Cilegon – Ahmadiyah Kota Cilegon hadiri Haul GusDur yang ke-12. Acara yang diselenggarakan di Pondok Pesantren (Ponpes) Nurul Ta’lim Bani Yasin tersebut dihadiri oleh banyak pihak seperti perwakilan para pemuka agama, ex- intoleran, maupun muda-mudi dari berbagai agama dan kepercayaan yang tergabung dalam berbagai komunitas pada Sabtu, (22/1/2022).
Haul GusDur yang mengusung tema “Masih Adakah Nilai-nilai Toleransi di Banten?” tersebut dibuka oleh moderator, Muhammad Lutfi sebagai tuan rumah, pemilik Ponpes Nurul Ta’lim Bani Yasin.
Dalam sambutannya, Ketua Koordinator Gusdurian Cilegon yang biasa disapa Bang Taufik menyampaikan bahwa tema yang diangkat tersebut sejalan dengan salah satu tujuan komunitas/ jaringan GusDurian didirikan.
“Tema tersebut sejalan dengan salah satu tujuan jaringan GusDurian ini didirikan yakni untuk menegakkan kembali prinsip negara yang melindungi semua warganya, tanpa memandang perbedaan agama, suku, dan ras serta mempraktikkan nilai kesetaraan bagi semua warga negara dalam praktik bernegara sesuai dengan konstitusi”, tuturnya.
Di acara tersebut satu persatu dari perwakilan komunitas yang diundang dipersilakan memperkenalkan diri dan memberikan pendapatnya mengenai sosok GusDur serta menceritakan apa yang dialami komunitasnya.
Saat tiba giliran perwakilan dari Ahmadiyah, yang hadir terlihat antusias. Berbagai pertanyaan diajukan oleh para tamu undangan setelah mendengar cerita bahwa komunitas ini sering disalahpahami dan mendapatkan diskriminasi.
Para tamu undangan bertanya tentang banyak hal, mulai dari stigma masyarakat yang memandang dan menilai bahwa kelompok Ahmadiyah selalu dipandang sebelah mata dan stigma masyarakat yang memandang Ahmadiyah sebagai kelompok yang anarkis.
Kemudian, Rosi sebagai perwakilan Ahmadiyah menyampaikan bahwa fitnah yang sering dilontarkan itu membuat Ahmadiyah dicap sesat, dan membawa dampak buruk, dari diskriminasi hingga persekusi karena informasi yang tidak didapat langsung dari sumbernya.
“Fitnahan seperti orang Ahmadiyah berhajinya ke Mekkah, berkiblatnya di India, dan fitnah-fitnah keji tak berdasar lain tersebut membuat kami dicap sesat. Dan informasi yang tidak didapatkan dari sumbernya secara langsung itu membuat kami mendapat dampak buruk, dari diskriminasi hingga persekusi”, jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa meskipun Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) selalu mendapatkan fitnah keji tak berdasar, pihaknya tetap akan membalas kekejian tersebut dengan cara mendoakan agar orang yang melakukan kesalahan dari ucapannya dengan memfitnah tersebut sadar, dan berdoa bagi perdamaian bangsa. Hal ini sejalan dengan moto Ahmadiyah yakni “Love For All Hatred For None” yang berati cinta untuk semua dan kebencian tidak untuk siapapun.
“Cukup jelas dalam moto ini, bahwa kami mengedepankan dan mencintai perdamaian”, imbuhnya.
Rosi pun menegaskan bahwa terhadap yang sudah merugikan dan mengancam keselamatan, JAI juga tidak segan untuk menempuh jalur hukum bila diperlukan. Karena JAI memiliki legalitas hukum dalam mendirikan organisasinya di Indonesia. Dan menurutnya, tanpa keadilan yang ditegakkan, maka perdamaian akan sulit dicapai.
Di sesi akhir diskusi, sekretaris umur thalibat JAI cilegon itu menyampaikan closing statement dengan mengutip perkataan dari GusDur.
“Tuhan tidak perlu dibela, artinya bahwa Tuhan itu tidak perlu dibela. Yang perlu dibela adalah hak-hak manusia. Arti ini sangat jelas, kemudian kata- kata yang pernah diucapkan GusDur yaitu kita sebagai manusia tidak perlu banyak berbicara, karena semakin banyak kita berbicara semakin banyak juga yang harus dipertanggung jawabkan”, pungkasnya. (Rosi/Fatikh)