KELUARGA Rukmana (43) termasuk istri dan dua anaknya dan Majid (73) diiringi istrinya hanya bisa pasrah. Mereka hanya bisa memandangi orang-orang sekitarnya juga sekeliling lingkungan yang selama ini ditinggali dan akrab bersamanya. Senin, 26 November 2013, yang seharusnya menjadi “November ceria” bagi mereka berubah menjadi muram. Perangkat desa Palalawan Jaya hingga camat disertai sebagian warga masyarakat mengusir mereka karena mereka adalah muslim Ahmadiyah. Apalah daya. Tak ada daya melawan kehendak penguasa, juga sebagian masyarakat karena mereka hanyalah orang biasa yang menganut Ahmadiyah. Jamaah yang dianggap sebagai aliran yang menyimpang dari arus utama.
Majid adalah seorang Ahmadi tulen yang telah menganut Ahmadiyah sejak lama. Ia begitu mencintai jamaah ini dengan segenap harta, jiwa, dan raganya. Anak laki-lakinya Ali Mukhayat (35) melalui pengarahannya telah menjadi seorang ustadz Ahmadiyah juga menjadi bukti betapa ia mencintai jamaah yang memperoleh perlakuan tidak baik di negeri yang katanya paling toleran ini. Anak laki-lakinya itu kini tinggal di Batang, Jawa Tengah, jauh darinya karena menjalankan pengkhidmatan.
”Tekanan dari lingkungan dan pemerintah bukan hal yang buruk. Ini merupakan cara Tuhan memperkenalkan jamaah kami yang kecil tapi teguh berpegang pada kesabaran dan doa,” begitu reaksinya.
Bupati Serolangun Drs H. Cek Endra jauh sebelum kejadian pengusiran telah mengeluarkan edaran berkaitan dengan keberadaan Ahmadiyah di wilayahnya. Tekanan dari sebagian elemen masyarakat di antaranya mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dilakukan kepada pemerintah agar membubarkan Ahmadiyah di Serolangun sebelumnya. Tuntutan PMII itu di antaranya:
a. REALISASIKAN Surat edaran bupati Sarolangun mengenai jemaah Ahmadiyah.
b. Jika tidak ada realisasinya sampai satu bulan kedepan, maka kami akan menggunakan cari kami sendiri untuk mengusir para pemeluk Ahmadiyah.
Sikap pemerintah pusat dan daerah di Indonesia sendiri berlainan dalam menyikapi Ahmadiyah. Misalnya, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono mewakili pemerintahan tertinggi mengemukakan bahwa pemerintahannya tidak akan melarang dan membubarkan Ahmadiyah bahkan akan melindungi. Kontradiktif dengan sikap pembantunya Suryadarma Ali sebagai menteri agama yang justru akan mengadopsi cara-cara pemerintah Pakistan dengan memberangus Ahmadiyah. Masyarakat pun dibingungkan!
Di daerah juga berlainan, ada pejabat daerah yang aktif menekan dan mengintimidasi Ahmadiyah melalui kekuasaannya. Tapi ada juga yang bersikap netral dengan tekad melindungi semua warganya dari sikap intoleran.
Sebut saja bupati Wonosobo, Kholiq Arif. Ia menjadi contoh kepala daerah yang cukup gemilang dalam menjaga kerukunan warganya meskipun di wilayahnya ada Ahmadiyah. Ahmadiyah diperlakukan sama dengan aliran agama yang lainnya termasuk juga di dalamnya Syiah yang cukup mendapat sorotan di negeri ini. “Warga Ahmadiyah berhak hidup di Indonesia karena mereka juga membayar pajak,” kata Bupati Wonosobo Kholiq Arif seperti dilansir tempo.co.Karena sikap tegas sang Bupati tak ada riak-riak timbul dari perbedaan itu.
Kholiq Arif pun termasuk nekad dan berani. Beberapa waktu lalu saat Khalifah Ahmadiyah kelima Mirza Masroor Ahmad melakukan lawatan di wilayah Asia dan Oceania, dan singgah di Singapore, ia malah terbang ke negeri singa itu dan menemuinya. Begitu kembali ke tanah air ia justru berkeinginan untuk mengunjungi markas Ahmadiyah di London dan ingin belajar bagaimana Ahmadiyah mengelola organisasinya. Dalam pandangannya, Ahmadiyah sangat berhasil dalam berorganisasi.
Sikap penguasa yang berlainan ini membuat bingung masyarakat. Penguasa yang mabuk kekuasaan sebagiannya memang lebih mendengar mayoritas meskipun sikap mayoritas itu mengundang huru-hara dan melahirkan kebencian di antara sesama anak bangsa jauh dari cita-cita luhur bangsa. Penguasa mabuk rakyat teler ikut lupa diri. Penguasa sadar rakyat pun akan ikut sadar bahwa cinta sesama adalah harta yang berharga.
Cinta untuk semua, kebencian dikubur sedalam-dalamnya. Selamat pagi Indonesia Jaya!
—
Oleh Arif Sadewa. Sumber: Kompasiana (rilis: 28 November 2013, 06.10; akses: 28 November 2013, 06.30 WIB)