Jakarta – Indonesia diperkaya dengan keberagaman etnis, suku, budaya, bahasa dan agama. Kondisi multikultural ini, mempunyai kecenderungan kuat terhadap pilihan identitas masing-masing, termasuk identitas agama yang sangat berpotensi melahirkan konflik. Hasil riset yang dilakukan Setara Institute sepanjang tahun 2007-2021 menunjukan adanya 2884 peristiwa pelanggaran Kebebasan Beragama /Berkeyakinan (KBB). Dari total pelanggaran tersebut, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menjadi korban paling banyak yaitu 570 peristiwa.
Guna mempertahankan keutuhan negara dalam mewujudkan kedamaian dan keberagaman diperlukan adanya toleransi. Dewi Kanti, Komisioner Komnas Perempuan mengatakan bahwa perempuan berpotensi besar dalam membangun dan memelihara toleransi. Mereka menjadi salah satu pelopor penggerak, perubahan dan perdamaian. Menurutnya, kaum perempuan harus menyadari potensi tersebut.
“Perempuan berpotensi menjadi aktor perubahan dan menjadi aktor perdamaian. Dalam situasi sulit perempuan memiliki daya kreatifitas untuk mengembangkan secara humanis, peran keibuannya, menembus sekat diskriminasi, menjadi rekonsiliasi, menjadi penghubung jembatan rekonsiliasi antara yang berkonflik, dalam berbagai kasus perempuan mempunyai kemampuan yang lebih meneduhkan, dalam situasi konflik dia punya cara menjadi penengah dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan bukan hanya kata namun dengan praktik kehalusan budinya, melindungi anak dan keluarganya,” ungkap Dewi Kanti pada peluncuran buku Inklusi Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Keindonesiaan, di Jakarta, pada Kamis (21/4/2022).
Hal ini dibuktikan, di tengah kompleksitas intoleransi dan diskriminasi yang menimpa anggota-anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) mulai dari diskriminasi, kekerasan, persekusi, tindakan intoleran hingga keberadaan produk hukum yang diskriminatif. Perempuan ahmadiyah dalam menghadapi Intoleransi tersebut terlibat aktif dalam membangun toleransi dan perdamaian, dimana mereka tetap menjalankan kegiatan sosialnya kepada masyarakat tanpa membedakan identitas.
Peneliti Setara Institute yang sekaligus penulis buku “Inklusi Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Keindonesiaan”, Sayyidatul Insyiah, mengatakan bahwa inklusi sosial terjadi terhadap perempuan dan anak Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sendiri, diantaranya :
Perempuan Ahmadiyah menjadi pendonor mata terbesar di Indonesia dengan lebih dari 1000 terdaftar menjadi calon pendonor mata.
“Lajnah imaillah (Perempuan Ahmadiyah) menjadi pendonor mata terbesar dan bahkan sempat mendapat apresiasi berupa penghargaan dari pemerintah Bogor pada tahun 2007” tuturnya
Perempuan Ahmadiyah berkontribusi memberikan donasi untuk korban tsunami Aceh dan mengirimkan 100 dokter ke lokasi tsunami, serta donor darah dan donor mata di Indonesia.
”Selain sebagai organisasi, Lajnah Imaillah (Perempuan Ahmadiyah) berkontribusi aktif dalam memberikan donasi berupa sumbangan terhadap korban tsunami Aceh dan mengirimkan 100 dokter ke lokasi tsunami” ujarnya
Perempuan Ahmadiyah mendirikan sekolah untuk umum
“Ada salah satu perempuan ahmadiyah di Parung yang mendirikan sebuah sekolah yang ditujukan untuk umum, yang bersifat sosial” ucapnya
Perempuan ahmadiyah aktif dalam menghadiri berbagai kegiatan eksternal
Untuk membangun relasi yang lebih luas, perempuan ahmadiyah juga menghadiri berbagai undangan dari universitas, organisasi keagamaan seperti Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), International Center for Islam and Pluralism (ICIP), dan Yayasan Jurnal Perempuan (YJP). Perempuan Ahmadiyah juga terlibat di program Sahur Keliling yang diadakan oleh Yayasan Puan Amal Hayati di bawah kepemimpinan Sinta Nuriyah
“Perempuan ahmadiyah turut aktif dalam menghadiri berbagai undangan dari universitas, atau organisasi-organisasi lainnya, selain itu Lajnah Imaillah (Perempuan Ahmadiyah) pernah mengikuti sahur keliling yang mana hal itu dilaksanakan oleh Yayasan Tuan Amal Hayati” tuturnya
Menurutnya, dari rangkaian berbagai contoh kegiatan sosial tersebut, telah menunjukan bahwa inklusi sosial Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) tidak hanya dilakukan oleh anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) laki-laki saja, namun perempuan-perempuan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam hal ini disebut Lajnah Imaillah, ternyata sudah cukup inklusi membaur dengan masyarakat terlepas dari berbagai stereotip terhadap organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Disamping itu, Ketua Umum Perempuan Ahmadiyah Indonesia, Siti Aisyah Bakrie, dalam acara Launching Pertama buku Inklusi Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Keindonesiaan di Bogor, pada Sabtu (9/4/2022) mengatakan bahwa terbentuknya sikap inklusi perempuan jemaat ahmadiyah karena mengacu pada motto Jemaat Ahmadiyah yang mengimplementasi nilai-nilai Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an serta ajaran Rasulullah SAW.
“Kami (perempuan ahmadiyah) selalu diajarkan dengan motto love for all hatred for none, untuk selalu terbuka terhadap perbedaan, menerima perbedaan dan hidup dalam keberagaman. Kita berupaya untuk menyikapi keberagaman, dengan melakukan kegiatan-kegiatan sosial dalam pendekatan kultural, karena sifat keibuan perempuan itu menjadi sarana modal bagaimana kita untuk bisa hidup secara berdampingan di dalam keberagaman dan keberbedaan” ucapnya
Dewi Kanti menambahkan bahwa beragam macam kekerasan, intoleransi dan diskriminasi apabila dibalas dengan kasih akan bisa diruntuhkan
“Kekerasan atau tembok yang setebal apapun, saya kira dengan kasih bisa diruntuhkan dan Ahmadiyah sudah membuktikan segala karya nyata kemanusiaannya”. Ujarnya