Jakarta – Koalisi Tim Advokasi Untuk Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan (KBB) melihat indikasi ketidakseriusan hakim dan jaksa di Pengadilan Negeri Pontianak, Kalimantan Barat ketika mengadili para terdakwa kasus perusakan Masjid Miftahul Huda yang dikelola oleh Ahmadiyah Sintang.
Mereka pun menyatakan adanya kejanggalan yang terjadi di dalam proses persidangan. Penilaian tersebut bukan tanpa dasar, menurut Koalisi Tim Advokasi Untuk KBB, selama proses persidangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak berusaha untuk menggali secara mendalam unsur-unsur tindak pidana perusakan dan hasutan sesuai pasal yang didakwakannya. Ia malah banyak mempertanyakan soal keyakinan Ahmadiyah.
Selanjutnya mereka menyatakan bahwa Jaksa sebagai pengendali perkara (dominus litis) tidak serius untuk melindungi hak-hak korban tindak pidana perusakan Masjid Miftahul Huda dengan hanya menuntut para terdakwa selama 6 bulan penjara.
Tuntutan itu dinilai sangat ringan dan tidak sesuai dengan ancaman hukum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Perilaku serupa ditunjukkan Akhmad Fijiarsyah Joko Sutrisno, S.H., M.H., Ketua Majelis Hakim yang kemudian ikut menasihati saksi dari Ahmadiyah perihal keyakinannya.
Bukan hanya itu, ia pun memberikan kesempatan kepada salah seorang terdakwa, Hedi untuk berorasi di ruang sidang, menyampaikan ujaran kebencian terhadap Ahmadiyah.
Koalisi Tim Advokasi Untuk KBB pun mempertanyakan ketidakseriusan dan profesionalisme hakim yang pada 30 Desember 2021 memutus para terdakwa dengan hukuman yang lebih ringan dari tuntutan Jaksa, yaitu 4 bulan 15 hari.
“Kami kecewa dan mengecam keras putusan hakim terhadap para pelaku pengrusakan Masjid Miftahul Huda, kita lihat dari hukuman maksimal yang bisa dijatuhkan, tetapi putusan hanya 4 bulan 15 hari, yang mana mereka akan bebas dalam minggu ini,” kata Staf Divisi Hukum KontraS Adelita Kasih, yang juga tergabung dalam Koalisi Tim Advokasi Untuk KBB.
Menurut Koalisi Tim Untuk KBB putusan tersebut bukan hanya telah mencederai wajah pengadilan bahkan telah gagal menjamin keadilan bagi Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Desa Balai Harapan, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, yang menjadi korban dan tidak mewujudkan penegakan hukum yang mampu memberikan efek jera bagi para pelaku.
Lebih jauh, Koalisi Tim Advokasi Untuk KBB menyatakan bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pontianak semakin menegaskan ketidakberdayaan aparat penegak hukum dalam menghadapi dan menghukum kelompok-kelompok intoleran.
“Sungguh ironis kita melihat bahwa kekuatan hakim yang memiliki fungsi penegakan hukum yang diamanatkan UUD tampil seolah tidak berdaya dengan menjatuhkan putusan ringan, bahkan lebih ringan dari tuntutan jaksa,” kata Adelita.
“Apakah negara berpihak pada kelompok intoleran dan tidak sanggup melindungi kelompok minoritas?,” lanjut Adelita.
Atas dugaaan pelanggaran kode etik yang terjadi di Pengadilan Negeri Pontianak, Koalisi Tim Advokasi Untuk KBB pun telah melaporkan Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut ke Komisi Yudisial (KY). Mereka mendesak agar Komisi Yudisial (KY) segera melakukan pemeriksaan terhadap Majelis Hakim yang menyidangkan perkara perusakan Masjid Miftahul Huda di Kabupaten Sintang.