PRESIDEN RI, Susilo Bambang Yudhoyono memburuknya intoleransi agama dan kekerasan menjadi salah satu tantangan terbesar yang akan dihadapi.
Oleh Andreas Harsono | SatuIslam.org
WARISAN Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono adalah memburuknya intoleransi agama dan kekerasan terkait akan menjadi salah satu tantangan terbesar yang akan dihadapi oleh penggantinya kelak. Seperti yang diketahui, Indonesia akan melaksanakan pemilihan presiden pada 9 Juli mendatang.
Sementara Yudhoyono yang gemar berbicara tentang “kerukunan beragama” di Indonesia, kenyataannya selama 10 tahun terakhir kaum minoritas di negara itu, termasuk Kristen, Syiah, Ahmadiyah dan beberapa agama pribumi lain, posisinya semakin dikepung oleh aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok militan Islam Sunni garis keras. Tanggapan Yudhoyono mengenai intoleransi ini hanya sebatas retorika kosong belaka dan terkesan menutup mata terhadap tindakan jajaran pemerintahnya yang secara pasif atau secara aktif terlibat dalam pelanggaran hak-hak kaum agama minoritas.
Militan Islam telah terbiasa tumbuh untuk menyerang kelompok minoritas dengan impunitasnya. Dalam kasus-kasus tertentu, di mana aparat keamanan dan jaksa sebenarnya telah campur tangan dalam insiden tersebut, hasilnya seringkali terjadi tuntutan dan pemenjaraan atas perwakilan dari korban minoritas-bukan pelaku kekerasannya, dengan tuduhan “menghujat” atau “menciptakan kerusuhan.”
Eskalasi kasus kekerasan berbasis agama yang dilaporkan oleh kelompok agama minoritas di Indonesia
TAHUN; KASUS
2007; 91
2008; 257
2009; 181
2010; 216
2011; 242
2012; 264
2013; 220
Sumber: Setara Institute
Akar dari meningkatnya intoleransi agama dan kekerasan terkait yang mulai terjadi di tahun 2005 ketika Yudhoyono membuka kongres MUI, payung organisasi berbagai kelompok Muslim, dengan mengumumkan niatnya untuk “mengambil langkah-langkah tegas terhadap keyakinan yang menyimpang.” Pada bulan Maret 2006 kabinet Yudhoyono membuat Keputusan yang didedikasikan untuk “Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pembangunan Rumah Ibadah.”
Keputusan ini membutuhkan pengesahan dari 33 provinsi di Indonesia dan sekitar 500 kabupaten untuk mendirikan apa yang disebut Forum Kerukunan Umat Beragama (Forum Kerukunan Umat Beragama atau FKUB) sebagai badan penasehat gubernur, walikota dan bupati. Keputusan tersebut menetapkan bahwa komposisi FKUB harus “mencerminkan komposisi agama” di setiap daerah. Akibatnya, agama yang dominan di setiap perwakilan daerah – baik itu Muslim di Indonesia bagian barat dan Kristen di daerah timur Indonesia-memiliki mayoritas anggota yang kuat dalam FKUB 17 (dalam kabupaten atau walikota) atau 21 anggota FKUB provinsi.
{gambar}
Baliho Anti Syiah di Tasikmalaya (dok : satu islam)
Keputusan tersebut juga nyatanya membatasi kegiatan pembangunan rumah ibadah, dan komposisi penduduk, di suatu daerah. Izin untuk membangun rumah ibadah membutuhkan:
- Daftar nama dan KTP minimal 90 orang yang akan menggunakan rumah ibadah. Daftar ini harus disahkan oleh kepala desa;
- Surat dukungan dari setidaknya 60 orang yang tinggal di daerah tersebut. Surat dukungan ini harus disahkan oleh kepala desa;
- Rekomendasi tertulis dari Departemen Agama setempat; dan,
- Rekomendasi tertulis dari FKUB setempat.
Hasil keputusan tersebut telah menjadi sanksi hukum atas pelarangan pembangunan rumah ibadah baru bagi kelompok agama minoritas di daerah di mana terdapat mayoritas Muslim, termasuk Pulau Jawa dan Sumatera. Dalam beberapa kasus, keputusan tersebut bahkan telah menghalangi jemaat Kristen dari merenovasi gedung-gedung gereja yang ada. Kelompok Islam Militan di beberapa daerah secara efektif sudah membajak keputusan dan memberlakukan penegakan hukum dengan gaya – main hakim sendiri- atas dugaan pelanggaran. Pada tanggal 21 Maret 2013, di Bekasi, pinggiran Jakarta, pemerintah daerah menggunakan kendaraan excavator untuk menghancurkan struktur bata merah baru dari Gereja Kristen Protestan Batak (Huria Kristen Batak Protestan, HKBP). Para pejabat memerintahkan gereja dibongkar karena tidak ada izin bangunan pada permintaan dari Orang-orang Islam, Forum AOS Taman Sari (Forum Umat Islam Taman Sari), sebuah organisasi Islam militan.
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, sebuah perkumpulan gereja Protestan, telah mengkritik keputusan tersebut secara lebih represif dari peraturan sejenis yang dikeluarkan pada tahun 1969 selama pemerintahan diktator Suharto.
Sejak tahun 2005, pemerintah Yudhoyono juga memberlakukan hukum penghujatan peristiwa G30S PKI tahun 1965 secara agresif, sebuah peninggalan hukum terbesar dan samar-samar dari pemerintahan otoriter Soekarno. Lebih dari 100 orang telah dituntut karena penghujatan sejak tahun 2005 termasuk Sebastian Joe Tajir, seorang Muslim yang dihukum selama empat tahun penjara pada November 2012 karena posting-an komentar di akun pribadi Facebook miliknya mengenai keberadaan Tuhan.
Ketika sekelompok cendekiawan Muslim, termasuk mantan presiden Abdurrahman Wahid, menentang sifat diskriminatif hukum penghujatan di Mahkamah Konstitusi, Yudhoyono dan kabinetnya bersikeras mempertahankannya. Pengadilan, dalam 8-1 keputusan pada tanggal 19 April 2010, memutuskan bahwa hukum penghujatan G30S PKI tahun 1965, yang menyediakan hukuman pidana bagi mereka yang mengekspresikan keyakinan agamanya yang menyimpang dari prinsip-prinsip hukum itu melindungi enam agama yang diakui secara resmi, hal ini merupakan suatu pembatasan sah bagi kaum agama minoritas karena ini memungkinkan bagi tindakan pemeliharaan “kerukunan beragama.
{gambar}
Salah satu Masjid Jema’at Ahmadiyah yang menjadi sasaran tindak kekerasan oleh kelompok militan (dok : satu islam)
Pada tahun 2008, konsep Yudhoyono tentang “kerukunan beragama” termasuk peraturan pemerintah anti-Ahmadiyah, yang melarang sekte Islam dari “menyebarkan” ajaran Ahmadiyah. Peraturan tersebut mencakup lima tahun hukuman penjara maksimum untuk Ahmadiyah yang dinyatakan bersalah karena berdakwah.
Keputusan itu membuka jalan bagi kelompok-kelompok Militan Islam seperti Front Pembela Islam (FPI) untuk mulai menargetkan Ahmadiyah dan masjid mereka dengan pelecehan, intimidasi dan kekerasan. Contoh yang paling mengerikan dari kekerasan yang terjadi pada bulan Februari 2011, ketika militan Muslim menewaskan tiga orang Ahmadiyah di Cikeusik, Jawa Barat, dalam serangan tak beralasan di mana polisi di tempat kejadian menolak untuk campur tangan membantu jema’at Ahmadiyah. Di Jawa dan Sumatera saat ini terdapat lebih dari 100 masjid Ahmadiyah yang ditutup atas perintah pemerintah daerah.
Presiden Yudhoyono telah gagal bertindak untuk mencegah pelanggaran ini dan melindungi hak-hak kelompok agama minoritas di Indonesia. Sebaliknya, pada bulan Oktober 2012 Yudhoyono mengabdikan pidatonya di Majelis Umum PBB di New York untuk meminta negara-negara anggota PBB agar mengadopsi instrumen internasional yang mengikat secara hukum berkaitan dengan pelarangan atas penghujatan terhadap simbol-simbol agama.
Sebagai orang Indonesia yang mempersiapkan diri untuk pergi ke tempat pemungutan suara pada tanggal 9 Juli dalam rangka memilih pengganti Yudhoyono, mereka harus menuntut agar calon presiden mereka menjelaskan bagaimana mereka akan mengatasi kerusakan yang telah dilakukan oleh SBY berkaitan dengan kebebasan beragama selama satu dekade terakhir.
Kegagalan dalam melakukannya hanya akan memperburuk intoleransi agama dan menciptakan korban baru pelecehan, intimidasi dan kekerasan.
—
Andreas Harsono adalah Peneliti Hak Asasi Manusia asal Indonesia pada LSM Internasional “Human Rights Watch”