Penindasan terhadap hak untuk beribadat terus terjadi. Kali ini kembali dimotori Front Pembela Islam terhadap sesama umat Islam sendiri. Gerombolan itu melarang jemaat Ahmadiyah untuk sholat lima waktu dan menyelenggarakan sholat Jumat di daerah Bukit Duri, Jakarta Selatan.
Masjid An Nur, Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, yang dikelola jemaat Ahmadiyah mengalami gangguan keamanan sejak menjelang awal Ramadhan. Sejumlah anggota FPI dengan ditemani warga setempat mengancam dan menghalang-halangi jemaat Ahmadiyah Bukit Duri untuk menunaikan salat Jumat di masjid itu, pada Jumat (12/6).
Setelah mencoba bernegosiasi, kelompok intoleran itu tetap melarang jemaat Ahmadiyah untuk salat Jumat di dalam masjid. Karena terus dihalangi dan tidak ingin terjadi bentrokan, jemaat Ahmadiyah terpaksa menunaikan salat Jumat di tengah jalan, di depan masjid An Nur.
Lusanya (14/6) massa yang mendatangi masjid An Nur lebih banyak lagi. Mereka umumnya anggota dan simpatisan FPI. Segelintir warga yang alregi dengan jemaat Ahmadiyah juga ikut bergabung dalam kelompok itu. Pada intinya, mereka menolak keras keberadaan Ahmadiyah di Bukit Duri dan ingin jemaat Ahmadiyah pergi dari Bukit Duri.
Dalam kesempatan itu, Ketua DPD Front Pembela Islam (FPI) DKI Jakarta Habib Salim Al Attas atau Habib Selon menyampaikan orasinya. Dia mendesak pemerintah segera membubarkan Ahmadiyah yang ia nilai sebagai ajaran sesat.
Jumat lalu (19/6) Redaksi Madina Online mengunjungi Masjid An Nur. Redaksi Madina Online ingin melihat langsung apa yang dialami jemaat Ahmadiyah Bukit Duri. Dari informasi yang dikumpulkan, bisa disimpulkan bahwa tindakan intoleransi itu sebenarnya tidak datang dari masyarakat sekitar. Hanya segelintir masyarakat Bukit Duri yang terlibat. Selebihnya, orang-orang dari luar Bukit Duri.
Ketua Ahmadiyah Bukit Duri Aryudi Prastowo menuturkan perjumpaan jemaat Ahmadiyah dengan masyarakat Bukit Duri sudah dimulai sejak tahun 1980-an. Sebelum Masjid An Nur digunakan sebagai pusat kegiatan jemaat Ahmadiyah Bukit Duri, rumah dua lantai itu adalah milik salah satu jemaat Ahmadiyah, Adang Hamid, warga keturunan Betawi setempat.
Sang pemilik rumah dengan sukarela mewakafkan sebagian ruangan di rumah bercat putih itu untuk dimanfaatkan sebagai pusat aktivitas jemaat Ahmadiyah. Itu ia lakukan karena saat itu jemaat Ahmadiyah masih kekurangan tempat untuk berkumpul dan beribadah berjamaah.
Meski diniatkan sebagi pusat kegiatan jemaat Ahmadiyah, pemilik rumah tidak menutup diri dengan warga sekitar. Bila ada warga sesama Muslim yang ingin melaksanakan salat lima waktu, pemilik rumah dengan senang hati mempersilahkannya. Singkatnya, sebisa mungkin pemilik rumah dan jemaat Ahmadiyah membuka diri dan menjalin komunikasi dengan masyarakat sekitar.
“Sejak dulu, jemaat Ahmadiyah Bukit Duri tidak pernah ada masalah dengan masyarakat sekitar sini,” kata Aryudi kepada Redaksi Madina Online.
Lebih dari itu, Aryudi menambahkan, jemaat Ahmadiyah Bukit Duri selalu terlibat dalam aksi-aksi sosial untuk membantu masyarakat. Saat musibah banjir terjadi di Bukti Duri pada 2013 dan 2014, misalnya, masjid An Nur ‘diwakafkan’ menjadi dapur umum bagi masyarakat yang terkena musibah.
Begitu pun kala Idul Adha. Pengurus masjid An Nur selalu membagikan daging kurban yang berasal dari Jemaat Ahmadiyah kepada masyarakat sekitar.
Ali (51), salah satu warga, membenarkan bahwa aktivitas jemaat Ahmadiyah sudah ada sejak 1980-an. Ali pun tahu bahwa istri pemilik rumah itu adalah seorang bidan. Keduanya, sepengetahuan Ali, punya hubungan yang baik dengan masyarakat.
Sebagai orang lama di sana, Ali teringat saat masih belia, ia dan teman-teman sebayanya pernah diajak untuk ikut pengajian di rumah nomor 13 itu. Namun, Ali dilarang orangtuanya untuk hadir. Alasan orangtuanya, Islam yang diyakini jemaat Ahmadiyah berbeda dengan keyakinan masyarakat sekitar.
Meski berbeda keyakinan, masyarakat sekitar tetap menerima daging kurban yang dibagikan jemaat Ahmadiyah saat Idul Adha. “Daging kurban yang dibagikan orang Ahmadiyah lebih banyak dari masjid-masjid yang ada di sekitar sini,” terang Ali.
Mulai Dipersoalkan
Pada 2009, rumah itu dibeli jemaat Ahmadiyah dari ahli waris pemilik rumah. Dan sejak saat itu, mulai ada suara-suara yang mempersoalkan aktivitas jemaat Ahmadiyah.
Motor penggeraknya adalah Ahmad Syakir, salah satu ustad setempat. Mereka melarang seluruh aktivitas jemaat Ahmadiyah di masjid An Nur, mulai dari forum kajian, rapat-rapat, hingga salat lima waktu.
Tak hanya melarang, mereka juga mempengaruhi warga, khususnya umat Islam agar berpandangan negatif terhadap jemaat Ahmadiyah. Salah satu medium yang digunakan adalah mimbar khutbah Jumat.
Melalui mimbar khutbah Jumat, kelompok ini kerap menyampaikan ujaran kebencian terhadap jemaat Ahmadiyah kepada audiens salat Jumat. Khutbah yang tak layak itu diulang-ulang di masjid yang ada di kompleks yayasan pendidikan Assalafiah, sekitar 20 meter dari masjid An Nur. Kebetulan Ahmad Syakir adalah salah satu pengurus masjid itu.
Redaksi Madina Online mendengar sendiri bagaimana sesi pengumuman sebelum khutbah oleh pengurus masjid dan mimbar khutbah Jumat telah disalahgunakan untuk menyebarkan kebencian. “… Ahmadiyah itu adalah antek Inggris yang sengaja dibuat untuk melawan umat Islam di India, kalau enggak salah,” kata khatib Jumat terdengar dari pengeras suara masjid itu.
“Khutbah tadi itu lebih lembut. Sebelumnya, isinya lebih keras lagi. Volume toa masjidnya juga tidak senyaring sebelumnya,” papar Aryudi usai salat Jumat di masjid An Nur.
Pengurus jemaat Ahmadiyah di Bukit Duri sebenarnya sudah mencoba berbicara dari hati ke hati dengan Ahmad Syakir. Namun Ahmad Syakir tetap berkeras melarang seluruh aktivitas jemaat Ahmadiyah.
“Untuk hal yang lain kami bisa mengalah. Tapi untuk sekedar salat lima waktu atau salat Jumat di sini, kami tidak mau mengalah. Kami punya hak untuk beribadah,” tandas Aryudi.