ACARA Nurcholish Madjid Memorial Lecture untuk tahun yang ketujuhnya kali ini diselenggarakan di Aula Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Kamis, 19 Desember 2013. Sidney Jones sebagai pembicara mengambil tema “Sisi Gelap Reformasi di Indonesia: Ancaman Masyarakat Madani Garis-Keras”. Sidney adalah Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC).
Sidney memaparkan bahwa salah satu capaian reformasi adalah tumbuhnya masyarakat madani (civil society) yang kuat. Namun, beberapa di antara organisasi masyarakat madani yang paling efektif dewasa ini justru adalah kelompok-kelompok Islamis garis-keras yang mendakwahkan intoleransi dan menyebarluaskan kebencian.
Menurut Sidney, ada tiga jenis kelompok garis-keras yang berkembang di Indonesia. Pertama, kelompok main hakim sendiri (vigilantisme) dan FPI adalah yang paling terkenal dalam kategori ini. Kedua, kelompok advokasi di tingkat akar-rumput, bisa diwakili oleh GARIS di Cianjur yang juga kerap menggunakan taktik kekerasan. Dan ketiga, kelompok transformatif yang diwakili oleh Hizbut Tahrir, yang ingin menggantikan sistem demokratik di Indonesia dengan khilafah
Satu pertanyaan yang perlu dijawab adalah apakah organisasi masyarakat madani seperti ini mencerminkan sikap yang lebih luas dalam masyarakat atau justru mencoba membentuk sikap tersebut. Mengutip survey CSIS yang dilakukan di 23 provinsi pada tahun 2012 yang menunjukkan bahwa, meskipun masih minoritas, tidak nyaman terlalu dekat dengan pemeluk agama lain. Lebih dari 68 persen tidak ingin rumah ibadah selain agamanya dibangun di komunitas mereka. Satu hal yang juga penting untuk dicatat adalah intoleransi yang sangat terlokalisir; Jawa Barat secara rutin muncul dalam penelitian sebagai salah satu daerah paling tidak toleran di Indonesia.
Ada beberapa faktor penyebab suburnya intoleransi. Di antaranya adalah kesalehan dan konservatisme di kalangan masyarakat, Persaingan ekonomi, perubahan politik. Pejabat dalam banyak kasus, alih-alih meredam gejolak sentimen intolerasni justru bertindak mengipasi api intoleransi.
Lalu, apa solusi yang bisa ditawarkan? Beberapa negara Eropa menerapkan undang-undang “hate crimes” dan “hate speech”. Apakah hal ini bisa diterapkan di Indonesia?
Walau ‘undang-undang baru’ mungkin tidak merupakan solusi untuk Indonesia, titik awal untuk mengatasi intoleransi agama adalah kebijakan “zero tolerance” untuk kekerasan apapun, betapapun kecilnya. Tapi hukuman apa pun tidak akan berarti jika pemerintah di tingkat nasional dan lokal selalu menyerah kepada radikalisme agama.
Unsur kepemimpinan juga perlu diperhatikan. Calon-calon presiden perlu mengeluarkan kode etik bagi penasihat dan staf mereka, di mana mereka dilarang mutlak mendukung, walaupun secara simbolis, kelompok yang menyebarkan kebencian.
—
SIDNEY Jones adalah direktur dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC). IPAC berbasis di Jakarta. Sebelumnya dari 2002 hingga Juli 2013, Sidney bekerja pada International Crisis Group (ICG), pertama sebagai direktur proyek Asia Tenggara; lalu sejak 2007, sebagai penasihat senior untuk program Asia. Ia memperoleh B.A. dan M.A. dari University of Pennsylvania, Amerika Serikat, dan doktor kehormatan dari New School for Social Research di New York pada 2006.
—
Reporter: NAS