Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) tentang tren kasus kekerasan terhadap perempuan yang dirilis Komnas Perempuan pada 8 Maret setiap tahunannya, menunjukkan perkembangan fakta kekerasan terhadap perempuan yang kian kompleks, beragamnya pelaku di berbagai ranah mulai dari personal, komunitas bahkan negara.
Namun demikian, respon dan penyikapan negara atas kekerasan yang terjadi terlihat masih lamban dan cenderung tidak tepat sasaran. Hal ini membuka ruang bagi potensi diskriminasi lanjutan bagi perempuan korban dan menghambat pemenuhan hak mereka atas kebenaran , keadilan, pemulihan dan jaminan tak berulang.
Komnas Perempuan menyelenggarakan Konsultasi Publik Tahunan dengan tema “Potret Perlindungan dan Pemenuhan HAM Perempuan di Indonesia Pasca 20 Tahun Reformasi”.
Acara berlangsung pada hari Kamis, 31 Januari 2019 bertempat di Grand Sahid Jaya Hotel Jakarta. Yang dihadiri oleh Seluruh anggota Komisi Paripurna dan Badan Pekerja Komnas Perempuan Periode 2015-2019 yang meilbatkan partisipasi aktif dari Mitra Strategis dari unsur perwkilan komunitas korban, CSO/NGO, Institute Masyarakat, Institute Agama, Tokoh Perempuan, Lembaga Nasional HAM/NHRI, Pemerintah, Legislatif, Lembaga Negara Lainnya serta Lembaga Regional/Internasional. Dengan tujuan :
~ Menyampaikan kepada publik tentang perkembangan dan tantangan situasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan serta pelaksanaan mandat dan kerja-kerja Komnas Perempuan dalam menanggapi/ merespon situasi/ isu Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) selama tahun 2018.
~ Mendapatkan masukan arah kebijakan, strategi dan prioritas kerja dalam upaya penghapusan KtP baik untuk satu tahun dan juga lima tahun mendatang.
Pada acara tersebut, Komnas Perempuan memberikan kepercayaan kepada Lajnah Imaillah (Muslimah Ahmadiyah) untuk mewakil Mitra Strategis memberikan Tanggapannya terhadap Laporan Tahunan Komnas Perempuan.
Ibu Fitria Sumarni SH (Ketua Komite Hukum JAI), mewakili Lajnah Imaillah menjadi Penanggap. Hadir pula sekretaris Tabigh PPLI, Ibu Retna Tjakraadisurja dan Humas PPLI Ibu Evy Affiati yang juga mengikuti Konsultasi Publik.
Alhamdulillah pemaparan ini, mendapat sambutan yang baik dari Komisioner Perempuan dan para Peserta yang hadir. Materi yang disampaikan oleh bu Fitri sebagai berikut :
TANGGAPAN ATAS LAPORAN TAHUNAN KOMNAS PEREMPUAN 2018
Oleh : Fitria Sumarni , Lajnah Imaillah (Muslimah Ahmadiyah) Indonesia
Yth. IbuAzriana, Ketua Komnas Perempuan beserta jajaran Komisioner dan staf
Yth.Paratamu Undangan
Assalamu’alaikum warahmatullahi Wabarakatuh
Kami menyampaikan apresiasi yang sebesar-besarnya serta ucapan “mubarak/selamat” kepada Komnas Perempuan yang telah sukses menyusun laporan tahunan 2018 beserta kemajuan- kemajuan yang telah dicapai dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Laporan tahunan 2018 ini sangat istimewa bagi kami selain karena bertepatan dengan 20 tahun reformasi juga karena kami sebagai mitra diberikan kesempatan juga untuk terlibat dalam kerja-kerja komnas perempuan.
Pada kesempatan ini kami juga menyampaikan ucapan terima kasih dari lubuk hati yang terdalam atas segala upaya komnas perempuan dalam menemani, mendampingi dan menjadi sahabat setia dalam perjuangan untuk bebas dari diskriminasi dan tindakan intoleransi. Penerimaan komnas perempuan kepada Kami memberikan kami kekuatan untuk terus memelihara harapan akan Indonesia yang bisa menerima keragaman sebagaimana semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Kami menyampaikan apresiasi dan terima kasih atas masuknya komnas perempuan sebagai pihak terkait dalam permohonan uji materi UU No.1/PNPS/1965 di Mahkamah Konstitusi. Meskipun MK belum mengabulkan permohonan tetapi bukan berarti pintu keadilan telah tertutup bagi kami.
Sesuai Pasal 42 (2) PMK No.6/2005: “Permohonan Pengujian Undang-Undang terhadap muatan ayat, pasal dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda; Putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa UU No. 1/PNPS/1965 memang membutuhkan revisi. Hanya saja hal itu harus dilakukan melalui upaya legislasi biasa yang memungkinkan bagi semua pihak untuk terlibat dalam pembahasannnya secara mendalam.
Menindaklanjuti putusan MK tersebut Komnas Perempuan dapat mengadakan kajian UUNo.1/PNPS/1965 dengan mengundang para pakar hukum, filsafat dan pakar lainnya untuk kemudian mendorong legislatif melakukan revisiatas UU ini. Menurut kami ini mendesak untuk dilakukan karena UU ini menjadi payung hukum terbitnya beberapa peraturan dsikriminatif.
Di akhir pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 56/PUU-XV/2017 menegaskan kembali bahwa negara harus menjamin perlindungan bagi setiap warganegara yang hendak melaksanakan hak konstitusionalnya secara damai, termasuk dalam menganut agama dan keyakinan, dengan tidak membiarkan adanya tindakan main hakim sendiri atau persekusi.
Pertimbangan hukum mahkamah konstitusi ini dapat digunakan oleh Komnas Perempuan untuk mendorong pemerintah pusat maupun daerah untuk memenuhi hak konstitusional warganya yang sampai hari ini masih terhalangi untuk beribadah dengan tenang bebas dari ancaman dan intimidasi dan juga untuk mencounter Pihak-pihak intoleran yang mencoba menyalahgunakan putusan MK untuk melakukan intimidasi terhadap Komunitas Muslim Ahmadiyah.
Kami mencatat di tahun 2018 eskalasi tindakan persekusi dan diskriminasi khususnya terhadap komunitas muslim Ahmadiyah meningkat di beberapa daerah. Rata-rata kasus yang terjadi didasari oleh fatwa sesat yang dikeluarkan oleh MUI dan juga SKB. Yang paling menghentak kita semua adalah peristiwa penyerangan di Lombok Timur pada bulan Ramadhan 2018. Sampai saat ini 8 KK yang terdiri dari 24 Jiwa yang kebanyakan perempuan dan anak-anak masih mengungsi di Loka Latihan Kerja Lombok Timur.
Komnas Perempuan bersama tim gabungan telah melakukan pemantauan terhadap kasus ini. Kami mengapresiasi upaya pendokumentasian atas pemantauan yang telah dilaksanakan. Tetapi tentunya upaya dan strategi penghapusan tindakan kekerasan terhadap perempuan harus terus dilakukan sampai ada penyelesaian yang tuntas atas kasus ini. Kami khawatir pengungsi Lombok Timur akan berakhir sama dengan pengungsi Transito yang telah 12 tahun berada di pengungsian.
Komnas Perempuan perlu memiliki catatan atas kasus-kasus intoleransi “warisan” yang belum tuntas hingga saat ini dan menyusun strategi dan upaya-upaya penyelesaian berdasarkan mandat yang dimilki karena korban yang paling terdampak adalah perempuan dan anak-anak. Kasus-kasus yang belum selesai selain pengungsi Ahmadiyah di Transito dan Loka Latihan kerja Lombok Timur adalah kasus Pengungsi Syiah Sampang Jawa Timur, Kasus Gereja Yasmin Bogor dan Kasus HKBP Filadelfia Bekasi. Selain itu dalam catatan kami setidaknya ada 18 Masjid Ahmadiyah yang belum dapat digunakan dengan berbagai sebab diantaranya ada yang dibakar, disegel, dirusak dan status quo (dilarangdigunakan).
Sampai saat ini warga muslim Ahmadiyah di Kersamaju Tasikmalaya belum dapat mencatatkan pernikahan di KUA Setempat karena mendapatkan penolakan dan diharuskan untuk menandatangani surat pernyataan keluar dari Ahmadiyah jika mau pernikahannya dicatat di KUA tersebut.
Kami ingin menanggapi penggunaan kata kelompok “minoritas” dalam laporan ini. Menurut kami penggunaan kata ini dan pengelompokkan suatu komunitas dalam kategori minoritas oleh lembaga HAM seperti Komnas Perempuan malah akan melegitimasi stigma. Kami mendorong Komnas perempuan dalam laporan dan komunikasi publik memilih kata yang sesuai dengan upaya penegakan kesetaraan hak sebagai warga negara yang dilindungi oleh Konsititusi. Konstitusi kita tidak menyebut minoritas Mayoritas. Semua warga negara bersamaan kedudukannnya dalam hukum.
Demikian tanggapan ini kami sampaikan, mohon maaf jika ada kata yang kurang berkenan.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta, 31 Januari 2019 Fitria Sumarni
Semoga terus terbina hubungan dengan Komnas Perempuan dalam menemani, mendampingi dan menjadi sahabat setia dalam perjuangan untuk bebas dari Diskriminasi dan tindakan intoleransi dengan terus memelihara harapan akan Indonesia yang bisa menerima keragaman sebagaimana semboyan Bhineka Tunggal Ika
Kontributor : Humas PPLI (EA)