Bagi sebagian besar masyarakat dunia, malam tahun baru biasa dilewati dengan berbagai keriaan dan pesta bertabur gemerlap kembang api. Namun, sejak tiga tahun yang lalu, JAI Yogyakarta memiliki cara yang berbeda melewatinya. Menuju salah satu bangunan yang masih tampak khas warisan budaya arsitektur zaman Belanda, berkumpul para Ahmadi Yogyakarta dalam suatu refleksi tahun baru.
Acara malam tahun baru itu boleh disebut sebagai malam renungan atau refleksi. Akan tetapi, bagi penulis acara ini lebih terlihat sebagai diskusi menyongsong harapan di tahun yang baru. Sekitar 40 orang lebih yang didominasi oleh kaum pemuda berkumpul setelah sebelumnya dilaksanakan shalat isya berjamaah dan makan malam bersama.
Sekitar pukul 19.30, acara dibuka dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an oleh Muhammad Ihsan. Dengan dimoderatori Nasir Ahmad, acara dimulai dengan pemateri pertama Ir. H. Ahmad Saifudin Mutaqi, MT. Pemaparan yang disampaikan seputar Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2016. Dalam pemaparannya, beliau menyinggung soal sosialisasi dan persiapan dari Indonesia. Dalam menyambut MEA ini, faktanya, sosialisasi dan persiapan dari negara kita cenderung rendah. Beberapa negara ASEAN lain bahkan sudah mempersiapkan para insinyurnya dengan melatih bahasa Indonesia. Mengapa bahasa Indonesia? Ya, karena Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar di ASEAN. Namun mirisnya, Indonesia justru sangat kekurangan tenaga ahli untuk mencukupi kebutuhan pembangunan negaranya.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan Standar Kompetensi Profesi
Dalam penerapan MEA, setidaknya sudah ada delapan bidang profesional yang terikat MRA (Mutual Recognition Arrangement). Kedelapan bidang tersebut, yaitu engineer, architect, accountant, land surveyors, medical doctors, dentist, nurses, dan labors in tourism. Dengan adanya MRA ini, penduduk ASEAN dengan profesi-profesi tersebut menerapkan profesionalismenya di seluruh negara ASEAN yang tergabung dalam MEA, termasuk Indonesia.
Ketika bersaing dalam pasar bebas ini, tentunya ada standar regulasi tertentu yang menjadikan seseorang dapat diterima bekerja di negara manapun di ASEAN. Dalam hal ini, seorang profesional setidaknya diharuskan memiliki tiga hal pokok, yaitu certified (tersertifikasi), licensed (terlisensi), dan registered (teregisterasi). Dalam upaya mendapatkan ketiga hal tersebut, diperlukan sebuah mekanisme penyetaraan. Di Indonesia, telah diperkenalkan suatu standar yang disebut KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia). Penerapan KKNI ini diharapkan dapat dilaksanakan di dunia pendidikan, pelatihan kerja, serta pengalaman kerja. Di dunia pendidikan, KKNI ini diharapkan pada penyetaraan kurikulum sehingga kompetensi tiap lulusan diharapkan sama. Ketika kompetensi tenaga kerja sudah setara, upah yang didapatkan pun akan menggunakan upah jasa regional. Artinya, bekerja di mana pun di negara yang termasuk MEA akan mendapatkan upah yang sama karena kualifikasi telah sesuai dengan standar regional.
Ahmadi Profesional VS Profesional Ahmadi
Pada sesi selanjutnya, dibahas materi tentang Ahmadi Profesional dan profesional Ahmadi sebagai tantangan menghadapi MEA. Materi ini disajikan oleh Dr. Didit Hadi Barianto, M.Sc. Dalam pemaparannya, beliau mencoba membandingkan definisi seorang tenaga profesional pada umumnya dengan idealisme sebagai seorang Ahmadi atau yang disebut di sini sebagai Ahmadi profesional.
Yang dimaksud Ahmadi profesional adalah seorang Ahmadi yang terpanggil dan memanggil serta berupaya melaksanakan tugasnya sesuai syarat bai’at yang dibebankan kepadanya. Lebih jauh lagi, bila dihubungkan dengan MEA yang erat kaitannya dunia kerja profesional, seorang Ahmadi kini ditantang menjadi seorang profesional Ahmadi. Profesional Ahmadi di sini didefinisikan sebagai seorang Ahmadi yang tidak menyembunyikan identitasnya dalam menjalankan profesinya, bersungguh-sungguh mensinergikan etika profesional dengan syarat bai’at dalam pekerjaannya, dan rela memberikan keahliannya untuk jemaat Allah Ta’ala ini serta menginvestasikan penghasilannya di jalan Allah Ta’ala.
Peran profesional Ahmadi dalam pembangunan bangsa ini tentunya memerlukan langkah-langkah tertentu. Setidaknya, dengan menjadi profesional Ahmadi, Ahmadi Indonesia dapat berkontribusi dalam persoalan ketenagakerjaan di negara ini. Persoalan tersebut seperti, kurangnya tenaga kerja profesional seiring meningkatnya kebutuhan dan masih tingginya rasio tenaga kerja dengan lulusan sekolah dasar. Yang tak kalah penting, para profesional Ahmadi diharapkan dapat mengubah perspektif negatif masyarakat terhadap para Ahmadi. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah besar yang perlu dilakukan oleh para Ahmadi, khususnya para generasi mudanya.
Jangan Buang Waktu, Mari Bermanfaat!
Menanggapi pemaparan dari para pemateri, pembawa acara pun mempersilakan para hadirin untuk bertanya atau berpendapat. Komentar pertama datang dari seorang khuddam, Reza Ahmad Cheema. Reza mengungkapkan sedikit “kekecewaan dan ketersinggungannya” atas materi yang disampaikan. Dalam materi yang disampaikan memang bidang sosio-humaniora tidak disinggung dan tidak pula termasuk dalam delapan bidang MRA. Namun, garis besar yang ia sampaikan adalah merupakan suatu motivasi bagi para mahasiswa yang hadir, khususnya yang mengambil jurusan sosio-humaniora.
Dalam tanggapannya, Reza menyampaikan bahwa MEA ini merupakan imbas dari paham ekonomi kapitalis. Setiap orang akan berusaha bersaing mencari keuntungan sebesar-besarnya melalui kompetensi atau keahliannya masing-masing. Dalam kasus ini, persaingan yang dilakukan tidak hanya dalam lingkup nasional, tetapi regional melalui pasar bebas ASEAN. Mungkin bidang-bidang sosio-humaniora seperti hukum atau dakwah masih belum ada pengaruhnya dalam perekonomian. Di satu sisi, bahkan hukum pun bisa ditaklukan oleh kekuatan industri dan pasar. Selain itu, ketentuan standar kompetensi kemungkinan juga sulit untuk dirumuskan. Akan tetapi, yang ia coba tekankan di sini adalah bagaimana kita sebagai muslim Ahmadi bisa bermanfaat bagi orang lain. Jangan membuang waktu sia-sia dan pikirkan apa yang bisa kita lakukan sekarang.
Potensi “Baik” Itu Selalu Ada
Dari kaum Lajnah, Husna Farah mengungkapkan pendapat dan pertanyaannya. Menurutnya, diskusi malam itu begitu menarik. Ia sering memikirkan bagaimana generasi muda Ahmadi ini bisa bersaing di antara para profesional lainnya. Ia mengutip salah satu sabda Hz. Khalifatul Masih IV rh., yang kurang lebih berisi agar para Ahmadi harus menjadi yang terbaik dalam bidangnya masing-masing, sekalipun itu hanyalah tukang sapu.
Menurut Farah, potensi-potensi “baik” pasti ada dalam diri seseorang. Masalahnya adalah bagaimana potensi itu dapat dikembangkan sebaik mungkin. Bagaimana mengarahkan antara cita-cita dan potensi bisa menjadi sesuatu yang luar biasa. Sayangnya, seringkali potensi itu tidak dapat berkembang. Penyebabnya bisa karena tidak digali atau kesulitan biaya. Selain itu, sering ada pemikiran yang mengotak-ngotakan suatu pekerjaan sebagai pekerjaan yang “bagus” atau “kurang bagus”. Oleh karena itu, menurutnya, diperlukan suatu upaya agar para generasi muda Ahmadi ini tidak bingung ingin menjadi apa, ingin bermanfaat seperti apa. Jadi apapun itu, yang paling penting adalah bagaimana bisa melakukan pekerjaannya sebaik dan semaksimal mungkin. Pertanyaan yang muncul berikutnya, bagaimana hal ini bisa terwujud? Bagaimana caranya agar lulusan-lulusan sekolah dasar langsung bekerja itu berkurang? Apakah yang bisa dilakukan badan-badan saat ini juga agar potensi para Ahmadi yang ada ini tidak terbuang sia-sia dalam rangka menyambut tasyakur seabad JAI?
Sadar dan Serius
Pendapat dan pertanyaan dari lajnah dan khuddam tersebut pun ditanggapi oleh para pemateri. Memang mungkin bidang sosio-humaniora belum diatur dalam MEA ini. Akan tetapi, mestinya hal ini tidak membuat kita kecil hati. Seorang engineer tidak dapat bekerja tanpa orang-orang sosial. Ia mungkin bisa berpikir bagaimana gedung itu bisa terbangun. Akan tetapi, bagaimana gedung itu bisa bermanfaat itu adalah pekerjaan orang sosial yang tidak bisa dilakukan oleh para engineer. Untuk menjadi profesional di bidangnya, apapun itu, memang sebagai Ahmadi sebisa mungkin menjadi yang terbaik. Jika tidak menjadi yang terbaik, jadilah yang pertama. Namun, bila tidak bisa jadi yang pertama, maka jadilah yang berbeda. Ada banyak lembaga, organisasi, komunitas yang berusaha menjadi yang terbaik bahkan secara sukarela atau nonprofit. Inilah yang harus kita sadari bahwa bicara soal pengorbanan dan profesionalisme yang dikaitkan dengan mengharap ridha Tuhan tetaplah ada persaingan.
Keseruan diskusi malam itu tentunya terbatas oleh waktu. Diskusi tiap malam akhir tahun di Jogja ini memang memiliki keunikan tersendiri. Terkhusus pada akhir tahun 2015 kemarin, diskusi tidak hanya membahas soal wawasan luar yang bukan bersifat tarbiyat, tetapi bagaimana “mengawinkan” persoalan regional, dengan motivasi menjadi Ahmadi profesional dan profesional Ahmadi. Walaupun respon yang terlihat masih kurang, tetapi hal ini tidak mengurangi harapan bersama. Pak Uud, sapaan akrab Ir. H. Ahmad Saifudin Mutaqi MT, IAI, berharap agar para pemuda Ahmadi dapat mengenal bahwa “negeri ini borderless” dan ada kesadaran baru yang berbeda dengan masa lalu. Kesadaran ini memerlukan keterbukaan pikiran dan keikhlasan hati agar secara perlahan “pengetahuan dan hidayah” dapat tumbuh. “Jika saja ukuran kita cuma segelas, maka sulit untuk menerima seember air, kecuali kita bocorkan gelas itu. Tentu akan lebih bermanfaat besar, jika kita mampu meningkatkan ukuran gelas menjadi ukuran ember. Bahkan, titik-titik bocor bisa juga diperbanyak sehingga akan semakin banyak yang dapat memanfaatkannya.” Analogi beliau. Harapan lain juga datang dari Dr. Didit. Beliau berharap agar para generasi muda Ahmadi ini bisa serius. Serius yang di maksud adalah agar kita selalu berpikir bahwa kehidupan ini berkompetisi, termasuk dalam berkhidmat. “Harapannya ya.. rekan-rekan Khuddam dan Lajnah mengupayakan untuk mengembangkan dirinya dan menjadi Ahmadi profesional dan profesioanal Ahmadi sehingga peran Ahmadi akan terasa dan bisa mengubah kesalahpahaman.” jelas beliau.
Akhirnya, diskusi ditutup sekitar pukul 22.30. Acara harus segera diakhiri karena masih ada agenda tahajud berjamaah dan juga Clean The City (CTC) di kawasan Kilometer nol – Malioboro keesokan harinya.
Penulis: Husna Farah
Bahan bacaan:
http://indonesiabelajar.blogspot.co.id/2016/01/segala-hal-yang-harus-anda-ketahui_41.html?m=1
http://indonesiabelajar.blogspot.co.id/2015/12/mengenai-sertifikasi-skkni-kkni-dan-mea.html?m=1
Materi powerpoint narasumber
Sumber: www.arhlibrary.com