Menciptakan kehidupan bangsa yang lebih damai, inilah salah satu alasan munculnya program “Pesantren for Peace”. Program ini diinisiasi oleh Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Konrad-Adenauer-Stiftung (KAS-lembaga politik dari Jerman) dengan dukungan Uni Eropa. “Program ini merupakan upaya CSRC, KAS dan Uni Eropa dalam rangka meningkatkan kontribusi dan peran penting pesantren dalam mendorong moderasi Islam di Indonesia untuk tegaknya Hak Asasi Manusia, demokrasi, toleransi agama dan pencegahan serta penyelesaian konflik secara damai”, ungkap Sarah salah inisiator program dan pimpinan romgbongan.
Tahapan dari program Pesantren for Peace salah satunya adalah Training Of Trainers (TOT), yang diikuti oleh peserta wakil dari 30 pondok pesantren meliputi Jakarta, Depok, Bekasi dan Banten. Salah satu kegiatan TOT ini adalah Field Trip. Dengan mengunjungi pusat/markaz Jemaat ahmadiyah Indonesia maka diharapakan peserta dapat berdialog langsung dan mendapatkan informasi secara langsung terkait penyelesaian konflik yang dialami Jamaah Islam Ahmadiyah Indonesia.
Di Parung-Kemang 21 Nopember 2015 lalu, rombongan diterima oleh Sekretaris Tabligh (Dakwah) Jamaah Islam Ahmadiyah Indonesia dan timnya serta beberapa narasumber yang disiapkan untuk memberikan materi. Adapun meteri yang diberikan antara lain : Penanganan secara hukum intimidasi terhadap Ahmadiyah oleh Ketua Komite Hukum Jamaah Islam Ahmadiyah Indonesia Abdul Musawir SH, Strategi Komunikasi kepada pihak ke 3 oleh Sekretaris Isyaat (Pulikasi) Mubarik Ahmad, Trauma Healing oleh Sadr Lajnah Imaillah Lilis Aishah Kamil dan HAM dan toleransi perspektif Islam (Ahmadiyah) oleh Sekretaris Tarbiyat Jamaah Islam Ahmadiyah Indonesia Drs Abdul Razak.
Selain pemberian materi, peserta pun diberi waktu untuk tanya jawab. Banya diantara peserta rombongan menanyakan seputar prinsip-prinsip Ahmadiyah dalam menghadapi musuh (penyerang). Namun ada juga penanya yang mempertanyakan perbedaan yang paling prinsip antara Ahmadiyah dengan Islam pada umumnya. Diantara peserta ada yang tertarik dan bersimpati terhadap motto “love for all hatred for none”. Beberapa dari mereka juga heran mengapa Ahmadiyah bisa diserang sedangkan perbedaan Ahmadiyah hanya karena telah mengakui turunnya Imam Mahdi, Islam lainnya masih menunggu.
Di sesi akhir pertemuan, mereka menyampaikan kesan. Salah satu diantara mereka memberikan kesan betapa indahnya dan damainya jika dialog semacam ini diadakan untuk mereka yang salah paham kepada Ahmadiyah. Kebanyakan dari penyerang karena tidak paham apa itu Ahmadiyah.
Reporter dan Foto : ZI Aziz