Jakarta – Senyuman tersungging di wajah Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Jawa Tengah ( FKUB Jateng), KH. Taslim Sahlan saat memaparkan konsep khilafah yang kembali ramai diperbincangkan dan menjadi sorotan pasca ditangkapnya pemimpin Khilafatul Muslimin beberapa waktu yang lalu di Indonesia. Ia menyatakan bila saat ini telah terjadi distorsi di tengah masyarakat dalam memaknai arti khilafah.
Hal tersebut disampaikannya saat berbincang dalam podcast Ahmadiyah.id bersama Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur yang dipandu oleh Mubaligh Daerah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Mubda JAI) DKI Jakarta, Maulana Iskandar Gumay pada Selasa (28/6/2022) di Jl. Balikpapan Jakarta Pusat.
Mubda JAI DKI Jakarta, Maulana Iskandar Gumay mengutarakan podcast Ahmadiyah.id yang dipandunya itu adalah sebuah podcast yang membahas tentang tema keagamaan, kemanusian, kebangsaan, dan isu-isu lainnya yang kekinian.
Selanjutnya KH. Taslim mengungkapkan jika sebenarnya terdapat narasi dalam konsep khilafah yang konteksnya untuk menguatkan perekonomian dan mensejahterakan umat serta meningkatkan ketakwaan terhadap Allah Ta’ala. Selain itu konsep khilafah dalam konteks untuk merawat keberagamaan yang inklusif dan tidak eksklusif, keberagamaan yang membangun kerukunan dan harmoni serta keberagamaan yang tidak bertabrakan dengan ideologi negara, menurut KH. Taslim bisa diterima di Indonesia.
Ia menyatakan problem yang muncul ke permukaan itu ketika konsep khilafah yang diusung mempunyai keinginan untuk mengganti ideologi bangsa.
“Jangan ada stigma bahwa khilafah itu jelek,” tutur KH. Taslim.
“Sejauh yang saya pahami, khilafah ini sebenarnya barang baik,” tegasnya.
Lebih jauh KH. Taslim menyatakan bahwa Ahmadiyah memakai sistem khilafah manhaj nubuwwah yang tidak alergi terhadap kearifan lokal yang ada dan banyak berkembang di Indonesia.
“Bagaimana teman-teman Ahmadiyah mengorganisir seluruh umatnya di dunia ini untuk taat kepada Allah Ta’ala, membangun hubungan dengan sesama manusia dan tidak mengusung daulah,” ujar KH. Taslim.
“Jadi, tidak ada yang berbahaya dari Khilafah Ahmadiyah,” tegasnya.
Sementrara itu, Ketua YLBHI, Muhamad Isnur menjelaskan bila setiap organisasi berhak untuk menggunakan istilah-istilah sesuai dengan keinginan masing-masing organisasi tersebut. Hal itu menurutnya termasuk ke dalam hak internum organisasi.
‘Negara tidak boleh mengganggu apalagi melakukan intervensi,” tegas Isnur.
“Negara respect saja,” imbuhnya.
Disisi lain, Isnur pun menyatakan jika dalam konteks keagamaan juga ada pembatasan yang boleh dilakukan oleh negara. Menurutnya, hal tersebut dapat dilakukan bila satu organisasi dikategorikan melanggar undang-undang.
Bentuk pelanggaran yang dilakukan seperti saat satu organisasi menyerukan makar dan berkehendak menggulingkan kekuasaan. Kemudian disusul dengan terjadinya bentuk serangan dan kekerasan yang termasuk ke dalam ranah tindak pidana.
“Dipidana itu yang menyerukan kekerasan dan melakukan penyerangannya,” terang Isnur.
“Tapi keyakinan tidak bisa diubah,” lanjutnya.
Terkait Khilafah Ahmadiyah, Isnur melihat sejak kelahiran Indonesia banyak keterlibatan dari para tokoh Ahmadiyah dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bahkan ia mendengungkan kembali tentang lagu kebangsaan “Indonesia Raya” yang sering dinyanyikan oleh seluruh rakyat Indonesia merupakan ciptaan WR. Supratman yang juga seorang anggota Ahmadiyah.
“Sejak awal Ahmadiyah empirik dengan kelahiran Indonesia,” ucap Isnur.
“Kalau pun dituduh sebagai mengganggu kebangsaan dan Pancasila, saya pikir sangat jauh ya,” imbuhnya.
Saat mendapat pertanyaan balik dari Muhamad Isnur tentang bagaimana konsep Ahmadiyah dalam memandang dan menghormati negara, Mubda JAI DKI Jakarta, Maulana Gumay mengatakan bahwa konsep Khilafah Ahmadiyah adalah murni untuk meningkatkan spiritual keagamaan.
“Bagi Ahmadiyah mencintai negara dan menghormati negara menjadi bagian dari iman kami,” kata Mubda JAI DKI Jakarta, Maulana Gumay.
“Sehingga tidak pernah terpikirkan untuk mengganti ideologi negara,” tegasnya.