Perubahan memang meliputi banyak hal. Harapan tentang perubahan di dalam diri para peserta Ijtima bisa berupa perubahan status peserta yang datang pada tahun ini sebagai “jomblo” tahun depan statusnya sudah “menikah”.
Bukankah oleh-oleh itu selalu dinanti dari mereka yang bepergian jauh di sana? Ijtima Nasional MKAI 2016 di Jawa Timur menyajikan beragam oleh-oleh untuk kita bawa pulang dan kita bagikan kepada siapapun yang mungkin mengharapkannya.
Dalam kesempatan ini, saya hendak berbagi oleh-oleh kepada anda yang sempat membaca tulisan ini. Khususnya, anda yang tidak bisa ikut serta dalam kegiatan tahunan ini disebabkan oleh identitas anda yang sebagai perempuan, atau jika pun anda laki-laki anda sudah melampaui usia 40 tahun ke atas, atau anda punya urusan lain yang sulit anda tinggalkan meski anda adalah peserta yang diharapkan kehadirannya pada saat itu.
Tentunya, oleh-oleh ini bukan tentang ratusan foto yang mulai memadati smartphone anda. Dimana setiap momen dan kesempatan diabadikan dan disebarkan melalui akun-akun media sosial yang paling mainstream. Mendadak smartphone anda banjir notifikasi yang isinya sudah bisa anda prediksi. Dan ucapan “mubarak” menjadi respon yang paling relevan saat itu.
baca juga: [feed url=”http://warta-ahmadiyah.org/tag/mojokerto/feed/” number=”3″]
Juga, ini bukan tentang air terjun Dlundung yang begitu indah. Ribuan manusia antri untuk merasakan kesegarannya. Sayangnya, hanya merasakan bukanlah hasrat paling tinggi dari manusia akhir zaman. Semua perlu diabadikan. Lalu, terbentuklah kelompok-kelompok manusia untuk selfie berjamaah. Tak terbayangkan, kepuasan macam apa yang tengah dirasakan para manusia kota itu? Mungkin mereka sudah terlalu lelah dengan asal knalpot yang tiap hari mereka hirup. Apakah anda tidak merasakan kelelahan serupa?
Juga, ini bukan tentang tak seimbangnya jumlah WC dan kamar mandi yang tak sampai 20 buah itu untuk 1400 orang peserta. Tapi, pemuda selalu menemukan jalan keluarnya. Sebuah jalan keluar dengan sensasi yang mustahil untuk dilupa. Saat para peserta memadati sungai yang tak jauh dari camp. Satu paket aktivitas mandi, cuci, kakus pun terjawab meski minim privasi. Namun, di situlah seninya.
Juga, ini bukan tentang rasa lapar yang selalu saja tercipta. Sehingga, para peserta yang kebanyakan pecinta “warung tegal” itu harus bersusah payah menjawab rasa laparnya. Sebagian ada yang membawa logistik selengkap-lengkapnya, sebagian lagi cukup dengan berbelanja di pasar yang dekat dengan lokasi. Apapun hasilnya, rasa lapar pada saat itu mampu melemahkan sikap kritis dari lidah-lidah para peserta.
Bukan ini yang mau saya bagi. Sebab, ini hanyalah kenikmatan sampingan yang banyak orang di luar sana menikmati hal serupa. Kalau cuma ini yang para peserta dapat dan dianggap sebagai oleh-oleh paling berharga, faktanya itu hanyalah oleh-oleh pasaran serupa “berem” atau “jenang” yang banyak dijual di pusat oleh-oleh.
Oleh-oleh yang hendak saya bagi berupa pesan juga harapan yang selalu diulang-ulang setiap kegiatan Ijtima Nasional dibuka. Pesan dan harapan dari yang mulia Hadhrat Khalifatul Masih al-Khamis aba. yang selalu disampaikan Sadr MKAI saat pembukaan kegiatan ini. Pesan dan harapan itu adalah bahwa hendaknya kegiatan Ijtima ini dijadikan sebagai sarana untuk menciptakan perubahan di dalam diri para peserta Ijtima.
Perubahan memang meliputi banyak hal. Harapan tentang perubahan di dalam diri para peserta Ijtima bisa berupa perubahan status peserta yang datang pada tahun ini sebagai “jomblo” tahun depan statusnya sudah “menikah”. Perubahan juga bisa berupa meningkatnya kadar keaktifan dalam mengikuti kegiatan-kegiatan jemaat. Perubahan pun bisa berupa meningkatnya jumlah para pembayar candah. Malah, sesuai dengan tema Ijtima tahun ini “Kami siapa menjadi Musi”, jumlah musi di kalangan khuddam bisa meningkat tahun depan.
Saya tidak tahu, apakah menjadi musi di tahun ini sama beratnya dengan menjadi suami di tahun ini? Dua hal itu hanyalah pilihan yang ada di hadapan kita. Berkaitan dengan pilihan, Mln. Isa Mujahid Islam dalam presentasinya memberikan sebuah permisalan yang sangat relevan. Menuju lokasi Ijtima banyak alternatif kendaraan yang bisa kita gunakan. Mulai dari Kopaja, Bus dengan kelas Bisnis, atau Eksekutif. Kita hanya tinggal memilih. Yah tentu, memilih dengan sebuah konsekuensi.
Begitu juga, untuk mencapai maqom keridhaan Allah Ta’ala, ada beberapa alternatif pendekatan. Melalui Candah ‘Am, Candah Wasiyat 1/10, dan Candah Wasiyat 1/3. Pengorbanan yang memiliki makna dasar “pendekatan” butuh suatu besaran tertentu. Makin tinggi besaran pengorbanannya, makin mudah pendekatannya. Dan seorang Lajnah pun akan melihat khadim mana yang pengorbanannya paling besar. Dialah yang akan diridhai sebagai suaminya kelak.
Kalau kita mau sedikit nakal mempertanyakan, untuk apa sih Tuhan memerintahkan supaya umat-Nya mengorbankan harta di jalan-Nya, padahal harta itu adalah milik-Nya? Apakah Tuhan butuh harta kita? Pada akhirnya, harta hanyalah titipan yang suatu saat akan dipertanggungjawabkan penggunaannya. Harta kita bukanlah milik kita. Tapi, kepemilikan itu harus ada untuk menjaga tatanan kehidupan bermasyarakat. Kalau tidak ada, akan terjadi kekacauan dimana-mana. Ini namanya “memiliki yang bukan dimiliki”. Itulah sedikit pesan dalam Dars Subuh Mln. Muharim Awaluddin yang sempat terekam dan terolah dalam ingatan saya
Saat kita tahu bahwa harta kita bukan milik kita, tapi milik Dia, lalu sebenarnya apa yang sedang kita korbankan? Apakah yang kita sedang korbankan adalah harta yang kenyataannya bukan milik kita? Bukan. Bukan itu yang sedang kita korbankan. Yang sedang kita korbankan di hadapan Allah Ta’ala adalah “rasa kepemilikan” itu. Rasa kepemilikan yang melahirkan cinta pada harta. Cinta yang membuat seseorang menjadi tak rela untuk membelanjakannya di jalan Allah. Rasa itulah yang sebenarnya harus kita korbankan.
Kepemilikan yang melampaui batas akan melahirkan sifat kikir dalam diri manusia. Hatinya akan dirasuki sebuah penyakit yang sukar sekali diobati. Padahal ia tahu bahwa semua itu takkan dibawa mati. Tapi, logika sederhana itupun tak bisa menjangkau akal sehat mereka yang dirasuki rasa kepemilikan yang melampaui batas itu. Pengorbanan harta di jalan Allah adalah obat paling manjur untuk penyakit hati itu. Dan sekarang, obat tersebut ada di depan mata kita. Dianjurkan secara langsung oleh seorang Tabib Rohani zaman ini. Apakah kita sedang berpura-pura buta tentang hal ini?
Seandainya 50% saja khuddam pembayar Candah ‘Am (dawam) menyadari tentang pesan dan harapan ini, saya tidak tahu dentuman macam apa yang akan terjadi dalam diri Jemaat kita? Bukankah perubahan suatu bangsa terletak di tangan pemudanya? Di saat punggung ini masih kuat menopang, tangan ini masih kuat mengangkat, dan kaki ini masih kuat berlari, maka apakah kita akan menunggu hingga semua hal itu hilang dari kita, lalu beramai-ramailah kita berwasiyat? Ingat, berwasiyat bukan tentang kemapanan kita tapi tentang pondasi kita membangun kemapanan. Pondasi yang kuat dan kokoh mampu menopong bangunan macam apapun. Saat itu yang menjadi fokus kita selagi muda, anak keturunan kita akan aman berlindung di bawah sebuah bangunan pengorbanan yang berpondasikan “Al-wasiyat”. Adakah hal lain yang menjanjikan keamanan serupa?
Kontributor : Muhammad Nurdin
Foto : Isa Mujahid Islam
Editor : Talhah Lukman Ahmad