Dalam rangka memperingati hari Toleransi Sedunia yang jatuh setiap tanggal 16 November, Jemaat Ahmadiyah dan Gereja Katolik bekerja sama untuk menyelengarakan Konferensi Perdamaian di Tuvalu. Setelah beberapa kali berlangsung rapat koordinasi antara Jemaat Ahmadiyah dan Gereja Katolik Teone, akhirnya diputuskan bahwa tanggal 21 November 2015 akan diselenggarakan Konferensi Perdamaian di Masjid Jemaat Ahmadiyah. Dipilihnya tanggal 21 November 2015 karena bertepatan dengan hari Sabtu yang merupakan hari libur di Tuvalu. Acara Konferensi Perdamaian dimulai jam 10.30 pagi sesuai dengan yang telah direncanakan dan dihadiri oleh lebih kurang 50 orang dari Gereja Katolik, Gereja Kristen Tuvalu dan Jemaat Ahmadiyah.
Konferensi Perdamaian kali ini menghadirkan empat pembicara dengan tema “Toleransi Kunci Perdamaian dan Harmoni dalam Kehidupan Masyarakat.” Pembicara pertama adalah Mr. Siaosi Finiki. Beliau adalah kepala Adat di pulau Funafuti dan peraih Award “the Ambassador for Peace” dari “the Interreligious And International Federation for World Peace” (Federasi Internasional dan Hubungan antar agama untuk Perdamaian Dunia) yang bermarkas di Australia. Award yang sama juga diterima oleh Almarhum Maulana Abdul Wahab Adam (mantan Amir dan Raisut Tabligh Jemaat Ahmadiyah Ghana). Dalam presentasinya beliau menyampaikan pesan yang kuat dan tegas bahwa toleransi adalah kunci untuk mewujudkan kehidupan yang damai dan penuh harmoni dalam masyarakat. Beliau sangat setuju bila dikatakan, tanpa toleransi akan terjadi banyak masalah dan gesekan dalam kehidupan bermasyarakat. Tuhan telah menciptakan kita dengan segala ragam dan perbedaan yang ada. Perbedaan adalah keniscayaan. Kita bukan hanya harus mampu untuk menerima perbedaan dan keragaman ini namun kita harus mampu merayakannya. Kita harus merasa bahagia dengan keragaman dan perbedaan yang Tuhan telah ciptakan ini, demikian ungkapnya. Beliau mengingatkan para hadirin bahwa Tuvalu adalah negara yang sangat kecil namun perbedaan itu ada. Sebagai contohnya banyak denominasi dalam Kristen di Tuvalu. Untuk itulah jangan pernah bertikai karena masalah agama. Hendaknya saling menghargai dan menghormati antara pemeluk agama yang berbeda untuk dapat menciptakan harmoni dalam masyarakat. Dan bekerjasamalah dalam berbagai hal untuk kebaikan umat manusia.
Pembicara kedua adalah Imam Muhammad Idris, Presiden Nasional dan Muballigh Jemaat Ahmadiyah Tuvalu. Beliau menyampaikan paparannya bahwa toleransi adalah “common teaching” ajaran yang dimiliki oleh semua agama-agama. Kemudian beliau menyebutkan berbagai contoh ajaran mengenai toleransi dari berbagai agama seperti agama Budha, Hindu, Sikh, Kristen, dan juga Islam. Beliau menjelaskan bahwa toleransi adalah ajaran yang sangat fundamental dalam Islam. Untuk itulah Allah Ta’ala menyebutkan bahwa tidak ada paksaan di dalam agama. Lalu beliau memaparkan bagaimana saat Rasulullah (saw) hijrah ke Madinah dan bertoleransi dengan komunitas Yahudi pada saat itu. Beliau memberikan jaminan keamanan dan perlindungan untuk mereka dalam menjalankan ibadahnya. Dan sebuah contoh toleransi yang indah beliau kemukakan saat Rasulullah (saw) menerima delegasi Kristen dari Najran untuk berdiskusi masalah agama. Kemudian ketika delegasi Kristen ini hendak pergi untuk beribadah, beliau mencegahnya dan mempersilahkan mereka untuk beribadah di dalam Masjid. Paparan beliau ditutup dengan mengutip penjelasan dari Hadhrat Khalifatul Masih V (aba) tentang toleransi dalam Islam yang diantaranya menyebutkan bahwa tidak ada paksaan di dalam agama. Setiap orang berhak untuk hidup dan menjalankan keyakinan serta kepercayaan yang dimilikinya. Tidak ada yang boleh mengintervensi urusan keyakinan dan kepercayaan ini selama keyakinan dan kepercayaan yang dimilikinya tidak membahayakan orang lain. Segala kekejaman yang mengatasnamakan agama harus ditindak tegas oleh otoritas di negara dimana kekejaman itu terjadi.
Pembicara ketiga adalah Mr. David Manuela. Beliau adalah mantan Rektor dari Universitas South Pacific, senior Akademisi dan Ahli Sejarah yang terkenal di Tuvalu. Dalam presentasinya beliau menyebutkan bahwa keluarga memiliki peranan yang sangat penting untuk mendidik anggota keluarganya supaya menjadi orang-orang yang toleran. Lemahnya pendidikan dalam keluarga dapat menyebabkan banyak permasalahan. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik anak-anak mereka memahami mengenai “equality” (persamaan) dan toleransi sehingga kelak mereka akan menjadi orang-orang yang toleran dan tidak diskriminatif. Selanjutnya pendidikan di sekolah juga memiliki andil yang sangat besar dalam hal ini. Bila pendidikan di rumah dan di sekolah dapat bersinergi dengan baik, mengajarkan nilai-nilai positif kepada anak-anak, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Anak-anak perlu diberikan pengertian bahwa berbeda itu indah sebagaimana hidup yang penuh dengan warna. Setelah beliau melihat ke banner yang terpampang di dinding Masjid “Love for All, hatred for none” lalu beliau menyebutkan, jadikan anak-anak kita memahami motto yang sangat indah ini, jadikan mereka menjadi anak-anak yang penuh dengan cinta kasih dan jauhkan mereka dari memiliki sifat benci. Ini juga adalah kunci untuk menjadi pribadi-pribadi yang toleran.
Pembicara yang keempat adalah Uskup Katolik Tuvalu, Romo Raynaldo Getalado. Beliau memaparkan mengenai spiritualitas dalam toleransi. Toleransi bukan hanya semata-mata bisa menerima perbedaan dan keragaman namun lebih dari itu. Toleransi adalah bagaimana kita bisa merasa bahagia melihat segala perbedaan tersebut. Bagaimana kita bisa mencintai dan mengasihi orang-orang yang berbeda dengan kita. Kita melihat segala perbedaan tersebut dengan cinta dan menganulir segala kebencian. Beliau mencontohkan, kita paham bahwa saudara-saudara Muslim tidak makan daging babi, maka kita pun jangan memaksa mereka untuk makan itu, bahkan lebih dari itu kita sediakan makanan yang saudara-saudara Muslim kita diperbolehkan untuk memakannya. Bila setiap orang sudah pada tahapan ini yakni bagaimana bisa mencintai orang lain yang berbeda, sudah dapat dipastikan kehidupan yang damai dan penuh harmoni akan dapat tercipta. Hindari untuk menjadi hipokrit, yaitu muka tersenyum di hadapan orang yang lain yang berbeda, namun hati penuh kebencian. Kita bukan hanya harus saling menghargai dan menghormati orang lain yang berbeda, namun lebih dari itu bagaimana kita bisa mencintai dan mengasihi mereka dengan penuh ketulusan.
Acara selanjutnya adalah sesi tanya jawab yang dibuka untuk seluruh hadirin. Setelah beberapa pertanyaan dari hadirin, acara dilanjutkan dengan makan siang bersama dan ramah tamah diantara para hadirin yang ada. Jemaat Ahmadiyah Tuvalu juga membuka stand yang memamerkan Al Quran terbitan Jemaat Ahmadiyah dalam berbagai bahasa di dunia dan mempersilahkan para hadirin untuk mengambil buku Kirisis Dunia dan Jalan menuju Perdamaian dengan dengan cuma-cuma.
Reporter : Muhammad Idris