Jemaat Ahmadiyah mulai mendapatkan tantangan dan hambatan dari berbagai aspek karena dianggap telah menyimpang dari Agama Islam.
Pendahuluan
Jemaat Ahmadiyah merupakan realitas keberagamaan di Indonesia, keberadaannya sudah ada sebelum negara Indonesia merdeka. Sejarah mencatat bahwa mereka turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Pada perkembangan selanjutnya, Jemaat Ahmadiyah mulai mendapatkan tantangan dan hambatan dari berbagai aspek karena dianggap telah menyimpang dari Agama Islam dengan tuduhan mengakui adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Adanya fakta di atas tidak terlepas dari stigma negatif dari berbagai kelompok ataupun kalangan terutama dari umat Islam sendiri. Untuk menghindari hal tersebut agar tidak menjadi persoalan besar dan terus-menerus, maka diperlukan kajian-kajian komprehensif terhadap Jemaat Ahmadiyah khususnya. Tulisan ini merupakan salah satu dari upaya memahami Jemaat Ahmadiyah lebih dekat berdasarkan Studi Ekskursi ke perkampungan Jemaat Ahmadiyah Dusun Krucil, Banjarnegara, Jawa Tengah pada tanggal 29 – 30 November 2014. Titik tekan dari tulisan ini adalah mendiskripsikan harmoni Islam di tengah-tengah masyarakat. Pertanyaan dasarnya yaitu; apa faktor pembentuk keharmonisan dan apa manfaatnya bagi Jemaat Ahmadiyah?
Deskripsi Lokasi dan Penduduk
Di atas sudah penulis singgung, studi ekskursi ini dilaksanakan di Dusun Krucil di Desa Winong, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Studi dipusatkan di RW. 2 Krucil, populasi penduduknya lebih kurang 400 jiwa yang terdiri dari 140 kepala keluarga. Sebanyak 90% masyarakat merupakan Jemaat Ahmadiyah, dengan profesi; petani, pedagang, wiraswasta dan PNS. Kegiatan diawali dengan sholat ‘ashar berjama’ah yang dilanjutkan dengan welome ceremony, sambutan-sambutan dari perwakilan ISAIs dan tokoh masyarakat setempat. Selanjutnya pembagian kelompok dan penginapan, penulis menginap di rumah Pak Ihsan yang berprofesi sebagai Guru SD. Secara umum, RW. 2 Krucil sama dengan wilayah lain dari aspek struktur pemerintahan. Diketuai oleh seorang RW yang bernama Mukhlisin. Bedanya dengan RW lain adalah RW. 2 Krucil ini merupakan perkampungan khusus Jemaat Ahmadiyah. Adapun komposisi Jemaat Ahmadiyah disini dapat dikelompokkan sebagai berikut; Laki-laki mulai dari lahir sampai usia 7 tahun disebut banin, usia 7 tahun sampai 15 tahun disebut athfal, usia 15 sampai 40 tahun disebut khuddamul Ahmadiyah dan usia 40 tahun ke atas disebut ansorullah. Perempuan mulai dari lahir sampai usia 7 tahun disebut banat, usia 7 sampai 15 tahun atau sudah menikah dan seterusnya disebut lajnah imaillah. Setiap perkampungan komunitas Ahmadiyah terdapat “Rumah Misi”. Rumah misi ini merupakan komplek yang terdiri dari Mesjid, Rumah Muballigh dan Guest House.
Love for all. Hatred for none; Sebuah Filosofi Hidup
Terciptanya keharmonisan antar sesama Jemaat Ahmadiyah dan dengan warga lain yang bukan Jemaat Ahmadiyah, menurut analisis penulis disebabkan dua faktor. Pertama, faktor internal Jemaat Ahmadiyah itu sendiri. Di Jemaat Ahmadiyah ada satu slogan yang sudah mengakar dan menjadi falsafah hidup dimanapun berada, slogan itu ialah; “Love for all. Hatred for none”. Ungkapan ini bermakna “sesama manusia harus saling mencintai, menghormati dan menghargai dan tidak boleh membenci siapapun, meskipun dalam keadaan tertindas dan dicaci maki”. Bagi Jemaat Ahmadiyah, Islam itu harus ditampilkan dengan cinta, kelembutan dan kasih sayang, tidak dengan kekerasan. Penanaman falsafah “Love for all. Hatred for none” di internal Jemaat Ahmadiyah salah satunya dapat dilihat dengan adanya program Candah (berasal dari bahasa India yang berarti; sumbangan anggota yang bersifat wajib bagi seluruh anggota Jemaat Ahmadiyah kecuali anak-anak). Candah ini terdiri dari tiga tingkatan yaitu; sumbangan sukarela (tidak ditentukan nominalnya) untuk kalangan anak-anak, sumbangan 1/16 untuk kalangan yang sudah berpenghasilan, dan 1/10 untuk kalangan yang berpenghasilan lebih. Dana hasil dari sumbangan ini dikelolah sepenuhnya oleh pimpinan pusat dan dijadikan untuk membiyai seluruh kegiatan-kegiatan Jemaat Ahmadiyah. Sistem Candah inilah yang menjadi suatu hal yang menarik dari Jemaat Ahmadiyah dan sistem ini juga menjadikan Jemaat Ahmadiyah sebagai lembaga/organisasi yang mandiri, tanpa mengharap bantuan dana dari pemerintah. Selain itu, Jemaat Ahmadiyah juga aktif melakukan kegiatan sosial seperti; donor darah yang dilakukan sekali dalam tiga bulan bekerjasama dengan PMI Banjarnegara. Kegiatan ini bertujuan untuk membantu orang yang membutuhkan darah, sebagai wujud saling tolong-menolong antar sesama manusia. Kedua, faktor eksternal yaitu, peran Pemerintah. Peran pemerintah sangat vital menciptakan keharmonisan di tengah masyarakat. Pemerintah sebagai penyelenggara negara merupakan pihak yang bertanggungjawab atas terciptanya keamanan dan ketertiban di tengah-tengah masyarakat, hal ini sesuai dengan amanah UUD 1945 yang menjamin hak dan kemerdekaan beragama bagi seluruh rakyat Indonesia. Disamping itu, pengakuan Pemerintah Daerah (Pemda) terhadap keberadaan Ahmadiyah di wilayah Banjarnegara sebagai lembaga/organisasi yang legal dapat menghindari terjadinya gesekan dengan pihak atau organisasi di luar Ahmadiyah. Setiap kegiatan ataupun acara yang diadakan oleh Jemaat Ahmadiyah, mereka selalu melibatkan pihak keamanan sebagai pelindung untuk mengantisipasi terjadinya konflik. Keharmonisan dan kerukunan yang tercipta menjadikan komunitas ini menjadi komunitas percontohan untuk komuitas Jemaat Ahmadiyah di daerah lain. Manfaat lain yang dirasakan oleh masyarakat yaitu bebasnya mereka menjalankan aktifitas sehari-hari tanpa ada gangguan dan intervensi dari pihak lain.
>Kesimpulan dan Saran
Menurut pengamatan penulis, masyarakat Krucil sangat ramah dan bersahabat. Hal ini dibuktikan dengan sambutan yang hangat ketika rombongan ISAIs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tiba dilokasi. Dalam interaksi sehari-hari, Jemaat Ahmadiyah sangat menjunjung tinggi nila-nilai moral seperti memuliakan tamu, mereka juga terbuka terhadap kalangan lain yang ingin mengetahui lebih detail kondisi dan aktifitas Jemaat Ahmadiyah.
Untuk menilai suatu fenomena keberagamaan secara objektif dan komprehensif maka perlu dilakukan studi lapangan seperti yang dilakukan oleh ISAIs UIN Sunan Kalijaga ini. Namun, hendaknya studi lapangan harus ditindaklanjuti dengan solusi-solusi konkrit bagi persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Pemahaman terhadap akar rumput akan lebih menyentuh terhadap persoalan dan memberikan output yang solutif bagi masyarakat.
“perbedaan itu seperti air dan minyak, meskipun tidak bisa bersatu tapi bisa berdampingan mewujudkan keharmonisan”
Sumber : Kompasiana