BANDUNG – Puluhan anggota Ikatan Pelajar Jamaah Islam Ahmadiyah atau Ahmadiyya Muslim Students Association (AMSA) Bandung dan Youth Ambassador menyambangi salah satu klenteng tertua di Kota Bandung, Klenteng Kong Miau, Selasa (15/12).
Kunjungan ini merupakan bagian dari program Youth Ambassador sebagai bentuk tindak lanjut terpilihnya Kota Bandung sebagai Kota Hak Asasi Manusia (HAM) dunia.
Di hari yang sama, sebelum berkunjung ke Klenteng Kong Miau, rombongan Youth Ambassador terlebih dahulu mendatangi Jamaah Islam Ahmadiyah Bandung Tengah di Masjid Mubarak dan di sambut Ketua Cabang Jamaah Islam Ahmadiyah Bandung Tengah, Drs. H. Mansoer Kantadiredja dan Mln. Hafizurrahman Danang, Mubaligh Wilayah Bandung.
Kedatangan anggota AMSA Bandung dan Youth Ambassador disambut hangat oleh pengurus Klenteng Kong Miau. Dengan singkat, para pengurus menjelaskan mengenai asal usul agama Khonghucu dari Tiongkok yang dibawa Nabi Khungse. Dijelaskan pula bahwa Khonghucu bukanlah bagian dari agama Buddha.
“Banyak orang yang beranggapan Khonghucu menyembah patung. Padahal patung hanya melambangkan seorang nabi penerus ajaran dan Tuhan yang disembah ialah Tuhan yang Maha Esa yang tidak bisa di gambarkan dengan apapun,” jelasnya.
Puas dengan penjelasan yang didapat, para anggota AMSA Bandung dan Youth Ambassador berkeliling klenteng dan menyempatkan untuk berfoto bersama di salah satu bagian Klenteng Kong Miau.
Selain mengunjungi masjid dan klenteng, AMSA Bandung dan Youth Ambassador pun berkunjung ke salah satu gereja. Kali ini gereja yang menjadi destinasi adalah Gereja Kristen Indonesia yang terletak di Jalan Maulana Yusuf, Bandung Wetan.
Tiga orang pengurus gereja dan satu calon pendeta menyambut kedatangan tiga puluh anak muda yang berasal dari berbagai agama dan kepercayaan tersebut. Pengurus gereja mengatakan bahwa GKI Maulana Yusuf adalah gereja toleran di Bandung dan mendukung penuh ketika Bandung dinobatkan sebagai Kota HAM dunia. Pengurus gereja juga menyinggung penggunaan kata minoritas yang selama ini disematkan kepada non-muslim.
“Kata-kata minoritas jika sering digunakan akan menimbulkan rasa selalu terintimidasi,” ujarnya.
Menurutnya solusi terbaik permasalahan ini adalah dengan menjunjung tinggi toleransi dan selalu mengadakan kegiatan sosial yang bermanfaat bagi masyarakat tanpa memandang agama maupun suku dan ras serta mengajarkan pentingnya toleransi sejak usia dini.
Kontributor: Sofia Farzanah
Editor: Talhah Lukman Ahmad