KETIKA sebuah rezim otoritas berkuasa dan ketika dinasti mayoritas memegang kendali nilai, maka di situ berpotensi muncul kalimat dan akronim menakutkan, terutama kepada kaum minoritas.
Oleh: Nasaruddin Umar
[Inilah.com] nasional – Selasa, 29 April 2014 | 00:19 WIB
.
DALAM wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), perlu didefinisikan apa itu aliran sesat? Siapa yang berhak menyesatkan sebuah aliran? Apa kriteria aliran sesat? Siapa yang menentukan kriteria itu? Apa dasarnya?
Apakah aliran sesat itu pelanggaran pidana? Apa sanksi aliran yang dinyatakan sesat itu? Bagaimana menghukum aliran sesat? Siapa yang berhak menghukumnya? Bagaimana menyelesaikan dampak penyesatan sebuah aliran yang sudah lama eksis di dalam masyarakat?
Kesemuanya ini menjadi bukti tidak sederhananya menyelesaikan persoalan penyesatan sebuah aliran. Apalagi aliran itu berada di dalam wilayah keyakinan seseorang, sulit dideteksi, dan berpotensi menghakimi secara tidak adil kepada orang yang disangka penganut aliran sesat.
Ketika sebuah rezim otoritas berkuasa dan ketika dinasti mayoritas memegang kendali nilai, maka di situ berpotensi muncul kalimat dan akronim menakutkan, terutama kepada kaum minoritas.
Akronim itu misalnya kelompok oposisi, pemberontak, ideologi radikal, aliran sesat, ajaran terlarang, dan lain sebagainya. Bahkan tokoh di balik kelompok minoritas itu sering disebut orang gila, tukang sihir, paranormal, provokator, dan lain-lain.
Nabi Muhammad saw sendiri, sama seperti nabi-nabi sebelumnya, pernah mengalami hal yang sama dari penguasa Mekkah ketika pertama kali memperkenalkan ajaran Islam yang dibawanya. Ia pernah dianggap sebagai penganut aliran sesat, diusir, diancam akan dibunuh, dan ajaran agama yang diperkenalkannya dianggap sesat.
Nabi Muhammad sendiri dianggap orang gila (Mereka berkata: “Hai orang yang diturunkan Al Qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila”. (Q.S. al-Hijr/15:16), dianggap paranormal atau tukang tenung (“Maka tetaplah memberi peringatan, dan kamu disebabkan nikmat Tuhanmu bukanlah seorang tukang tenung dan bukan pula seorang gila. (Q.S. al-Thur/52:29).
Bahkan Nabi dianggap tukang sihir (“Demikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: “Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila”). (Q.S. al-Dzariyat/51: 52). Ada juga yang mengganggap penyair gila (Dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila? (Q.S. al-Shaffat/37:36).
Nabi Muhammad sebagai seorang pemegang kendali otoritas Mekah-Madinah, tidak pernah membumi hanguskan para penganut aliran sesat. Bahkan Musailimah al-Kadzdzab yang nyata-nyata mendeklarasikan diri sebagai Nabi (palsu) di depan Nabi tidak pernah ditangkap atau diinstruksikan untuk dieksekusi.
Musailimah bahkan ditantang untuk menayangkan karya andalannya berupa imitasi wahyu yang dibuatnya sendiri dipamerkan di pintu masuk ka’bah. Biar nanti masyarakat menilai, mana ajaran orisinal mana ajaran yang palsu.
Nabi Muhammad juga pernah memarahi panglima perang Usamah lantaran membunuh seorang musuh yang sudah bersyahadat. Setelah Usama diinterogasi Nabi, Ia menjawab saya membunuh orang itu karena hanya ingin menyelamatkan diri ketika dirinya terpojok.
Saat itulah Rasulullah mengeluarkan pernyataan sebagaimana dikutip di dalam Al-Muwaththa’: Nahnu nahkumu bi al-dhawahir waAllahu yatawalla al-sarair (Kita hanya menghukum apa yang tampak, hanya Allah yang berhak menghukum apa yang tidak tampak).
Dalam banyak riwayat Nabi memberikan kesempatan kepada mereka yang dianggap sesat untuk mengintrospeksi diri. Nabi tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada kelompok minoritas, apalagi kalau hal itu menyangkut masalah aliran.
Bukankah Allah Swt juga telah mengingatkan kita: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah member petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya”. (Q.S. al-Qashash/28:56). [*]