JAKARTA | Warta-Ahmadiyah.Org – Wahid Institute menggelar Sekolah Perdamaian Gus Dur pada Sabtu (28/11) hingga Senin (30/11). Dalam kegiatan yang dihadiri oleh berbagai mahasiswa dan organisasi kepemudaan seperti diantaranya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Lingkar Studi Mahasiswa dan juga Ahmadiyya Muslim Students Association (AMSA) yang mengirimkan perwakilannya sebanyak tiga orang. Selain AMSA, dua orang perwakilan Jamaah Islam Ahmadiyah hadir dalam kegiatan yang baru pertama kali diselenggarakan tersebut.
Dimulai dengan perkenalan para peserta dan fasilitator selanjutnya pemaparan materi dari Moch. Irwansyah mengenai team building. Pria yang akrab dipanggil Iwang tersebut mengatakan bahwa setiap manusia membutuhkan bantuan dari orang lain.
“Seseorang nggak akan mungkin berjalan sendiri – sendiri. Perlu kerja sama untuk meraih keberhasilan,” ungkapnya di hadapan peserta yang menghadiri Sekolah Perdamaian Gus Dur.
Ia menambahkan untuk membentuk sebuah organisasi yang kuat, menurutnya perlu dimulai dari pondasi dasar, yaitu cara pandang. Dengan cara pandang yang sama akan timbul kepercayaan antar anggota dalam sebuah organisasi. (Baca: Gus Dur sang pejuang toleransi)
Di hari kedua Sekolah Perdamaian Gus Dur, materi pertama yang disampaiakan adalah mengenai Islam dan kewarganegaraan yang disampaikan oleh Ahmad Suaedy. Menurutnya agama tidak boleh dicampurkan dalam urusan negara dan juga sebaliknya.
“Gus Dur tidak melihat agama harus ditentukan oleh negara,” ujar pria yang menjabat sebagai sebagai Direktur Eksekutif Wahid Institute tersbut.
Disinggung mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) serta banyaknya pelanggaran yang terjadi di Indonesia, salah satu pemateri Syamsul Alam Agus mengatakan bahwa setiap orang adalah pembela HAM. Dia menekankan pembela HAM bukanlah sebuah profesi melainkan sebuah kepedulian terhadap hak dasar manusia.
“ Tak perlu menjadi menjadi bagian dari lembaga lembaga sosial untuk membela HAM. Cukup terapkan dalam nilai – nilai yang terkandung dalam HAM itu sendiri,” ujarnya.
Syamsul pun menambahkan sebagai pemangku hak dan kewajiban, negara harus dapat melindungi masyarakat dari segala tindakan tindakan yang tidak memberikan rasa aman. Negara pun harus adil dalam mengeluarkan sebuah kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
Sekolah Perdamaian Gus Dur kali ini juga menyoroti pentingnya pemuda dalam menciptakan perdamainan. Menurut Irfan Amali selaku pemateri, 60 persen penduduk Indonesia berada dikisaran usia empat puluh tahun ke bawah.
“Ini menandakan pemuda yang akan menjadi penggerak bangsa Indonesia ke depan,” ujar Ifan yang juga merupakan pendiri gerakan Peace Generation.
Kepada puluhan peserta Sekolah Perdamaian Gus Dur, alumnus Universitas Islam Negeri Bandung ini menjelaskan bahwa dalam membangun perdamaian pemuda dituntut untuk menjadi agen perubahan.
Total sebanyak 32 peserta mengikuti Sekolah Perdamaian Gus Dur kali ini. Sekolah Perdamaian Gus Dur sendiri bertujuan untuk menumbuhkan toleransi antar umat beragama yang ada di Indonesia, khususnya di kalangan akademisi.
Reporter: Hilal Kun Arifin
Editor: Nasir M.A. dan Rahmat Ali Daeng Mattiro