Kalau kita mengenang nama Presiden Indonesia yang pertama, Ir. Sukarno, akan banyak sekali kita dapati sikap yang patut ditiru. Salah satunya adalah toleransi pada hal-hal yang bertentangan dengan diri kita. Seperti semboyan negara Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu. Bahwa Indonesia memang terdiri dari beragam agama, etnis, bahasa, budaya tapi tetap merupakan sebuah kesatuan: Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara etimologi toleransi berasal dari kata “tolerance” (dalam bahasa Inggris) yang berarti sikap membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Dalam bahasa Arab toleransi mempunyai kesamaan makna dengan tasamuh, berarti saling mengizinkan, saling memudahkan. Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan toleran dengan bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Seperti Presiden Sukarno yang menunjukkan sikap toleransi tersebut pada golongan Ahmadiyah.
Soekarno dan Ahmadiyah
November 1936, publik digegerkan dengan sebuah pemberitaan bahwa Soekarno merupakan bagian dari aliran Ahmadiyah. Surat kabar ‘Pemandangan‘ bahkan menuliskan bahwa Soekarno telah menjadi salah satu corong penyebar ajaran Ahmadiyyah dengan mendirikan Ahmadiyah bagian Celebes.
“…, bahwa Pemandangan telah memuat satu entrefilet bahwa saya telah mendirikan cabang Ahamdiyyah dan menjadi propagandis Ahmadiyah bagian Celebes”, tulis Sukarno yang ditujukan untuk redaktur Pemandangan, 25 November 1936. Surat tersebut beliau tulis dari Endeh.
Hal tersebut membuat Presiden Sukarno menjadi buah bibir masyarakat. “Benarkah demikian?”, begitu kira-kira tanya masyarakat pada saat itu. Melihat geliat masyarakat kala dan karena memang merasa dirinya bukan bagian dari Ahmadiyah, beliau membalasnya dengan sebuah klarifikasi bahwa dirinya bukan seorang Ahmadiyah.
“Saya bukan anggota Ahmadiyah. Jadi mustahil saya mendirikan cabang Ahmadiyah atau menjadi propagandisnya. Apalagi “buat bagian Celebes” sedang bepergian ke sebuah pulau yang jauhnya hanya beberapa mil saja dari Endeh, saya tidak boleh!”
Bukan hanya menyatakan dengan tegas bahwa Presiden Sukarno bukan bagian dari Ahmadiyah, tapi beliau pun mengatakan bahwa dirinya bertentangan dengan apa yang diyakini golongan Ahmadiyah. Presiden Sukarno menolak mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagai seorang nabi dan pengeramatan terhadapnya.
“Saya tidak percaya bahwa Mirza Gulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya pula ia seorang mujaddid”, tulis Sukarno dalam surat yang sama.
Namun, walaupun secara terbuka Presiden Sukarno menolak bagian dari Ahmadiyah dan apa yang diyakini oleh pengikut golongan Ahmadiyah, Presiden Sukarno tetap menghargai mereka. Tidak hanya itu, Presiden Sukarno pun sampai mengapresiasi dan berterima kasih pada Ahmadiyah yang menurutnya memberikan faedah keilmuan. Suatu hal yang sudah jarang dilakukan oleh pemimpin saat ini: Menolak ide suatu kelompok, namun tetap menghargai pendapat kelompok tersebut. Sebuah bentuk toleransi yang patut ditiru.
Apresiasi Sukarno pada Ahmadiyah
“Kepada Ahmadiyah pun saya wajib berterima kasih”, tulis Soekarno.
Sumbangsih Ahmadiyah pada dunia pemikiran lewat tulisan dan buku-bukunya memperkaya pengetahuan Presiden Sukarno. Untuk buku ‘Het Evangelie Van Den Daad’, Presiden Sukarno tanpa ragu menyebutnya sebagai buku yang brilian. Sangat bermanfaat bagi semua orang Islam. Ahmadiyah dianggap mempunyai modernisme, kehati-hatian terhadap hadist, mempunyai systematische aannemelijk making van den islam, publiksai sistematis yang masuk akal dari Islam.
“Tapi ada buku-buku keluaran Ahmadiyyah yang saya mendapat banyak faedah daripadanya”, lanjut Soekarno.
Beberapa buku yang dimaksud adalah Mohammad the prophet karya Mohammad Ali, Inleiding tot de studie van den heiligen qoer’an juga karya Mohammad Ali, Het evangelie van den daad karya Chawadja Kamaloedin, dan De bronnen van het christen dom.
Presiden Sukarno sebagai Presiden Indonesia Paling Toleran
Toleransi yang dicontohkan Presiden Sukarno ini patut ditiru oleh siapa saja. Beliau mau menyelami dan memahami suatu hal yang dianggapnya bertentangan, bukan malah melontarkan tuduhan dan menyuarakan kebencian yang justru memperkeruh suasana. Terlebih mampu mengapresiasi pada hal-hal yang memang patut diapresiasi.
Pada bulan Desember 2012, Lembaga Survei Indonesia (LSI Network) menyatakan bahwa Presiden Sukarno adalah presiden Indonesia yang paling toleran sepanjang pemerintahan Republik Indonesia dengan nilai 82 persen disusul Presiden Abdurrahman Wahid dengan 81 persen untuk keberagamaan agama dan terendah adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan 41 persen. Toleransi terhadap keberagaman ideologi, Soekarno pun dinilai paling toleran, dimana sebanyak 85 persen responden memilihnya. Selanjutnya menyusul Gus Dur 83 persen dan terendah Presiden Suharto dengan 21 persen.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Evelyn Beatrice Hall Dalam buku biografi Voltaire: Saya tak setuju pendapatmu, tapi akan saya bela mati-matian hakmu untuk berpendapat.
Sebagai penutup, saya sertakan pidato Sukarno pada Sidang di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945:
“Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua.
Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!
Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua.”
Oleh : Abdul Afif
Sumber : suarakebabasan