kompleks tersebut meliputi 21.000 meter persegi, dan diharapkan mampu menampung lebih dari 15.000 orang, memberikan ruangan untuk memisahkan jalan antara wanita dan pria untuk ke tempat ibadah, serta menyediakan pendeteksi keamanan seperti tempat scanning dan mesin X-ray. Pada saat yang sama, hal yang penting adalah desainnya tampak terbuka dan ramah bukannya tampak tertutup. “Moto kita,” jelas Tuan Khan, “adalah love for all, hatred for none, dan kami menginginkan hal itu tergambar dalam masjid tersebut.”
Untuk menciptakan efek tersebut, pihak arsitek, John McAslan & Partners (yang telah berpengalaman dalam merenovasi pusat budaya di Doha, stasiun King’s Cross di London, serta pembangunan ulang Iron Market di Haiti yang dicintai banyak orang) akan menafsirkan bentuk rancangan motif Islami secara tradisional yakni dalam bentuk tabir-tabir. Rancangan dari bagian depan adalah bentuk megah dan memiliki tiang-tiang, tapi tersusun atas lapisan yang rumit yang disusun atas berbagai tabir, sehingga peralihan dari wilayah ruangan publik menuju area ruang pribadi akan dapat dirasakan secara bertahap, bangunan juga akan diberi beragam lapisan lubang-lubang ventilasi cahaya yang memungkinkan masuknya bias cahaya alami hingga jauh ke dalam ruangan.
Selain menunjukkan makna keterbukaan, rancangan baru juga berusaha untuk lebih demokratis. “Setiap orang akan masuk kedalam ruangan yang sama di awal,” jelas Fanos Panayides, direktur dari proyek utama di John McAslan & Partners, “Sebelum akhirnya berpisah ke jalur ruang ibadah masing-masing.” Demi menyesuaikan dengan cuaca yang ada di Inggris maka jalur tersebut akan diberi penghalang dari paparan udara luar.
Akan sangat disayangkan jika kemunculan isu-isu sentimen anti-Islam di Eropa akhir-akhir ini akan menjadi hambatan fisik pada perancangan masjid ataupun bertambahnya protes terhadap pembangunan masjid. Inggris menjadi rumah bagi komunitas Ahmadiyah setelah kelompok agama tersebut menderita akibat penganiayaan di Pakistan. Jika rencana tersebut disetujui oleh dewan lokal, maka Baitul Futuh tidak hanya bisa memberikan titik fokus positif untuk masyarakat lokal, tapi sekaligus menjadi perwujudan nyata terhadap prinsip Eropa Barat dalam menghormati kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia.
Sumber : Times of Ahmad
Alih bahasa: Lisnawati
Editor: Irfan S. Ardiatama