Intoleransi beragama di Indonesia masih terus membakar banyak korban. “Perempuan mengalami bentuk kekerasan, tidak hanya psikis, fisik, tapi juga seksual.
Senin, 22/12/2014 15:29
Reporter: Hanna Samosir, CNN Indonesia
GAMBAR (ilustrasi): Sejumlah perempuan warga negara Indonesia (WNI) korban sindikat perdagangan manusia tiba di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Rabu, 3 Desember 2014. Mereka diduga akan disalurkan ke beberapa negara di Timur Tengah. CNN Indonesia/Safir Makki
Jakarta, CNN Indonesia — Intoleransi beragama di Indonesia seolah masih terus menjadi bara api yang membakar banyak korban. Ketua Pelapor Khusus Kebebasan Beragama Komisi Nasional Perempuan, Sinta Nuriyah Wahid, menganggap bahwa perempuan sebagai korban memikul beban yang lebih berat.
Di awal penjelasannya, istri dari mendiang Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menyayangkan masyarakat yang kurang memerhatikan peran sentral perempuan dalam komunitas minoritas. Padahal, menurutnya perempuan justru menanggung beban yang lebih berat.
“Perempuan mengalami beberapa bentuk kekerasan, tidak hanya psikis, fisik, ekonomi, tapi juga seksual,” ujar Sinta dalam diskusi publik yang diselenggarakan di Jakarta, Senin (22/12).
Beban fisik, menurut Sinta, masih dapat dialami oleh pria. Namun, beban psikis dan seksual lebih berat dipikul oleh kamu perempuan.
“Ketakutan lebih besar. Tidak hanya dirinya, tapi juga anaknya. Mungkin buat laki-laki tidak terpikirkan sejauh itu,” katanya. Sinta menuturkan perempuan memiliki kewajiban moral untuk tetap mendidik anaknya tidak membenci pihak mayoritas.
Tak hanya itu, Sinta melihat bahwa para ibu memiliki tanggung jawab sendiri untuk memelihara perdamaian di lingkungan sekitar.
Lebih jauh lagi, dalam kasus Ahmadiyah dan Syiah di Sampang, Sinta menemukan banyak perempuan diancam akan diceraikan. “Itu akan menjadi beban moral, bagaimana ia menjadi janda,” tuturnya.
Selain itu, perempuan juga kerap mendapatkan diskriminasi. Hal pertama yang disorot adalah masalah pembedaan layanan kesehatan. “Dalam kasus Ahmadiyah, Baha’i, dan Syiah, banyak perempuan hamil digalangi untuk mendapatkan pelayanan yang baik,” papar Sinta.
Hambatan dalam proses pencatatan Akta Pernikahan juga dianggap sangat memberatkan perempuan. “Kalau itu lama dikeluarkan, akan ada stigma masyarakat bahwa dia perawan tua. Keterlambatan hamil juga berisiko besar bagi wanita,” kata Sinta.
Yang tak kalah penting, menurut Sinta, adalah pencerabutan sumber nafkah bagi perempuan kaum minoritas. Sering kali, perempuan yang suaminya menjadi korban pengeroyokan seperti dalam kasus Ahmadiyah mendapatkan diskriminasi dari tempat kerja. “Saat mencari kerja, orang akan menganggap ia berasal dari kelompok yang tidak sepatutnya mendapatkan hak seperti orang lain,” tutur Sinta.
Di akhir pemaparannya, Sinta berkata, “Semoga bara ini tidak membakar hangus, tapi bisa untuk membakar jagung.”
Menguatkan laporan Sinta, Wakil Ketua Komnas Perempuan Masrucha juga menilai perempuan menanggung beban yang sangat berat. “Beban fisik masih bisa ditahan, beban moral dan psikis adalah dua beban berat bagi peerempuan,” ujar Masrucha pada di acara yang sama.
Semua hal tersebut merupakan bagian dari hasil pemantauan Komnas Perempuan di 40 kota/kabupaten di 12 provinsi sejak Juni 2012 sampai Juni 2013. Pemantauan dilakukan dengan wawancara dan diskusi kelompok terfokus bersama 407 narasumber yang terdiri dari 326 korban, 48 aparat negara, 9 pelaku intoleran, dan 24 anggota organisasi masyarakat. Kasus utama yang diangkat menjadi potret umum adalah kasus Ahmadiyah, GKI Yasmin, HKBP Cikeuting, HKBP Filadelfia, Syiah, dan Baha’i.