SEMARANG, KOMPAS.com – Keberadaan penganut Ahmadiyah di Indonesia masih saja dianggap sebagai suatu hal yang meresahkan. Beragam kegiatan yang dilakukan penganut Ahmadiyah tetap dipandang sebagai suatu hal yang negatif dan meresahkan masyarakat oleh pihak kepolisian, bahkan saat penganut Ahmadiyah menggelar diskusi.
Di Kota Semarang, Jawa Tengah, diskusi bertema “Ahmadiyah dan Nasionalisme” itu sempat ramai lantaran dilarang oleh pihak kepolisian. Diskusi yang akhirnya digelar pada Selasa (18/8/2015) malam memang tetap berlangsung, namun dikawal ketat aparat kepolisian setempat.
Setidaknya ada 10 orang polisi berpakaian bebas yang hadir untuk mengawasi jalannya kegiatan tersebut. Sebagian lain juga terlihat berjaga-jaga di luar acara kegiatan.
Diskusi ini sendiri mendatangkan intelektual jemaah Ahmadiyah Indonesia Akhmad Mubarik, mubaligh Ahmadiyah Budi Rahman dan Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama Semarang Tedi Kholiludin.
Kegiatan yang sempat dilarang itu akhirnya terlaksana dengan berbagai keterbatasan. Diskusi juga sempat diwarnai kedatangan salah seorang anggota organisasi masyarakat yang mengaku keberatan dengan jalannya diskusi.
Ketua panitia diskusi, Khoirul Anwar mengatakan, diskusi sempat terkendala karena harus ada izin di Kepolisian. Polisi mendapat aduan bahwa diskusi itu akan berujung pada hal menyesatkan.
“Polisi mendapat laporan bahwa pengajian Ahmadiyah di Semarang itu menyesatkan. Kami coba luruskan itu, dengan menggali tentang Ahmadiyah dari sumbernya, yaitu orangnya,” kata Anwar, di sela diskusi, Selasa malam.
Diskusi yang dihadiri sekurangnya 40 orang itu dikawal ketat dari puluhan personel intel dari Kepolisian Sektor Ngaliyan, dibantu Intel dari Polrestabes Semarang, dan intel dari Polda Jawa Tengah. Meski mendapat pengawalan dan sempat dilarang, kegiatan itu akhirnya berjalan dengan baik.
Peran Ahmadiyah
Dalam kesempatan ini, Ahmad Mubarik menyampaikan tentang kontribusi besar penganut Ahmadiyah dalam proses kemerdekaan Indonesia. Menurut dia, ada banyak tokoh nasional yang merupakan penganut Ahmadiyah. Salah satu di antaranya adalah pengarang lagu “Indonesia Raya”, Wage Rudolf Supratman. Selain dia, ada juga nama Arief Rahman Hakim, anggota Tentara Keamanan Rakyat Sayyid Sah Muhammad, penerjemah dalam Konferensi Asia Afrika Abul Wahid, dan beberapa tokoh lain.
Mubarik mengatakan, Ahmadiyah mendukung penuh kemerdekaan Indonesia karena ada seruan dari Khalifah Ahmadiyah. Indonesia yang merdeka dinilai akan berdampak baik bagi perkembangan dunia Islam.
Untuk itu, mubaligh Ahmadiyah yang berada di seluruh dunia diwajibkan menulis di surat kabar atau majalah untuk mengkampanyekan kemerdekaan Indonesia.
“Nama ketua kami Muhammad Muhyidin juga berperan menjaga kedaulatan Indonesia menjadi sekretaris panitia saat ulang tahun pertama Indonesia. Tapi, dia diculik oleh Belanda, dan hingga kini jasadnya belum ditemukan,” ujar dia.
Mubaligh Ahmadiyah lain, Budi Rahman menambahkan, keberadaan Ahmadiyah di negeri ini mulai dikerdilkan semenjak adanya fatwa sesat dari Majelis Ulama Indonesia tahun 1980, kemudian diulang lagi pada tahun 2005. Kaum Ahmadiyah keberatan dianggap sesat karena fatwa yang dihasilkan dianggap berdasarkan pada referensi sebuah buku, bukan dari dasar kitab suci.
“Teologi Ahmadiyah itu cinta tanah air. Meski Ahmadiyah itu lembaga internasional, tapi sangat cinta pada negara yang ditempati,” ujar Budi.