Nyali Wulang Sunu langsung ciut saat mendengar nama Jamaah Shalahudin UGM. Segera saja di benaknya tergambar kaum Salafi, golongan dalam Islam yang mengajarkan syariat murni secara keras. Buru-buru, mahasiswa ISI Yogyakarta itu mencari informasi sebanyak-banyaknya dari internet. “Apalagi saya Katolik, tak banyak tahu tentang Islam,” katanya.
Berbekal pengetahuan dari internet dan sejumlah literatur Islam, ia memberanikan diri bergaul dengan mereka. Untuk mempermudah berbaur, ia bahkan memelihara jenggot dan memilih celana kain dengan ujung semata kaki untuk busana sehari-harinya. Setelah beberapa hari berkawan dengan mereka, ketakutannya tentang Salafi sirna. “Asumsi saya salah,” katanya.
Wulang adalah satu di antara tiga peserta pameran seni rupa “Jinayah/Siyasah : Playing with Boundaries” di Tetangga Seniman di Kompleks Pusat Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Dua perupa lain dalam pameran yang berlangsung 31 Januari-5 Februari 2015 itu adalah Octora (Bandung) dan Riyan Riyadi alias The Popo (Jakarta). Uniknya, karya dalam pameran ini dihasilkan dari pengamatan seniman pada tiga komunitas Islam di Yogyakarta. Sementara Wulang kebagian Jamaah Shalahudin, Octora mendapat jatah Jemaat Ahmadiyah dan Riyan di Pesantren Al-Munawwir.
Berbekal pengamalan tinggal bersama, Wulang menghasilkan sejumlah karya. Satu di antaranya “Samudera Putih”, video animasi yang berkisah tentang sejarah Jamaah Shalahudin. Ia pun menyuguhkan catatan kecilnya sepanjang berinteraksi dengan mereka. Bentuknya, gambar-gambar di atas kertas yang melukiskan asumsinya. Judulnya, “Catatan di Pintu”. “Kadang kami terlalu banyak berasumsi, padahal itu belum tentu sepenuhnya benar,” katanya.
Asumsi “sesat” pada Ahmadiyah misalnya, bisa jadi salah. Octora mengatakan selama bergaul dengan komunitas Ahmadiyah Yogyakarta, ia melihat mereka pun beribadah laiknya muslim yang lain. “Mendengar suara azan, mereka langsung pergi salat berjamaah,” katanya. Bahkan, ia melanjutkan, hubungan mereka dengan lingkungan sekitarnya terjalin dengan baik.
Namun, ia melanjutkan, menerima kehadiran orang luar bukan perkara mudah bagi mereka. Lantaran “cap sesat” yang menempel, kelompok ini kerap menjadi korban kekerasan di negeri ini. Sehingga, mereka pun cenderung �protektif� pada orang-orang baru.
Octora menggambarkan “proteksi” dalam bentuk rangkaian bantal sambung-menyambung hingga membentuk instalasi mirip dinding bata. Judul karyanya, Memayu Hayuning Bawana. Bagi dia, perlindungan terbaik adalah kelembutan. Ini ia simbolkan dengan bantal, yang empuk dan lunak. Judul karya, Memayu Hayuning Bawana, sejatinya adalah falsafah orang Jawa yang bermakna memperindah keindahan dunia. “Bukan bata, kekerasan tak bisa dilawan kekerasan,” katanya.
Dalam pameran itu, ia juga memajang foto yang merekam prosesnya berinteraksi dengan Jemaah Ahmadiyah di Yogyakarta. Selain itu, ada juga video yang menampilkan wawancaranya dengan salah satu tokoh Ahmadiyah. Keduanya bersanding dengan satu karyanya yang lain, Piwulange Leluhur, sebuah kota musik yang memperdengarkan suara nasehat.
Penulis untuk pengantar pameran ini, Sita Magfira, mengatakan Islam di Indonesia memiliki beragam corak dan warna. Mereka tentu tak bisa disamakan, namun tidak untuk dibeda-bedakan. Sejak awal, proyek seni rupa ini diracang dalam kesadaran ketiga komunitas itu mengamini nilai-nilai tertentu. Pada level terntentu,, nilai itu, semisal ekspresi dan pola interaksi, mengalami tarik menarik dengan seni, khususnya seni rupa.
Nilai itu, menurut dia, bisa diartikan sebagai batas imajiner antara seniman dan komunitas Islam. “Kami ingin menjembatani,” katanya.
Jembatan itu tentu ada jika tak ada prasangka. Saling mengenal dan memahami salah satu caranya. Tinggal di Kompleks L Al Munawwir membuat anggapan Riyan terhadap kesakralan pesantren sedikit luntur. Dua minggu bergaul dengan santri, seniman mural itu menemukan satu persoalan kecil yang menyebalkan. Ghasab.
Ghasab pada dasarnya mengambil hak orang lain tanpa izin. Di pesantren, santri biasa meng-ghasab barang tanpa berniat memiliki. Semacam pinjam tapi tak meminta izin dari pemiliknya. Benda-benda yang di-ghasab lazimnya peralatan sehari-hari. Semisal sandal, ember, sepatu, sarung, hingga sepatu. “Sandal saya pernah kena ghasab,” katanya, menceritakan pengalaman tinggal bersama santri.
Tinggal di pondok tak hanya menjadikannya korban ghasab. Ia juga berhasil kolaborasi dengan sejumlah santri untuk membuat karya. Salah satunya berjudul “Ghosob. Karya ini menampilkan benda-benda yang biasa menjadi sasaran ghasab. Sepatu misalnya. Benda itu hadirkan apa adanya. Sebagian tersisa satu sisi dan telah ditumbuhi rumput. “Mencuri tanpa niat memiliki akhirnya seperti ini”, sebuat kalimat ia tuliskan di dinding untuk menerangkan riwayat sepatu. Mencuri jelas melanggar aturan hukum (jinayah). Toh, santri-santri itu punya taktik (siyasah) mensiasatinya.
Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2015/02/02/219639158/Pameran-Seni-Islam-Menembus-Prasangka-dan-Siasat